Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

6.3.10

mujahideen aceh

Jaisy
TANDZIM AL QOIDAH INDONESIA SERAMBI MAKKAH

Bismillahirohmanirrohim

Kami Tandzim Al Qoidah Indonesia Wilayah Serambi Makkah dengan ini memberikan penjelasan kepada umat islam yang tercinta bahwa sampai hari ke-10 pengejaran Thogut terhadap kami, kami dapat bertahan melanjutkan jihad meskipun sebagian saudara kami ada yang tertawan dan syahid. Dan dengan ini kami tegaskan kepada umat islam bahwa kami berpegang pada janji kami untuk berjihad melawan Zionis Yahudi, salibis dan Murtaddin sampai Allah tetapkan kemenangan bagi kami atau syahid di jalan Allah biidznillah.

Adapun kepada umat kami yang tercinta kami ingatkan bahwa jihad hari ini hukumnya Fardhu’ain, penundaan terhadap jihad menyebabkan maslahat ketika itu hilang. oleh karena itu membantu, mendukung, mendo’akan, Infak fii sabilillah dan datang ke medan Jihad adalah keharusan yang tidak ada udzur ketika jihad fardhu’ain.

Divisi Media
Tandzim Al Qoidah Indonesia Serambi Makkah

Abu Saif Al Acehi

Hukum Pemecatan dalam Harakah Dakwah

Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz Sigit, bagaimana penyikapan kita sebagai seorang muslim terhadap "pecat-memecat" dalam harakah da'wah?
Apakah contoh ini ada dalam siroh nabi, sahabat atau siroh lainnya? Apakah dalam berda'wah harus ada tindakan ini? Apakah tindakan ini dibenarkan?
Saya masih bingung dengan fenomena ini, mohon jawaban dan pencerahan ustadz.
abu thariq

Jawaban

Walaikumussalam Wr Wb
Saudara Abu Thariq yang dimuliakan Allah swt
Jama’ah memiliki dua pemahaman yaitu dari aspek itiqodiy (aqidah) dan dari aspek siyasi (politik). Dari aspek itiqody berarti bahwa jama’ah itu diharuskan mengikuti manhaj ahlus sunnah wal jamaah. Sedangkan dari aspek siyasi bahwa keikutserataan mereka didalam jama’ah tersebut berada dibawah sebuah aturan atau sistem yang ditetapkan oleh jama’ah tersebut serta berkomitmen dengan prinsip-prinsipnya didalam perkara-perkara yang tidak maksiat kepada Allah swt dan tidaklah keluar darinya kecuali dikarenakan adanya kekufuran yang nyata demi menjaga keberlangsungan jamaah.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap jama’ah atau harokah da’wah yang ada hari ini hanyalah satu diantara sekian banyak jama’ah atau harokah da’wah yang bertujuan membentengi kaum muslimin dari serangan musuh-musuhnya serta mengembalikan kejayaan kaum muslimin kedalam satu pemerintahan islam (khilafah islamiyah). Karena itu setiap jama’ah atau harokah yang ada saat ini hanyalah jama’ah minal muslimin yang tidak berhak untuk menafikan jama’ah atau harokah selainnya selama tetap berpegang teguh dengan prinsip-prinsip islam. Banyaknya jama’ah dan harokah saat ini adalah akibat dari ketidakberadaan jamatul muslimin yang mengumpulkan seluruh kaum muslimin dibawah satu pemerintahan islam (khalifah) yang mencakup dua pemahaman baik dari aspek itiqodiy maupun siyasi.
Diwajibkan bagi seorang muslim untuk tetap berkomitmen dengan jamaatul muslimin ketika jama’ah seperti ini ada dan tidak diperbolehkan baginya untuk keluar atau meletakkan ketaatan terhadapnya dan juga tidak berhak bagi pemerintahan islam atau imam mengeluarkannya (memecatnya) dari jama’atul muslimin kecuali dikarenakan alasan-alasan yang dibenarkan dan setelah dilakukan upaya penyadaran atas kesalahannya.
Diantara hal-hal yang bisa mengeluarkan seseorang dari jamaatul muslimin :
1. Upaya mengkudeta pemerintahan yang sah atau disebut juga dengan bughot (pemberontak), sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Hujurat : 9)
2. Memerangi pemerintahan yang sah dengan cara melakukan kekacauan di dalam negeri seperti : perampokan, pengrusakan, penjarahan atau sejenisnya, sebagaimana disebutkan didalam firman-Nya :
Artinya : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,” (QS. AL Maidah : 33)
3. Kekufuran baik keufurannya dikarenakan tidak mau menerima prinsip-prinsip islam untuk menghalalkan apa-apa yang dihalalkan Allah swt atau pun mengharamkan apa-apa yang diharamkan-Nya maka ia termasuk didalam kategori orang yang disebutkan didalam hadits “(yaitu) orang yang meninggalkan agamanya lagi berpisah dengan jama’ah” . Atau kekufuran tehadap islam, menentangnya, memberikan loyalitas kepada musuh-musuh islam, memerangi islam dan mereka adalah orang-orang yang murtad yang telah meletakkan ikatan islam dari leher-leher mereka lalu bergabung dengan musuh-musuh islam, seperti yang terjadi pada masa Abu Bakar ketika banyak orang-orang yang murtad, meninggalkan agama dan memerangi kaum muslimin.
Sedangkan berkaitan dengan pemecatan yang dilakukan suatu jama’ah atau harokah da’wah saat ini yang notabene adalah jama’ah minal muslimin terhadap anggotanya dikembalikan kepada aturan-aturan atau AD/ART dari jama’ah tersebut.
Yang tentunya apabila jama’ah tersebut adalah jama’ah yang bercita-cita mengembalikan kejayaan kaum muslimin dan kepemimpinan islam (khilafah islamiyah) maka AD/ART yang dimilikinya haruslah bersesuaian dengan prinsip-prinsip yang dimiliki islam bukan semata-mata hasil pemikian para pemimpinanya.
Sebagaimana islam yang melihat sebuah kemaksiatan tidak berada didalam satu garis akan tetapi ada yang tergolong dosa kecil dan ada juga yang besar dengan sangsi-sangsi yang berbeda diantara keduanya atau bahkan dosa besar sekali pun ketika dia bertaubat maka akan dapat pemaafan dari Allah swt. Maka begitu pula seharusnya sebuah jama’ah da’wah untuk tidak melihat segala kesalahan anggotanya dalam satu garis apabila memang dia berbuat kesalahan. Ketika memang seorang anggotanya ada yang melakukan pelanggaran syari’ah maka berhak bagi jama’ah untuk memberikan sangsi sesuai dengan jenis dan bobot kesalahan syari’ahnya itu. Bisa saja si pelaku dikenakan sangsi berat atau bahkan pemecatan dikarenakan bobot pelanggaran yang dilakukannya juga berat atau telah keluar dari prinsip-prinsip islam.
Dan perlu juga diketahui kesalahan atau kekeliruan bukan hanya milik anggotanya sehingga jama’ah tampak suci tanpa ada kesalahan. Sesungguhnya kesalahan dan kekeliruan juga bisa terjadi pada jama’ahnya. Karena itu diperlukan adanya kebersamaan didalam menjaganya agar jama’ah tetap berada diatas tracknya yang benar melalui saling ingat-mengingatkan, nasihat menasihati atau wasiat mewasiati baik diantara anggota atau antara anggota dengan pemimpinnya.
Para pemimpin jama’ah atau harokah diharuskan siap mendengarkan berbagai masukan, nasihat atau kritikan dari para anggotanya dan dilarang baginya bersikap emosional dan cepat marah didalam menanggapinya apalagi jika berujung pemecatan orang tersebut dari jama’ah hanya karena tidak siap mendengarkannya. Karena sesungguhnya didalam kritikan dan masukan tersebut ada kebaikan bagi jama’ah itu sendiri.
Syeikh Mustafa Masyhur, didalam kitabnya “Min Fiqh ad Da’wah” mengatakan,”Diantara sifat mukmin ialah suka nasihat menasihati dengan kebenaran dan wasiat mewasiati dengan kesabaran. Ketinggian kedudukan pimpinan tidak boleh menjadi penghalang untuk untuk saling menasihati ke arah kebenaran dan kesabaran dengan tujuan memperbaiki amal dan mengelakkan hal-hal yang negatif dan tidak benar. Tidak boleh merasa berat memberikan nasihat kepada pimpinan dan pemimpin tidak boleh keberatan menerima nasihat baik bahkan dia harus menerimannya dengan lapang dan dada terbuka.
Pemimpin seharusnya bersyukur atas nasihat anggota karena manfaat kebaikannya berguna untuk da’wah dan dirinya sendiri. Hadits Rasulullah saw berikut menunjukkan betapa pentingnya persoalan naesihat menasihati.
Rasulullah saw bersabda,”Agama adalah nasihat. Kami bertanya,’Bagi siapa?’ Rasulullah saw menjawab,’Bagi Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awamnya.”
Tentang perlunya para pemimpin menjauhkan dirinya dari sifat cepat marah telah diingatkan oleh Syeikh Mustafa Mayhur juga di bagian lain dari buku itu dengan mengatakan,”Jika seorang pemimpin mudah marah, kemungkinan besar ia akan melakukan berbagai kesalahan, bahkan meletakkan dia dalam kedudukan yang tidak sesuai sebagai pemimpin jama’ah. Ini tak syak lagi, akan mendatangkan bencana terhadap da’wah dan jama’ah.”
Dua sifat diatas yaitu mau menerima nasihat atau kritikan—sekeras apa pun ia disampaikan atau bagaimana pun cara penyampaiannya—dan tidak cepat marah terhadap siapa pun orang yang menasehati atau mengkritiknya maka akan menjadikan seorang pemimpin terhindar dari kesalahan dan semua adalah demi kemaslahatan jama’ah itu sendiri.
Ketika Umar bin Khottob diangkat menjadi khalifah kaum muslimin, dia langsung mendapatkan nasehat ‘keras’ dari salah seorang rakyatnya yang hadir sambil mengangkat pedangnya dan meminta agar Umar tetap istiqomah diatas kebenaran bahkan orang itu mengancam Umar dengan pedangnya jika menyimpang dari jalan-Nya. Mendengar nasehat tersebut Umar tidaklah marah terhadapnya apalagi memecatnya dari jama’atul muslimin. Namun Umar justru berterima kasih kepadanya dan bersyukur kepada Allah karena masih ada dari rakyatnya yang siap meluruskan (menasihati) nya jika dirinya melanggar dari kebenaran.
Begitu pula Rasulullah saw yang senantiasa mendengarkan nasihat atau masukan yang disampaikan oleh para sahabatnya, seperti : nasihat Abu Bakar dan Umar dalam permasalahan tawanan perang badar, al Hubab bin al Mundzir dalam pemilihan lokasi kaum muslimin dalam perang badar. Bahkan Rasulullah saw memaafkan apa yang dilakukan Hatib bin Abi Balta’ah yang telah membocorkan rahasia kepada orang-orang Quraisy karena Hatib termasuk orang yang ikut didalam peperangan badar.
Pemecatan yang dilakukan jama’ah minal muslimin terhadap anggotanya tidaklah memiliki efek syar’i, seperti : kelak jika dia mati maka matinya jahiliyah atau orang itu pensiun jadi da’i!
Dipecatnya seseorang dari jama’ah atau harokah da’wah tidak berarti orang itu juga dipecat dari da’wah atau pensiun jadi da’i karena keberadaan jama’ah saat ini hanyalah mengambil fungsi idariyan (administrasi) dan tanzhimiyan (penataan) saja. Dia tetap harus berda’wah walaupun hanya sendirian karena da’wah ini milik Allah. Allah yang telah memberikannya hidayah kepada islam dan hidayah untuk menjadi seorang da’i yang menyeru manusia kepada jalan-Nya.
Wallahu A’lam