Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

23.2.10

Saat Dunia menjadi Tujuan Utama




مَنْ كَانَ هَمُّهُ الآخِرَةَ؛ جَمَعَ اللهُ شَمْلَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ الدُّنْيَا؛ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ ضَعْيَتَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَهُ

“Barangsiapa yang hasratnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan menceraiberaikan urusan dunianya, dan menjadikan kefakiran di antara kedua pelupuk matanya, dan dunia tidak akan menghampirinya kecuali sebesar apa yang telah ditakdirkan baginya.”

[Hadits Shahih, lih. ash-Shahihah No. 404 karya Imam al-Albani rahimahullah]

Hadits yang mulia di atas mengajarkan kepada kita tentang perbedaan sifat dunia dan akhirat, serta perbedaan antara para pendambanya masing-masing.

Dalam hadits tersebut, para pendamba akhirat akan diberi kekuatan oleh Allah dalam menjalani kehidupan dunia dengan enteng dan bahagia (di saat banyak orang-orang berharta dan bertahta justru diselimuti kesusahan). Allah jadikan hatinya kaya sehingga ia tidak butuh kepada selain-Nya. Kekayaan dunia akan mengejarnya padahal ia sedikitpun tidak berharap .

Berbeda jauh dengan para pendamba dunia. Kekayaan dan kekuasaan yang mereka kumpulkan justru akan menjadi beban yang menyusahkan mereka. Anehnya, mereka selalu merasakan kemelaratan menemani setiap detik hidup mereka, tak peduli berapa banyak kekayaan yang telah mereka tumpuk, masih saja terasa kurang. Andaikata bukan karena takdir Allah yang telah menetapkan rizki hamba, niscaya dunia sedikitpun tidak akan menghampiri mereka.

Tidakkah kita mengingat firman Allah dalam al-Qur-an:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا. وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا.

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir (18). Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik (19).” [QS. al-Israa: 18-19]

Terkesima oleh ranum hijaunya dunia adalah perkara yang manusiawi dan sejalan dengan fitrah, dan itu tidak tercela selama hasrat duniawi masih di atas rel syariat. Yang salah adalah sikap lebih mengutamakan dunia dibanding akhirat, dan inilah kiranya yang menjadi target celaan dalam hadits di atas. Tidak heran jika Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam sangat mengkhawatirkan kita saat dunia terhampar di hadapan kita.

Ketika Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu’anhu datang dari Bahrain membawa harta jizyah yang melimpah bagi kaum muslimin. Para sahabat mendengar kabar tersebut, beramai-ramai mereka menghadiri sholat subuh bersama Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam. Selepas sholat, Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam menoleh kepada mereka, sedang para sahabat menatap beliau, kemudian beliau tersenyum ketika melihat mereka. Dan selanjutnya, beliau bersabda: “Aku kira kalian telah mendengar bahwa Abu Ubaidah telah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu?” Maka mereka berkata: “Benar, wahai Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam.” Kemudian beliau bersabda: “Sambutlah berita gembira itu dan berharaplah mudah-mudahan Allah memudahkan apa yang kalian inginkan. Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi yang kukhawatirkan adalah jangan-jangan kekayaan dunia ini dihamparkan atas kalian semua sebagaimana telah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian berlomba-lomba meraih kekayaan dunia itu seperti yang mereka lakukan, dan akhirnya kekayaan itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” [Bukhari: VI/257-258/al-Fath, Muslim: 296]

Dengan jujur kita harus mengatakan bahwa penyakit lebih mengutamakan dunia dibanding akhirat ini, telah menjangkiti kita semua, tidak terkecuali orang-orang yang (tadinya) menekuni ilmu syar’i, shalih dan zuhud.

Alkisah, ada seorang Tholib (penuntut ilmu syar’i) yang dahulu begitu gigih mengkaji al-Qur-an dan Hadits, sangat kuat sholat malamnya, dan hampir tak pernah luput puasa sunnahnya. “...lantas berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras...” [QS. al-Hadiid: 16], kini dia menghilang ditelan zaman. Usut punya usut, ternyata kini dia telah disibukkan oleh urusan memuaskan hawa nafsu duniawi. Lupakah dia ketika tema Salafush Shalih begitu mendominasi bincang-bincang di antara sahabat-sahabatnya, sehingga tidak luput satu waktu pun dia bersua dengan para ikhwan melainkan dia mengingatkan tentang kemuliaan para Salaf, dan betapa dia bermimpi ingin menjadi seperti mereka.

Masa itu adalah suatu masa ketika hatinya dimabuk cinta dalam rasa bahagia mengenal Islam yang sesungguhnya. Seolah-olah dia baru saja bangun dari tidur yang panjang, dan sekonyong-konyong dia merasakan hidup ini baru saja menemukan tujuannya yang hakiki. Bumi ini terasa ringan dipijak, tak ada yang besar di matanya dari masalah dunia. Negeri akhirat menjadi satu-satunya masa depan yang hakiki.

Lebih mengutamakan dunia di atas akhirat bisa membutakan mata hati, menjadikan kita punya seribu alasan untuk hasad dan zhalim terhadap sesama. Sifat ini telah melahirkan para koruptor, para penipu, perampok, dan pembunuh.

Gara-gara sifat ini, orientasi persaingan di antara kita (Tholibul‘ilmi) tidak lagi dilandasi oleh motivasi ukhrawi untuk berlomba-lomba menjadi orang yang lebih dicintai oleh Allah. Justru buhul persaudaraan Islam yang dulunya erat, kini sedikit demi sedikit terurai oleh persaingan duniawi. Awan hasad mengepul begitu kelamnya, syaitan menari dengan riangnya, karena sukses meretakkan persudaraan sesama muslim. Sekali lagi gara-gara persaingan duniawi.

Aduh...sudah separah inikah keadaan kita? Di mana kini cita-cita Salaf yang kita idam-idamkan dulu? Apa gerangan sehingga dada kita begitu kerdil mengingat kampung akhirat? Kenapa lisan kita menjadi kelu menyebut surga dan neraka? Seolah-olah surga adalah dengan menjadi “Si Kaya” dan neraka adalah jika kita menyandang status “Miskin” di dunia ini.

Semoga kita masih dijaga oleh Allah sehingga kita jauh dari sifat; “hanya senang jika diberi, menggerutu jika tidak kebagian”, karena ini adalah sifat orang-orang yang menghamba pada harta dan materi. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيْفَةِ وَالْخَمِيْصَةِ؛ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ؛ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

“Celakalah hamba dinar, dirham, beludru dan busana. Di mana jika diberi dia akan merasa senang, dan jika tidak diberi maka dia tidak merasa senang.” [Bukhari: VI/81/al-Fath]

Lantas apa obat dari penyakit lebih mengutamakan dunia di atas akhirat ini? Di antaranya adalah dengan menanamkan keyakinan dalam hati bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan akhirat, bukan kehidupan di dunia ini. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam pernah bersabda:



اللَّهُــمَّ لاَ عَيْـشَ إِلاَّ عَيْشُ الآخِــرَةُ

“Ya Allah, tidak ada kehidupan (yang hakiki) kecuali kehidupan akhirat.” [Muttafaq’alaihi]



Negeri akhirat adalah kampung halaman kita yang sesungguhnya. Bahkan dunia ini sebenarnya adalah penjara bagi orang-orang mukmin, sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam.

الدُّنْيَا سِجْنُ المُؤْمِنْ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

“Dunia merupakan penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” [Shahih Muslim: 2956]

Dalam hadits tersebut tersirat motivasi untuk lebih merindukan akhirat, karena jika dunia adalah penjara yang menahan kita untuk kembali ke kampung akhirat, tentu kita akan sangat rindu untuk segera terbebas darinya.

Selain itu, renungkanlah nilai akhirat di atas dunia. Seandainya akhirat yang kekal terdiri dari tanah tembikar, dan dunia yang fana terbuat dari emas, niscaya orang yang berakal masih memilih yang kekal, maka bagaimana jika akhirat (surga) itu terdiri dari emas dan istana yang maha megah?

مَالدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ أُصْبُعَهُ فِي الْيَمِّ، فَالْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟

“Tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat melainkan seperti perumpamaan salah seorang di antara kalian yang memasukkan jarinya ke dalam lautan, maka perhatikanlah dengan apakah jari itu kembali.” [Shahih Muslim: 2858] (Air yang tersisa sedikit di jari itulah kenikmatan di dunia seluruhnya, sementara air di lautan adalah perumpamaan kenikmatan di akhirat yang tidak terbatas dan tak akan pernah sirna.

Sedangkan untuk membentengi diri dari dampak buruk sifat lebih mengutamakan dunia di atas akhirat adalah dengan mengamalkan sabda Rasul Salallahu ‘Alaihi wa Salam berikut ini yang artinya:

“Jika salah seorang dari kalian melihat kepada orang yang diberi kelebihan dalam hal harta dan penciptaan, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang lebih rendah daripada dirinya.” [Shahih Bukhari]

“Wahai anak Adam, luangkanlah waktu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan jadikan dadamu kaya, dan Aku tutupi kefakiranmu. Jika tidak engkau lakukan, niscaya Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan, dan tidak akan Aku tutupi kefakiranmu.” [lih. ash-Shahihah: 1359]

Setelah menjalankan ibadah wajib, luangkanlah waktu untuk melakukan ibadah sunnah, tidak perlu memberatkan diri, yang penting rutin dan berkesinambungan. Tidak selang berapa lama, Anda akan merasakan kebahagiaan di hati dan optimisme terhadap akhirat yang membuat Anda tidak rela jika kebahagiaan tersebut ditukar dengan semahal-mahal nikmat dunia.

***

(Disusun oleh hamba Allah yang sangat mengharapkan keistiqomahan untuk dirinya dan saudara-saudaranya)

Muroja’ah: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.

TANGISAN UMAR RADHIYALLAHU ANHU ATAS KEZUHUDAN NABI SHALALLALLAHU ALIHI WA SALLAM


Ahmad meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu menuturkan kepadaku, katanya, ‘Aku menemui Rasulullah Shalallallahu alaihi wa sallam saat beliau di atas tikarnya. Aku duduk, ternyata di atas tikar tersebut terda-pat kain sarung dan tidak ada selainnya. Rupanya tikar tersebut membekas pada lambung beliau. Aku juga melihat segenggam gandum hampir satu sha’ dan [I]qardz[/I] (beberapa tumbuhan untuk menyamak kulit) di pojok kamar. Dan ada juga kulit yang ter-gantung. Melihat hal itu kedua mataku mengucurkan air mata. Beliau Shalallallahu alaihi wa sallam bertanya,

مَا يُبْكِيْكَ يَا ابْنَ اْلخَطَّابِ؟

“Apa yang membuatmu menangis, wahai Ibnu al-Khaththab?”

Aku menjawab, “Wahai Nabi, bagaimana aku tidak menangis sedangkan tikar ini telah membekas di lambung baginda, dan aku tidak melihat di dalam kamar ini kecuali apa yang aku lihat. Sementara itu Kisra dan Kaisar bergelimang dengan buah-buahan dan sungai-sungai, sedangkan engkau adalah Nabi Allah dan orang pilihanNya namun hanya ini pembendaharaan ba-ginda.” Maka beliau Shalallallahu alihi wa sallam bersabda,

يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَنَا اْلآخِرَةُ وَلَهُمُ الدُّنْيَا

“Wahai Ibnu al-Khaththab, apakah kamu tidak ridha bila kita mendapatkan akhirat dan mereka mendapatkan dunia.”( HR. Ahmad, 1/ 301)

Diriwayatkan al-Hakim dan ia menilai shahih berdasarkan kriteria Muslim, dengan lafazh, Umar berkata, “Aku meminta izin kepada Rasulullah Shalallallahu alaihi wa sallam lalu aku menemui beliau di kamarnya, dan beliau sedang berbaring di atas kain yang sangat kasar. Sebagian tubuhnya di atas tanah dan kepalanya berbantalkan kain yang diisi sesuatu yang lunak. Di atas kepalanya terdapat kulit yang hendak disamak, dan di pojok kamar terdapat tumbuh-tumbuhan untuk menyamak. Aku mengucapkan salam kepada beliau lalu aku duduk. Aku katakan, ‘Engkau Nabi Allah dan pilihanNya, sementara Kisra dan Kaisar di atas ranjang emas dan kasur sutra tebal dan sutra tipis.’ Beliau menjawab,

أُولئِكَ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ وَهِيَ وَشِيْكَةُ اْلاِنْقِطَاعِ، وَإِنَّا قَوْمٌ لَنَا طَيِّبَاتُنَا فِي آخِرَتِنَا

‘Disegerakan bagi mereka berbagai kenikmatan, tapi itu berlang-sung cepat dan sebentar lagi hilang. Sedangkan kita adalah kaum yang kenikmatan kita diakhirkan untuk kita di akhirat kelak’.”*

AIR MATA AL-FARUQ UMAR BIN AL-KHATHTHAB RA DAN TANGISANNYA KARENA DIBENTANGKANNYA DUNIA
Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dibawakan sejumlah harta rampasan perang dari Qadisiyyah, lalu dia memegangnya dan memandangnya seraya menangis. Saat itu dia disertai Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu. Melihat hal itu, maka Abdur-rahman bin Auf bertanya, ‘Wahai Amirul Mu’minin, ini adalah hari kegembiraan dan ini hari yang menyenangkan.’ Dia menja-wab, ‘Benar, tetapi tiada suatu kaum pun yang diberi ini melain-kan mereka diberi permusuhan dan kebencian’.”

Dalam riwayat al-Baihaqi juga dari Ibrahim bin Abdurrah-man bin Auf, ia berkata, “Ketika Umar dibawakan perbendaha-raan Kisra, maka Abdullah bin Arqam az-Zuhri RA mengatakan, ‘Tidakkah engkau meletakkannya di Baitul Mal.’ Umar menja-wab, ‘Kami tidak meletakkannya di Baitul Mal hingga kami membagi-bagikannya.’ Umar pun menangis, maka Abdurrah-man bin Auf RA bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis, wahai Amirul Mu’minin? Demi Allah, sesungguhnya ini benar-benar hari bersyukur, hari kesenangan, dan hari kegembiraan.’ Umar RA menjawab, ‘Sesungguhnya ini tidak diberikan Allah kepada suatu kaum pun melainkan Allah memasukkan permu-suhan dan kebencian di antara mereka’.”**

Dari al-Baihaqi juga dari al-Hasan bahwa Umar bin al-Khaththab RA dibawakan jubah Kisra lalu diletakkan di hadap-annya. Sementara di tengah kaum tersebut terdapat Suraqah bin Malik bin Ju’syum RA Kemudian Umar memberikan gelang-gelang Kisra bin Harmuz kepadanya lalu meletakkannya di tangannya hingga mencapai kedua pundaknya. Ketika Umar melihat gelang tersebut di kedua tangan Suraqah, dia berkata, “Alhamdulillah, gelang-gelang Kisra bin Harmuz berada di tangan Suraqah bin Malik bin Ju’syum, seorang baduwi dari Bani Mudlij.” Kemudian dia berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa RasulMu SAW suka mendapatkan harta lalu mem-belanjakannya di jalanMu dan diberikan pada hamba-hambaMu. Dan Engkau menahan itu darinya karena kebijaksanaan dan pilihan dariMu. ” Kemudian berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa Abu Bakar suka mendapatkan harta lalu mem-belanjakannya di jalanMu dan diberikan kepada hamba-hamba-Mu. Dan aku mendapatkannya dan membelanjakannya karena pandangan dan pilihan yang terbaik baginya. Ya Allah, se-sungguhnya aku berlindung kepadaMu bila ini sebagai makar dariMu terhadap Umar.” Kemudian dia membaca firman Allah SWT,“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami segera membe-rikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Al-Mu’minun: 56).***

Imam Ahmad meriwayatkan dengan Sanad Hasan, al-Bazzar dan Abu Ya’la dari Abu Sinan ad-Du’ali bahwa ia menemui Umar bin al-Khaththab RA dan di sisinya ada segolongan kaum Muhajirin pertama. Kemudian Umar dikirimi sebuah wadah, yaitu sesuatu yang mirip keranjang atau seperti kantong yang dibawanya dari benteng Irak. Di dalamnya berisi cincin, lalu salah seorang anaknya mengambil cincin tersebut dan memasuk-kannya ke dalam mulut, maka Umar menariknya darinya. Kemu-dian Umar menangis, maka orang yang berada di sisinya bertanya kepadanya, “Mengapa anda menangis? Padahal Allah telah memberi kemenangan kepada anda, memenangkan anda atas musuh anda, dan telah menyenangkan hati anda?” Umar bin al-Khaththab RA menjawab, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,

لاَ تُفْتَحُ الدُّنْيَا عَلَى أَحَدٍ إِلاَّ أَلْقَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَأَنَا أُشْفِقُ مِنْ ذلِكَ

‘Tidaklah dunia ditaklukkan pada seseorang melainkan Allah me-masukkan di antara mereka permusuhan dan kebencian hingga hari Kiamat dan saya khawatir akan hal itu’. (HR. Ahmad, 1/ 16)
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab RA jika selesai shalat, dia duduk untuk melayani khalayak. Siapa yang punya hajat, maka dia berbicara kepadanya. Jika tidak ada seorang pun yang punya hajat, maka dia berdiri (dan pulang). Tapi dia pernah mengerjakan beberapa kali shalat dan tidak duduk untuk melayani mereka seperti biasanya, maka aku kata-kan, ‘Wahai Yarfa’, Apakah yang dikeluhkan Amirul Mu’minin?!’ Ia menjawab, ‘Tidak ada apa-apa dengan Amirul Mu’minin’. Aku pun duduk, lalu datanglah Utsman bin Affan RA lalu dia duduk. Kemudian Yarfa’ keluar seraya berkata, ‘Berdirilah, wahai Ibnu Affan! Berdirilah, wahai Ibnu Abbas!’ Maka kami menemui Umar RA, ternyata di hadapannya terdapat sejumlah kantung harta, di tiap-tiap kantung terdapat ikatannya. Umar berkata, ‘Aku memperhatikan penduduk Madinah, ternyata aku melihat kalian berdua sebagai penduduk Madinah yang paling banyak keluarganya. Ambillah harta ini dan bagikanlah. Kelebihannya kembalikan lagi.’ Utsman langsung menerima, sedangkan aku. Aku katakan, ‘Jika kurang, maka engkau mem-berikan lagi kepada kami.’ Umar menimpali, ‘Batu dari gunung. Kenapa bukan ini yang datang dari sisi Allah, padahal Muhammad SAW dan para sahabatnya makan roti kering yang sudah lama.’

Aku katakan, ‘Bahkan, demi Allah, inilah yang datang dari sisi Allah ketika Muhammad SAW masih hidup. Seandainya beliau meraih kemenangan, niscaya beliau benar-benar melakukan se-lain yang engkau lakukan ini…’ Mendengar hal itu, Umar marah seraya mengatakan, ‘Kalau begitu, apa yang beliau perbuat?’ Aku menjawab, ‘Beliau akan makan dan memberi makan kepada kami…’ Umar pun menangis hingga tulang rusuknya bersilangan. Kemudian berkata, ‘Sungguh aku ingin keluar terbebas darinya, tidak untukku dan tidak atasku’.”****

Dari Ibnu Abbas RMA, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab SAW memanggilku, maka aku pun datang kepadanya. Ternyata di hadapannya terdapat kantung berisi emas yang sangat banyak. Dia berkata, ‘Kemarilah, bagikanlah harta ini di antara kaummu! Demi Allah, aku tahu bagaimana ini diperoleh dan dibagikan da-ri Nabi SAW dan Abu Bakar SAW. Maka aku memberikannya, untuk kebaikan atau untuk keburukan aku memberikannya?!’ Kemudian dia menangis, dan berkata, ‘Sekali-kali tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah Allah menahannya dari NabiNya dan dari Abu Bakar karena menghendaki kebu-rukan kepada keduanya, dan Umar memberikannya karena bermaksud baik seluruhnya (yakni, Allah menahannya dari NabiNya dan Abu Bakar karena sayang kepada keduanya).”*****

Abu Ubaid al-Adani meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf SAW, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab mengutus utusan kepadaku agar aku menemuinya, maka aku pun datang kepada-nya. Ketika sampai di pintu, aku mendengar suara tangisannya, maka aku katakan, ‘Inna lillahi wainna ilaihi raji’un… demi Allah, Amirul Mu’minin tertimpa musibah. Ketika aku masuk, aku memegang pundaknya seraya berkata, ‘Tidak mengapa, tidak mengapa, wahai Amirul Mu’minin.’ Dia menjawab, ‘Bahkan bencana yang sangat keras.’ Dia memegang tanganku lalu me-masukkanku ke dalam pintu rumah. Ternyata sejumlah wadah bertumpuk satu sama lain. Dia berkata, ‘Sekarang, keluarga al-Khaththab menjadi hina di hadapan Allah. Seandainya Allah suka, niscaya memberikan ini kepada kedua sahabatku (yakni Nabi SAW dan Abu Bakar RA). Karena keduanya telah memberi-kan contoh kepadaku berkenaan dengan hal itu yang senantiasa aku tiru.’

Aku berkata, ‘Duduklah bersama kami untuk berpikir… Kita berikan kepada Ummahatul Mu’minin empat ribu empat ribu, kita berikan kepada kaum Muhajirin empat ribu empat ribu, dan semua orang dua ribu dua ribu, hingga kita bagikan semua harta tersebut.’ Beliau meletakkan pipinya di atas tanah dan menangis seraya berkata, ‘Celaka engkau wahai Umar, jika Allah tidak merahmatimu’.” Semoga Allah merahmatimu, wahai Faruq al-Ummah, dengan rahmat yang luas, wahai orang yang di-beri kabar gembira oleh Rasulullah SAW dengan surga.******

TANGISAN AL-FARUQ RA DALAM SHALAT ISTISQA’

Dari Abdullah bin Nayyar al-Aslami, dari ayahnya, ia me-ngatakan, “Ketika Umar RA bersepakat untuk shalat Istisqa’ dan keluar bersama khalayak, maka dia menulis surat kepada para pekerjanya supaya keluar pada hari demikian dan demikian, menundukkan diri kepada Tuhan mereka, dan memohon kepa-daNya agar mengangkat kekeringan yang melanda mereka. Dia keluar untuk hari itu dengan memakai selimut Rasulullah SAW hingga sampai di Mushalla (tanah lapang). Kemudian ber-khutbah kepada khalayak, berdoa, dan membuat khalayak menangis tersedu-sedu. Kebanyakan doanya hanya istighfar. Hingga ketika hampir selesai, dia mengangkat kedua tangannya lebar-lebar dan memindah selendangnya, meletakkan yang sebelah kanan ke sebelah kiri kemudian sebelah kiri ke sebelah kanannya. Kemudian membentangkan kedua tangannya dan memelas dalam doa. Umar RA menangis dengan tangisan yang lama hingga jenggotnya menjadi basah karenanya.

Dari as-Sa’ib bin Zaid RA, ia berkata, “Aku memandang Umar bin al-Khaththab RA pada suatu hari di padang pasir. Dia pergi mengenakan pakaian harian dalam keadaan tertunduk pasrah, dengan memakai selimut yang tidak mencapai kedua lututnya. Dia mengeraskan suaranya dengan istighfar dan kedua matanya mengucurkan air mata di atas kedua pipinya. Sementara di sebe-lah kanannya terdapat al-Abbas bin Abdil Muththalib RA. Dia berdoa ketika itu dengan menghadap kiblat, dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa kepada Rabbnya. Dia berdoa dan orang-orang berdoa bersamanya. Kemudian dia memegang tangan al-Abbas seraya berkata, ‘Ya Allah, kami meminta syafaat (pertolongan) lewat paman RasulMu kepada-Mu.’ Al-Abbas terus berdiri di sampingnya beberapa waktu lamanya. Al-Abbas berdoa dan kedua matanya mengucurkan air mata (karena menangis).” Doa adalah bukti kejujuran dan tanda rasa takut, sementara tangisan membenarkan hal itu secara meyakinkan sebagai tangisan kaum yang shalih dan ber-taubat dengan sebenarnya.

CATATAN KAKI:

* Lihat, Hayah ash-Shahabah, 2/ 890-892
** HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 6/ 358
*** As-Sunan al-Kubra, 6/ 356
**** Lihat, Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 288.
***** Lihat, ath-Thabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’d, 3/ 303.
****** Al-Kanz, no. 11684; dan al-Amwal, no. 223.



AFGHANISTAN (Arrahmah.com) - Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dalam dua minggu terakhir, sekitar 15.000 tentara NATO termasuk tentara AS dan Inggris melakukan operasi besar-besaran di daerah kecil, Marjah di distrik Nad Ali, Provinsi Helmand.

Sejumlah bom dari pesawat tempur musuh dan pesawat tak berawak juga 60 helikopter militer mengambil bagian dalam operasi ini. Mereka juga masih mengikutsertakan tank-tank besar kebanggaan mereka yang memiliki berat 65 ton yang mereka namai Abraham dan Shifton. Namun dengan mengesampingkan persiapan, bualan dan propaganda musuh, kubu musuh ternyata tidak membuat kemajuan untuk melawan sekelompok kecil mujahidin yang jumlahnya tidak lebih dari 1.000 orang dan senjata mereka tidak jauh lebih unggul dibandingkan musuh. Namun pengorbanan dan komitmen mujahidin menghasilkan kesuksesan, mereka berhasil memblokade musuh di wilayah kecil tersebut.

Kemampuan tim penembak jitu membuat kaget dan menimbulkan kekaguman bagi musuh. Mujahidin berhasil meledakan 53 tank, menembak jatuh dua pesawat tak berawak dan satu helikopter militer. Dan sebuah sejarah tertoreh di sana, seorang Muslimah berhasil menembak seorang tentara secara berhadap-hadapan di sebuah pasar. Ia mengingatkan akan kejadian lampau, Malalai yang juga menjadi pahlawan, di sini terdapat banyak saudari kita yang mengangkat senjata. Jika kita hitung kerusakan dan kehancuran yang berhasil dilakukan terhadap tank-tank musuh, maka jumlah tentara musuh yang tewas sudah pasti lebih dari angka 100 orang.

Hanya mengingatkan, sekitar dua minggu lalu, McChrystal komandan AS di Afghanistan dengan percaya diri mengatakan akan mengambil alih Marjah dari tangan Mujahidin. Namun hari ini ia mengakui bahwa dirinya mendapat perlawanan sengit yang tidak ia bayangkan sebelumnya. Ia mengatakan jika kita membuat pengumuman sebelumnya mengenai operasi Marjah, Taliban (Imarah Islam Afghanistan) pasti akan meletakkan senjata mereka namun sebaliknya kami mendapatkan perlawanan sengit yang sangat kontras dengan apa yang kami harapkan.

Seperti biasa, musuh melakukan hal licik dalam operasi militer mereka, jika Mujahidin mampu menjatuhkan musuh dalam pertempuran, maka tentara musuh akan kembali datang setelah pertempuran usai dan membombardir area pertempuran. Mayjen Nick Carter, Komandan NATO di Helmand mengatakan tentaranya membutuhkan waktu tiga bulan untuk memperlihatkan hasil sukses atau tidak dalam operasi militer mereka.

Ini adalah pelajaran yang baik untuk para Jenderal di Pentagon dan pemerintah baru di Gedung Putih. Terdapat ribuan kota di Afghanistan seperti Marjah di sekitar 385 distrik di negeri ini.

Dunia melihat bahwa mereka tidak mampu menguasai daerah kecil seperti Marjah dalam dua minggu, sangat ironis, berapa banyak dekade dan jumlah tentara yang dibutuhkan untuk menguasai Afghanistan? Mujahidin selalu mempelajari taktik terbaru setiap waktunya dan pengetahuan mereka dalam kerangka politik, kultur, dan kemampuan militer meningkat setiap harinya.

Kafilah Syuhada dan tentara akan terus meningkat cepat atau lambat, jika Allah berkenan.

Imarah Islam Afghanistan
9 Rabiul Awwal 1431 H

(haninmazaya/tum/arrahmah.com)