Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

13.4.10

Hadiah dari Isteri Seorang Mujahid


Nasehat Ummu Muhammad, (Samirah Awatiilah) Istri As Syahid (Insya Allah) DR. Abdullah Azzam


Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan selalu kepada Rasul yang mulia, keluarga dan sahabat-sahabatnya semua.

Saudari-saudariku tercinta,

Sesungguhnya, umur itu sangatlah pendek dan kehidupan ini hanyalah hembusan-hembusan nafas yang akan dihitung dan dihisab. Maka, apakah tiap dari kita sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi hari berpisahnya orang-orang yang saling berkasih sayang dan saling bersahabat?

Hari berpisahnya kita dari dunia yang fana ini, menuju yaumil hisab –hari perhitungan- dan alam kekal. Hari yang menjadikan harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali bagi mereka yang menghadap Allah dengan qalbun salim (hati yang sehat).

Apakah tiap dari kita sudah mempersiapkan diri untuk masuk ke liang lahat, yang pernah disabdakan Rasulullah SAW pada hari kebumikannya sahabat mulia yang bernama Sa’ad bin Mu’adz Ra:

“Seandainya ada orang yang selamat dari himpitan kubur, tentulah Sa’ad bin Mu’adz orangnya.” (Shahih Al-Jam’iush-Shagir, hadist no. 5306)

Saya berharap kepada Allah Ta’ala agar kita termasuk orang-orang yang dibenarkan dalam sabda Rasulullah Saw:

“Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (Shahih Muslim, hadist no. 1469)

Wahai ukhti mukminah, keshalihanmu terletak pada kebaikan dienmu, benarnya aqidahmu dan baiknya tarbiyah yang engkau berikan kepada anak-anakmu. Mereka adalah amanat di lehermu dan calon pemuda di masa depan, pembela dienul Islam dan sebagai kayu bakar yang akan terus menyala, menjadi api penerang bagi keabadian dakwah ini di masa mendatang.

Wahai saudari-saudari tercinta, wahai cucu-cucu Khansa’,

Wahai saudari-saudari Sumayyah dan Khaulah binti Al-Azur.

Wahai kaum muslimah yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai diennya, Muhammad sebagai rasulnya serta Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya,

Wahai kaum muslimah yang menginginkan bendera “Laa Ilaaha Illallaah” berkibar setinggi-tingginya, dan menginginkan hidup diatas bumi yang penuh keadilan dan ketentraman,

Wahai kaum muslimah yang ingin hidup bahagia lagi mulia dengan meniti jejak Rasul dan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya pedoman dalam hidupnya.

Wahai isteri-isteri kaum muslimin di penjuru bumi Timur dan Barat, doronglah suami-suami kalian untuk berjihad fi sabilillaah. Karena sesungguhnya, suami kalian tidak akan menjadi suami yang kalian idam-idamkan, kecuali ketika ia menjadi laki-laki kuat yang memanggul senjata dan membela dien, aqidah, tanah air dan harga diri mereka, serta mampu meneror musuh-musuh mereka dengan mempersembahkan syahid demi syahid.

Kemuliaan, ketinggian dan keluhuran hanya bisa diperoleh dalam naungan pedang di tangan manusia-manusia kuat yang mampu menggentarkan musuh-musuh mereka. Namun, itu semua tidak akan terwujud kecuali jika tiap orang dari kita mau mendorong suami, anak, saudara dan bapaknya ke medan perang, pertempuran dan kancah kemuliaan.

Itu semua juga tidak akan terwujud kecuali dengan kesabaran wanita atas kepergian suaminya, saudara dan bapaknya, serta dengan mengganti peran mereka dalam mengurus diri sendiri, anak-anak dan rumah tangganya untuk menjadi baik.

Para wanita yang berperan di belakang mereka bak batu karang nan kokoh yang menopang dan menjadi tempat mereka bersandar. Menjadi penolong mereka dengan kesabaran dan pengorbanan, di samping menyiapkan segala perlengkapan yang pantas untuk diberikan bagi kaum laki-laki demi terwujudnya cita-cita ini.

Kemudian, jauhilah dunia dan pandanglah ia dengan penuh hina. Jangan pula kalian membebani suami dengan hal-hal yang ia tidak sanggup menghadirkannya. Jadikan dirimu rela dengan yang sedikit dari pemberian Allah yang dimudahkan untuknya.

Janganlah menyibukkan suami dengan tuntutan duniawi untuk kepentingan dirinya, yang seandainya diikuti dan menuruti syahwatnya, niscaya hanya akan membawa dirinya kepada kehancuran. Dia pun akan terus berupaya dan bersungguh-sungguh menghabiskan waktunya, untuk meraup dunia yang tidak akan habis-habisnya, sampai dunia itu melumat habis dirinya.

Wahai kalian ukhti muslimah, kalian wajib senantiasa mendorong suami pergi berjihad dengan segenap kemampuan yang kalian miliki. Janganlah bimbang dengan jalan jihad hanya karena hambatan-hambatan yang ada, sebab umur itu ada di tangan Allah dan sesungguhnya jihad itu tidak akan mengurangi umur dan rezeki mereka sedikitpun. Sebaliknya jika meninggalkan jihad, itu bukan menjadi sebab panjangnya umur dan bertambahnya rezki, itu semua sudah menjadi takdir Allah.

Allah berfirman: “Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya).” (Yunus:49)

Wahai ukhti muslimah, bukankah kalian senang jika menjadi mujahidah fie sabilillah? Tentu kalian menjawab “Iya”. Tapi bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud, sedang kalian sendiri tidak mendorong suami untuk berjihad serta tidak ikut menangani tugas-tugasnya dengan kesabaran atas kepergian suami, tidak juga menggantikan peran suami kalian di dalam rumah..?

Apabila Allah menakdirkan suami kalian hidup di bawah naungan jihad, maka kalian akan senantiasa hidup bahagia bersamanya. Apabila Allah menakdirkan mati syahid untuknya, kelak kalian pun akan dikumpulkan bersamanya sebagai seorang syahidah –InsyaAllah- karena orang yang mati syahid itu bisa memberi syafa’at kepada 70 orang dari kerabatnya.

Saudari muslimah, apakah ada martabat lain yang lebih besar daripada ini? Keistimewaan apa lagi yang diinginkan setelah diberikan kepadanya kebahagiaan mendampingi orang yang mati syahid lagi saleh di dalam syurga? Kita memohon kepada Allah, agar Dia mengumpulkan kita semua hidup bersama mereka di tempat yang penuh kebahagiaan di sisi Rabb Yang Maha Kuasa.

Wahai ukhti fillah, demi Allah akan saya terangkan kepada kalian sebuah hikmah dari pengalaman hidup saya. Yakni, jika kalian bertawakal kepada Allah dalam hidup, niscaya tidak akan ada satu perkara pun yang dapat membahayakan kalian dengan izin Allah. Walau sebesar apapun musibah itu, tentu akan terasa kecil selama itu di jalan Allah. Demi Allah yang tidak ada Ilah kecuali Dia, sesungguhnya kabar syahid suami dan anak saya, saya hadapi dengan penuh kerelaan di atas qadha’ dan qadar-Nya.

Saya juga merasakan bahwa kebahagiaan telah menyelimuti diri saya, bahkan menenggelamkan saya ke dalamnya. Padahal peristiwa syahidnya mereka telah lama berlalu, tapi saya tetap merasa teguh, ridha dan tenang, itu semua murni pemberian Allah dan takdir-Nya semata.

Perasaan yang muncul ini bukanlah atas kehendak saya tapi itu berupa keteguhan yang semata Allah karuniakan ke dalam diri saya.

Saya yakin betul kalau itulah batas usia mereka dan itulah akhir ajal mereka. Lalu apa gunanya putus asa dan kesedihan? Bukankah rela terhadap qadha’ Allah itu lebih baik dibanding harus berputus asa? Bukankah balasan dari sebuah kesabaran adalah surga yang menanti?

Maka dari itu Ya Allah, janganlah Engkau haramkan atas kami pahala-pahala mereka dan jangan pula Engkau jadikan kami sesat sesudah mereka tiada. Sesungguhnya saya betul-betul bahagia dengan syahidnya mereka, dan rasa bahagia ini lebih besar daripada yang saya rasakan ketika mereka masih hidup bersama kami.

Saya pun memperhatikan dan Allah juga yang lebih mengetahui, sesungguhnya mereka yang sudah syahid meninggalkan kami itu telah mendapatkan keberuntungan dan saya pun demikian ikut mendapatkannya dikarenakan setia bersama mereka. Semoga Allah menjadikan mereka penghuni syurga-Nya yang demikian luas, serta mempertemukan kita dengan mereka kelak di tempat yang sarat kebahagiaan di sisi Rabb Yang Maha Kuasa, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

Wahai ukhti muslimah, terakhir saya wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah, membaca Al-Qur’an, menjaga lisan, bergaul dengan orang-orang shalih dan menjauhi orang yang buruk perangainya.

Janganlah hidup bermewah-mewahan karena itu akan mematikan hati kalian, dan hati yang sudah mati tidak akan mampu mendidik dan mengarahkan orang yang hidup.

Wahai ukhti muslimah, sesungguhnya kita ini membutuhkan suri tauladan dari para sahabat Nabi yang perempuan –ridhwaanullaahu ‘alaihinna. Oleh karena itu perhatikanlah sosok Ummu Salamah, Khansa’, Sumayyah dan Khaulah untuk menjadi tauladan bagi kalian. Kemudian amalkanlah agar kalian naik ke jenjang yang tinggi, yang telah didaki oleh saudari-saudari kalian sebelumnya semisal para sahabat Nabi. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian atas amalan yang dicintai dan diridhai-Nya.

Inilah yang dapat saya tuliskan, dan saya memohon ampunan kepada Allah untuk pribadi saya dan akhwat-akhwat sekalian.

Saudarimu seakidah,
Ummu Muhammad ‘Azzam.

Sumber : Washiyyatus Syaikh Abdullah Azzam,
Surat dari Garis Depan; Suara Hati Tokoh Perlawanan.

WANITA DAN JIHAD FISABILILLAH

ALLah ta'ala berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS al Anfal:60)

Kewajiban setiap muslim adalah mendakwahkan kalimat tauhid.

Serulah (manusia) kepada jalan Robb-mu dengan hikmah[1] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Robbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS An Nahl: 125)

[1]. Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Namun apabila dakwah kepada jalan Robb kita ini dihalangi atau bahkan diperangi, maka jihad lah yang berlaku.

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (
QS Al Baqarah: 190)

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
(QS Al Baqarah: 193)
Ada saatnya jihadnya wanita adalah berhaji dan umroh.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha: Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah perempuan wajib berjihad?. Beliau menjawab: "Ya, jihad tanpa ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah." Riwayat Ibnu Majah dan asalnya dalam kitab Bukhari.
Namun ada kalanya, terkadang mau tidak mau wanita juga terkena kewajiban untuk berpartisipasi dalam jihad fiy sabilillah itu sendiri.
Rasulullah Saw mengikutsertakan kaum wanita dalam peperangan. Mereka mengobati orang yang terluka. Rasulullah tidak pernah memberi mereka bagian dari harta rampasan tetapi memberi mereka dari kelebihan (sisa) pembagian. (HR. Muslim)
Ibnu Qadamah Al-Hanbali berkata: Syarat orang yang terkena kewajiban jihad ada tujuh yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, tidak cacat yang fatal dan adanya biaya. (Al-Mughni 10/366) Kemudian beliau menambahkan syarat; adanya izin orang tua dan izin orang yang berhutang kepada yang menghutangi. (Al-Mughni 10/381).
Kesembilan syarat ini berlaku dalam keadaan jihad fardhu kifayah, bila jihad naik menjadi fardhu `ain maka gugurlah empat syarat yaitu, merdeka, laki-laki, izin orang tua dan izin orang yang berhutang. Jadi syarat jihad fardhu `ain hanya ada lima saja; Islam, balihg, berakal, selamat dari cacat fatal serta adanya biaya. Inipun persyaratan adanya biaya akan gugur bila musuh menyerang ke dalam negeri.
Semua ketentuan ini telah ditetapkan oleh para fuqaha berbagai madzhab yang diakui, misalnya dari kalangan madzhab Hanafi Alauddin Al-Kasani yang berfatwa: Bila seruan perang dikumandangkan oleh sebab invansi musuh kedalam negeri artinya fardhu `ain, wajib bagi setiap kepala muslim yang memenuhi syarat untuk maju berdasarkan firman Allah, “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat.” (QS Taubah 41). Maka berperanglah budak tanpa izin tuannya, ISTRI TANPA IZIN SUAMINYA, dan juga anak tanpa izin orang tuanya. (Nihayatul Muhtaj 8/85) Fatwa-fatwa yang mendukung hal ini banyak sekali.
Dari fatwa di atas, kita dapat mengetahui, bahwa ada kalanya ada saat di mana, jihad menjadi fardhu 'ain bagi setiap individu, termasuk bagi wanita (entah dia masih seorang lajang, atau sudah menjadi seorang istri). Wanita turut terjun di medan jihad, disebabkan juga oleh karena terkadang pihak tentara musuh memiliki anggota tentara-tentara wanita yang bertugas memerangi kaum muslimah. Maka mau tidak mau, wanita dari kaum muslimin juga harus turut ambil bagian menjadi benteng pertahanan bagi para muslimah dengan menangkis serangan tentara-tentara wanita kafir, murtadin, ataupun munafiqin yang menyerang kaum muslimah atau anak-anak, selain dari tugas mereka dalam mengobati orang yang terluka sebagaimana disabdakan Rasulullah tersebut di atas.
Ada kalanya, para thoghut menzalimi; menakut-nakuti kaum wanita muslimah di saat suami-suami mereka, orang tua-orang tua mereka atau kaum muslimin tidak ada untuk melindungi mereka. Ada kalanya juga kaum muslimin terpojok oleh serangan musuh, yang mengharuskan kaum muslimah untuk turun ke medan jihad melindungi saudara kandungnya atau kaum muslimin umumnya yang sedang terluka dan berperang sebisanya; membela agamanya dan demi melaksanakan sabda Rasulullah berikut.
Dari Sa’id bin Zaid radhiyallah ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: “Barangsiapa yang mati karena membela (mempertahankan) hartanya maka dia syahid. Barangsiapa mati karena membela keluarganya maka dia syahid, barangsiapa mati karena membela agamanya maka dia syahid dan barangsiapa mati karena membela darahnya maka dia syahid.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam kondisi seperti ini, wanita muslimah mau tidak mau harus memiliki beberapa keterampilan dan kemampuan membela diri mereka sendiri dengan kemampuan yang mereka miliki untuk menghadapi masa-masa di mana partisipasinya dibutuhkan di medan jihad atau segala kondisi yang telah dipaparkan di atas. Untuk itu, wanita juga perlu melakukan i`dad (dengan keterampilan asykar yang manapun yang dia mampui) agar bila di kemudian hari menjumpai dan harus menghadapi situasi semisal ini, mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dan melindungi kaum muslimah atau bahkan kaum muslimin lainnya.
“Kamu harus belajar memanah karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu.” (HR. Bazzar dan Thabrani)
Rasulullah saw. juga bersabda: “Lemparkanlah panahmu itu, saya bersama kamu.” (HR. Bukhari)
Sebagaimana sahabiyyah di zaman Nubuwwah, Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Beliau juga ikut berperang. Dia bercerita, "Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah saw. terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush'ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, "Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud." Begitu tangguhnya Ummu Imarah.

Semoga kaum muslimah di zaman khalaf ini dapat menjadi layaknya Ummu Imarah radiallahu anhaa.Aamiin Yaa MuujibasSaailin
(di sadur dari : Al Umdah fii i'dadil Uddah - Syaikh: Abdul Qadir Abdul Aziz Fakkallahu asrahu)