Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

7.5.10

Catatan harian seorang teroris….

gempur budi angkoroCacatan harian seorang teroris…. (Gempur Budi Angkoro a.k.a Jabir rhm)
“Ya Robbi…, masukkan hamba-Mu ini… ke dalam jannah abadi… bersanding dengan para bidadari….”
Catatan itu dibuat dengan tulisan tangan yang rapi. Setiap paragraf selalu rata pada pinggir kiri dan kanan. Hampir setiap tulisan diberi tanggal, dan kadang diberi judul, tapi tak ada keterangan dimana catatan itu dibuat. Disitu hanya ditulis “bumi Alloh” atau “bumi hijroh”.
Panjangnya beragam. Terkadang ia menulis sampai sepuluh halaman, tapi sering pulan hanya berupa kalimat-kalimat pendek yang tersusun dalam beberapa baris, mirip puisi. Ada yang dimulai dengan bacaan basmalah, ada pula yang dibuka dengan mengutip ayat al qur’an atau hadits yang cukup panjang. Catatan itu dibikin selama setahun lebih, dari Januari 2005 sampai Maret 2006, dituangkan dalam buku kecil dengan ukuran 10×20 sentimeter dan tebal 106 halaman.
Itulah buku harian gempur budi angkoro alias Jabir. Menurut polisi, dia seorang perakit bom dalam kelompok teroris yang dipimpin oleh Dr Azhari dan Noordin M Top. Buku ini ditemukan disebuah rumah di Binangun, Waringin Anom, Wonosobo, Jawa Tengah, yang digrebek pada 29 April lalu. Pemuda 27 tahun ini tertembak hingga syahid saat dikepung. Tempo memperoleh foto kopi buku itu dari seorang sumber di kepolisian.
Tak hanya berisi perenungan mengenai jalan hidup yang ditempuhnya, Jabir juga menulis kenangan pada masa kecil bersama keluarga di Madiun, Jawa Timur. Diapun menumpahkan segala kekagumannya kepada Dr Azhari yang mengajarinya membuat bom.
Dalam bukunya, Jabir menggabarkan sepak terjang kelompoknya sebagai Jihad. Demi jihad pula, mereka mesti melakukan hijroh, mengorbankan harta benda, meninggalkan anak istri, dan menanggalkan keglamouran dunia. Karena itu, “Sesungguhnya perjalanan jihad itu penuh dengan onak dan duri, dibayangi rasa takut kelaparan, dan hilang nyawanya…..,” tulisnya.
Dia rupaya sadar betul resiko yang bakal dihadapinya. Saat penyergapan pada pagi buta itu, polisi juga mengklaim menemukan bom yang siap diledakkan. Bom ini diduga hasil rakitan Jabir. Apalagi di situ ditemukan buku catatan yang lain milik pemuda ini yang berisi berbagai petunjuk teknis membikin bom berikut rincian bahannya dan skema pembuatan detonator. Diduga, Jabir mempelajarinya dari Dr Azhari.
Catatan membuat bom itu juga ditulis cukup rapi. Walau begitu terkadang ia membuat coretan-coretan kecil. Misalnya, dalam daftar bahan-bahan bom yang ditulisnya, dia membubuhkan gambar tengkorak mirip lambing yang biasa dicantumkan dalam botol bahan beracun.
Keisengan serupa sering pula dilakukan pada buku hariannya, tapi dalam bentuk celetukan. Dia selalu berusaha mengukuhkan keyakinannya ” bertemu bidadari melalui jihad”. Lihat saja catatannya pada 20 Januari 2005 yang diberi judul “Cuex aja…”.
Di kanan kiriku mereka berteriak,
Namun mataku tetap nanar
Mereka tak berhenti berceloteh….
Mencaci…. Mencela…. Menghina
Ya…. Robbi…. Masukkan hamba
Mu ini…. Ke dalam jannah
Abadi…. Bersanding dengan para bidadari….
Setelah itu Jabir memberikan komentar atas tulisannya sendiri. ceilee!! Puitis euy….
PROFIL…. PROFILES…. profiller…. Contesti…. Profielen….
Jabir lahir di desa Mojorejo, Kec. Kebonsari, Madiun, Jawa Timur. Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ibunya, Masrihatin, sehari-hari menjadi guru sekolah dasar. Ayahnya seorang peternak ayam. Keluarga ini menjalankan agamanya secara ketat. “Semua saudara pak Rusman selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam”. Kata Sugiman, ketua RT dikampung Jabir.
Pak Rusman menyekolahkan Jabir dan dua kakaknya ke pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pesantren ini dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Amir Majlis Mujahidin Indonesia yang kini menjalani hukuman penjara.
Menurut Sholeh Ibrohim, kepala sekolah Al Mukmin, Jabir hanya setahun sekolah di Ngruki. Setelah naik kelas dua dia pindah ke pondok Pesantren Darusy Syahadah, Boyolali. Ini berbeda dengan catatan Jabir sendiri. di bukunya dia menuturkan pernah belajar selama tiga tahun di Ngruki dan setelah itu pindah ke Darusy Syahadah pada 1995.
Dia dikenang oleh gurunya sebagai santri yang keras memegang pendapat. Mustaqiem, Direktur Pondok Pesantren Darusy Syahadah, masih ingat ketika Jabir dalam sebuah diskusi bertahan dengan argumentasinya menolak demokrasi. Padahal pendapatnya diserang oleh santri dan ustadz muda peserta diskusi. Menurut Mustaqiem, prestasi akademik Jabir biasa-biasa aja. “Seingat saya nilai rata-ratanya tujuh,” katanya.
Setelah lulus dari pesantren Darusy Syahadah, Jabir tidak pulang kampung.  Dia mengajar disana kira-kira tiga tahun, dan sesudah itu menghilang. Beberapa tahun berselang, “Tahu-tahu ada polisi yang datang dan menanyakan keberadaannya,” kata Mustaqiem. Itu terjadi setelah bom berkekuatan tinggi meledak di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta, pada 9 september 2004.
Nasir Abbas, bekas pentolan JI, menduga Jabir ikut menyiapkan bom kuningan. Menurut polisi Jabir juga ikut merakit bom yang meledak di Kafe Nyoman, Jimbaran, Bali, 1 Oktober tahun lalu. Dia pula yang diduga merekrut Salik Firdaus, pelaku Aksi bom bunuh diri di kafe itu. Salik adalah santri adik kelasnya di Pon Pes Darusy Syahadah.
Jabir mulai bergabung dengan kelompok Azhari sekitar lima bulan sebelum peledakan bom kuningan. Ini terungkap dari catatan hariannya. Dia menuturkan telah bergabung dengan Azhari selama satu setengah tahun. Catatan ini ditulis pada 11 November 2005, atau dua hari setelah Azhari syahid di Malang.
Endi Miftahul Huda, 31 tahun, kakaknya, membenarkan bahwa catatan itu ditulis Jabir alias Gempur. “Saya yakin itu tulisan Gempur”, tuturnya. Menurut dia, dulu si adik memang suka menuliskan unek-uneknya di buku.
Buku harian itu dibuat ketika kelompoknya terus dikejar-kejar oleh Detasemen 88 Polri. Jangan heran jika Jabir sering menggambarkan ketidak sukaannya pada pasukan antiteroris. Bahkan dia menyebutnya dengan kata-kata yang amat kasar. Pemuda ini amat kesal ketika ada rekan-rekannya yang ditangkap, dimuat dalam berita di media, dan muncul banyak komentar, termasuk dari tokoh-tokoh umat Islam.
Jabir menulis dalam bukunya: Yang menarik tuh bukan komentar dari orang-orang umum, namun komentar saudara-saudara seiman. Diantara komentar itu kurang lebih, “Begitulah jadinya kalau tak mau menurut saran orang tua.” Di pojok kanan atas tulisan, Jabir membubuhkan balon komik berisi dua kata yang sering muncul dalam sebuah iklan rokok: Tanya kenapa?
Catatan itu ditulis pada akhir Juli 2005. Beberapa pekan sebelumnya, polisi memang rekan-rekan Jabir di sejumlah daerah.
Menghadapi pengejaran polisi, Jabir berusaha menenangkan hatinya. Dalam sebuah catatannya ia menulis: “Ana dan sejumlah ihwan yang tidak sampai jumlah jari-jari tangan, mencoba bertahan kondisi ini. Ana yakin ada kelompok lain yang (bernasib) seperti kami, walaupun yang gencar dicari adalah kami.”
Hanya sebagian besar isi buku harian Jabir memang seputar keyakinannya mengenai jihad beserta alasannya. Ia menyebutkan, dunia Islam saat ini telah menjadi bulan-bulanan “Para kaum kafir, zionis, dan murtadin”. Itu sebabnya Jabir menganggap jihad sebagai fardhu ain (kewajiban semua umat Islam) bukan fardhu kifayah (kewajiban sudah gugur bila sudah ada umat Islam yang menegakkannya).
“Bukankah sejak terampasnya tanah dan kehormatan kaum muslimin baik di bumi Palestina, Afghonistan, Khasmir, Checnya dan Bosnia telah menjadikan jihad sebagai fardhu ain,” tulisnya. Untuk menjalankan jihad, Jabir memandang pentingnya amaliyah. “Kita harus mengeluarkan dana untuk membeli peralaan amaliyahnya.”
Jabir menuliskan pendapatnya tentang aksi peledakan. Dalam sebuah catatan singkat tanpa tanggal, ia menyebutkan: “Dengan peledakan pengikut kebenaran memberikan contoh pengorbanan yang paling indah, berani mati guna membela agama….”
Keyakinannya mengenai jihad masih dipegang teguh sebulan sebelum dia syahid. Seperti hendak berpamitan, Jabir menulis catatan berjudul “Surat terbuka buat para keluarga dan sahabat”. Dia mengungkapkan rasa cintanya pada mereka, dan mengulangi lagi keyakinannya: Jika tubuh dicipta untuk menjemput kematian, lebih baik terbunuh karena Alloh dengan pedang….
Di mata Qomaruddin Hidayat, Jabir adalah potret seorang yang kalah. Dia telah menjadi korban dari indoktrinasi pemimpin kelompoknya yang menganggap jihad sebagai pertempuran. Sedangkan di mata kami Jabir adalah sosok yang patut dijadikan contoh sebagai syuhada’ yang telah mempersembahkan segala yang ia miliki termasuk jiwa satu-satunya untuk membela agama Alloh. Dia jual dengan harga murah kepada Alloh dan Alloh telah membelinya. Maka berbahagialah wahai Jabir. Dan kecelakaanlah bagi orang yang memiliki ilmu agama namun dia menyelewengkannya. Dan Alloh pasti akan mencambuknya dengan cambuk dari api nereka dan tempat kembalinya adalah jahannam dan itulah sejelek-jelek tempat kembali.
Belajar membuat “Kue”
Lembaran-lembaran kertas itu berisi sederet skema piranti elektronik seperti radio atau televise. Ada symbol komponen transistor, kapasitor dan intergrated circuit (IC), yang dirangkai rumit, semua ditulis dengan tangan. Ada juga gambar kotak dan tabung yang dilengkapi dengan symbol senyawa kimia.
Bukan milik seorang siswa yang mendapat pelajaran elektronika dan kimia di sekolah menengah, catatan itu dibuat oleh Gempur Budi Angkoro alias Jabir. Dia menulisnya dalam buku saku setebal 88 halaman. Guratan dan lekuk huruf-hurufnya persis seperti dalam buku hariannya. “Buku ini ditemukan oleh polisi di sebuah rumah di Wonosobo saat penggrebekan Jabir dan rekan-rekannya akhir April lalu,”.
Mula-mula Jabir belajar mengenal bahan-bahan yang bisa dipakai untuk membuat bom, antara lain sodium azide dan lead netrade. Dalam catatannya, setiap senyawa kimia itu diberi penjelasan singkat menyangkut sifatnya. Ada juga keterangan mengenai komposisi campuran, lama membuat, dan daya lenting “kue” yang dihasilkan. Jabir menyebutnya kue untuk adonan bom itu.
Racikan bom yang dipelajari Jabir ada yang berdaya ledak medium (kecepatan lentingnya sekitar 3.500 meter per detik) dan tinggi (berkecepatan lebih dari 6.000 meter per detik). Letupan bom kategori medium 35-60 kali lesatan peluru dari proyektilnya. Kekuatan ini bergantung pada bahan yang dipakai.
Tahap selanjutnya Jabir belajar membuat pemicu elektrik. Ini tergambar dari catatan di lembaran-lembaran selanjutnya. Awal dia mempelajari dasar-dasar elektronika dan berbagai komponen utama. Bahkan Jabir juga belajar menghitung nilai resistor dengan melihat warna gelang-gelang yang ada di komponen ini. Barulah dia mempelajari skema pemicu.
Dari skema yang ditulis Jabir dalam buku catatannya, terlihat ada pemicu yang memakai sistem tunda. Bom baru meledak selang beberapa detik setelah tombol ditekan. Lama waktu sela ditentukan oleh satu komponen dalam pemicu. Jabir memberi tanda lingkaran pada komponen ini disertai keterangan: tambah besar kapasitasnya tambah lama bom meledak.
Ada juga pemicu yang lebih canggih yang dilengkapi pengatur waktu. Sistem ini diaktifkan oleh jam, handphone, atau walkie-talkie. Alat ini akan menekan tombol serba guna yang dipasang pada pemicu.
Di duga, Jabir mempelajari semua itu dari Dr Azhari. Soalnya, beberapa skema yang dicatat persis dengan skema milik sang mentor. Petunjuk terperinci yang ditulis Azhari ditemukan id hard disk sebuah computer ketika menggerebeknya di Malang, November tahun lalu.
Sederet memory tentang Ummi
Dalam buku harian, Jabir menulis pula kenangan mengenai Ibunya dengan judul “Perenungan untuk ummi tercinta.” Inilah ringkasannya.
Sengaja memory tentang aku dahulukan sebelum abi. Selain sebagai ikrom saya, juga karena Rosululloh memerintahkan untuk berbakti kepada umi sebelum bapak, dengan tiga kali ucapan.
Nanda masih ingat ketika berumur …nggak tahu yach  berapa… pokonya belum sekolah. Waktu itu kehidupan keluarga lumayan harmonis dengan ternak ayam petelur dan ayam pedaging, plus lele dan lain-lain. Kita belum punya rumah dan masih tinggal dirumah mbah.
Ujian dari Alloh perlahan tapi pasti mulai menghampiri. Tiga kandang ayam yang baru selesai dibangun terbakar. Masih tampak jelas goretan duka pada wajah abi dan umi. Pag hari ketika umi masih menangis terisak-isak sembari memasak, nanda hanya bisa pasrah sambil membawa ayam-ayam yang terpanggang untuk nanda kasihkan ikan lele.
Saat kita sudah punya rumah, abi pernah marah gara-gara ulah nanda yang jarang buka puasa di rumah tetapi di tempat mbah. Tiba-tiba abi datang dan menampar muka nanda dan mas Ipul (Redi Saiful Mujahidin, kakanya) menyuruh makan di rumah. Sesampai di rumah, amarah abi belum mereda. Entah apa sebabnya abi tiba-tiba membanting hidangan yang siap makan hingga porak-poranda. Nanda hanya bisa menangis, apalagi saat itu sangat tertekan.
Ketika abi ke Malaysia untuk mencari tambahan umi harus banting tulang menghidupi keluarga. Waktu itu mas Huda dan Mas Ipul sudah mondok dan nanda pun menyusul.
Masih ingat dalam memori ketika umi mengantarkan nanda daftar ke PonPes Al Mukmin. Umi kecopetan ketika turun di wilayah Tirtomoyo, Solo. Umi hanya bisa bersedih dan menitikkan air mata. Nanda waktu itu tak tahu harus berbuat apa.
Tiga tahun lebih nanda belajar di Al Mukmin. Ketika berkunjung ke Pondok umi hanya memberi uang 10.000. waktu itu nanda bilang, “InsyaAlloh cukup.” Walaupun kenyataannya sangat jauh dari cukup, nanda tak tega mengatakannya. Pernah tunggakan SPP sampai tujuh bulan, akibatnya nanda harus berkamar diteras bersama santri-santri yang belum membayar uang kamar. Namun nanda ikhlas karena prinsip nanda, selama belum ada kiriman berarti umi belum punya uang.
Saat masa liburan selesai, umi sibuk kesana kemari mencari pinjaman uang, paling tidak bisa untuk ongkos kembali ke pondok. Nanda melihat mata sembap umi ketika memberikan uang yang hanya cukup untuk balik ke pondok dan sedikit jajan dengan mengucapkan, “Sing sabar sik yo le…” nanda hanya dapar menangis di perjalanan. Bukan karena sedikitnya uang, namun jerih payah umi mengusahakan mencukupi kebutuhan nanda di pondok.
Ujian demi ujian harus umi hadapi. Waktu Mas Ipul minta motor, umi tak punya uang, terpaksa kredit dengan cara memotong gaji umi yang tak seberapa dan tentunya ada bunga. Seperti buah simalakama memang. Kalau nggak dituruti mas Ipul sering ngamuk, pintu dipecah, sering mencaci maki. Mungkin karena beban mental umi tak kuat dan langsung kejang-kejang. Nanda hanya bisa memangku umi dan berdoa meneteskan air mata. Alhamdulillah mas Ipul sekarang sudah baik.
Di saat-saat akhir inilah, alhamdulillah, Mas Huda sudah bisa bisnis tempe. Sebelum ada karyawan maka abi dan umilah karyawannya. Tak jarang umi tidur larut malam karena masih harus membuat jajanan untuk dijual di sekolah esok hari dan bangun sebelum subuh. Ketika umi masih bersepeda ke sekolah, tak jarang umi berangkat agak kesiangan karena sibuk bikin kue yang harus dibawa dengan sepeda yang sudah tidak baik lagi.
Ketika Alloh memberi rezeki motor bebek merah tua tahun 70an, alhamdulillah beban umi agak ringan. Namun umi kadang agak minder dengan ucapan teman-teman sesame guru. “Sekarang zamannya motor hitam lho bu….”.
Sabar ya, umi…. Nanda ingin umi melihat bernafas lega, tersenyum dan tidak terlalu banyak pikiran dan beban. Nanda ingin, bila Alloh memberi rezeki pada nanda, bisa membelikan abi dan umi satu atau dua barang yang bisa umi gunakan. Nanda ingin membelikan umi pakaian karena selama ini umi hampir tidak punya baju baru.
Sebenarnya nanda ingin membahagiakan umi. Namun biarlah nanda bahagiakan umi kelak jika Alloh mengkaruniakan syahadah. Karena hanya itu yang bisa dan mudah-mudahan Alloh menerima jihad nanda.
Buat umi ku tersayang….
Salam manis dan sayang….
Tetap sabar dan istiqomah….
Dengan coretan-coretan ini nanda menghibur kangen nanda pada umi.
Malam senin, 4 September 2005, 21:47 WIB, udah dulu yach… ngantuk nich….
“admin : sebelum posting ini, ana baca lagi, pada paragraf-paragraf terakhir mataku mulai berair dan menetes… “

IMAM SAMUDRA

IMAM SAMUDRA
BANTAHAN TERHADAP TULISAN ABU HAMZA YUSUF AL-ATSARI
YANG BERJUDUL TEROR BERKEDOK JIHAD, YANG DIMUAT MAJALAH ASY-SYARI’AH
JAMA’AH TAUHID WAL JIHAD
Penulis :

USTADZ IMAM SAMUDRA @ QUDAMA @ ‘ABDUL ‘AZIZ (Rahimahullah)
Judul :
BANTAHAN TERHADAP TULISAN ABU HAMZA YUSUF AL-ATSARI
YANG BERJUDUL TEROR BERKEDOK JIHAD, YANG DIMUAT MAJALAH ASY-SYARI’AH.
Publikasi :

Divisi Media & Kajian

Jama’ah Tauhid Wal Jihad

bantai_uk@yahoo.co.uk
© All Right Reserved
Silahkan memperbanyak tanpa merubah isi, pergunakanlah untuk kepentingan kaum Muslimin !
“Demi Kembalinya seluruh Dien hanya milik Allah Ta’ala”
Kata Pengantar Publikasi

Segala puji milik Allah, kami memuji, meminta pertolongan, meminta ampunan dan berlindung diri kepada Allah. dari keburukan-keburukan diri kami, dan kejahatan-kejahatan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang mampu menyesatkannya dan Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah  maka tiada yang mampu menunjukinya . Saya bersaksi tiada Ilah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Kepada Ikhwan Fillah, kami mendapatkan tulisan ini dari seorang Ikhwan yang Insya Allah tsiqoh, sehingga yakin tulisan ini datang nya dari Al-Ustadz tercinta Imam Samudra. Tapi pada akhir tulisan ini Wallahu’alam apakah memang sampai disitu atau ada tulisan yang hilang, karena kami mendapatkannya hanya seperti itu tanpa ada kata penutup dari penulis.
Tulisan ini di buat untuk membantah tulisan abu hamza yang di muat di majalah asy-syariah yang mana tulisan itu dibuat untuk membantah tulisan Ustadz Imam Samudra sendiri.
Seperti kita ketahui saat ini adalagi buku yang sangat tebal membantah buku Ustazd Imam, Alhamdulillah ada Seorang Ustadz yang tengah membuat bantahan terhadap buku tersebut, Kita do’akan segera rampung. Semoga hal ini bermanfaat buat kita semua…     ALLAHU AKBAR !!!
بسم الله الرحمن الرحيم
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون(44)
إ ن الحمد لله نحمده ونستعينه و نستغفره و نعوذ باالله من شرور انفسنا ومن سيُاّ ت اعمالن من يهدى الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له و أ شهد أن لا اله إلاَ الله وحده لا شريك له و أشهد أنَّ محمدًا عبده و رسوله. أما بعد:
Risalah ini sebagai bantahan atas tuduhan dan celaan serta caci maki yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengaku diri mereka sebagai “salafi” dalam majalah Asy-Syari’ah (baca : As-Say-yi-ah).
Untuk bantahan ini, terutama atas caci maki yang dilakukan oleh Abu Hamzah Al-Atsari (baca: Ats –Tsar-tsari) penulis bagi dalam beberapa bagian:
  1. Tuduhan dan fitnah yang dilakukan oleh Ats-tsari terhadap ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.
  2. Mengenai konsep keseimbangan dalam perang menurut Islam
  3. Tentang prinsip Jihad akan terus berjalan sampai hari kiamat.
  4. Tentang Ahluts Tsughur
  5. Amaliyah Istisyhaadiyah (bom syahid)
  6. Tentang celaan terhadap ulama
  7. Tentang Takfir menurut Ahlussunnah, Murjiah dan Khawarij.
Tuduhan dan fitnah yang dilakukan oleh Ats-tsari terhadap ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Abu Hamzah Ats-tsar-tsari (selanjutnya disebut A.H.T) menulis:
“Tokoh-tokoh yang disebutkan Imam Samudra di atas tidaklah bermanhaj salaf. Bahkan perjalanan hidup mereka penuh dengan catatan hitam yang menunjukkan mereka jauh dari manhaj salaf”
Komentar  :
Seorang yang berilmu dan beraqidah lurus, tidak akan semudah,sesembrono dan sebodoh itu dalam menilai ulama, apalagi berhubungan dengan manhaj yang ditempuh. Dalam sebuah diskusi di internet yang terjadi pada sekitar 1999-2000, terdapat upaya mendiskreditkan Ulama-ulama yang bermanhaj salaf, antara lain terhadap Syaikh Salman bin Fahd Al-Audah dan Syaikh Dr.Safar bin Abdurrahman Al-Hawali. Diantara pendukung rejim Fahd Al-Abu Righali terdapat seorang yang mengutip kritikan dari buku Madaarikun Nazhaar fi siyaasatisy syar’iyah (Karangan Rabi’ Al-Madkhali) diantara isinya menyebutkan tentang pandangan syaikh Al-ALbani dan Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbaad terhadap syaikh Safar Hawali dan Syaikh Salman Audah, sekaligus memuji Rabi’ Al-Madkhali. Namun Ahlul Haq tidak berdiam diri dengan adanya tuduhan keji itu, di antara mereka terdapatlah Syaikh Ali At-Tamimi dan Al-Akh Abuz Zubair yang mengkounter fitnah dari “Salafy” (baca: Salafy tanda kutip)
Dalam salah satu  fatwanya, ketika memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan kepadnya,Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Bazz menyatakan tentang Syaikh Salman dan Syaikh Safar serta masyayikh yang lainnya:
Tanggal : 10/4/1414 AH
Dari   : Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz kepada saudara yang dihormati…, semoga Allah membimbing dia kearah yang diridhai-Nya. Amien.
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuhu.
Saya menerima surat anda yang memohon saya untuk menyimak kaset, ceramah, kuliah, dan buku-buku dari kalangan khatib dan ulama seperti syaikh A’id al-Qarni, Syaikh Salman Audah, Syaikh Nashir Al-Umar, Syaikh Safar Al-Hawali dan Syaikh Wahhab Ath-Thariri, apakah mereka itu termasuk ahli bid’ah, dan (dikatakan) apakah mereka termasuk kelompok yang menyimpang, juga apakah mereka ini tidak termasuk salafi bahkan mereka adalah khawarij dan (anda menanyakan pula) tentang hukum menjek-jelekkan mereka (ghibah), semoga Allah menunjuki anda kepada hidayah-Nya.
Jawaban :
Kaset-kaset itu baik adanya dan TIDAK termasuk bid’ah, mereka juga TIDAK termasuk khariji. Dan menjelek-jelekkan mereka adalah TIDAK DIPERBOLEHKAN (HARAM). Bahkan sebaliknya kita WAJIB MEMBELA MEREKA sebagai orang yang berilmu di kalangan  Ahlussunnah Wal-Jama’ah, sekalipun mereka tidak maksum, sebagaimana ulama-ulama lainnya, setiap orang mungkin saja melakukan kesalahan, atau dapat berbuat kebenaran. Setiap diri hendaklah menjaga akhlaq mereka sebaik mungkin, dan hendaklah berbaik sangka kepada saudara-saudaranya. Salah satu sabda nabi e : “Setiap Bani Adam adalah berbuat kesalahan dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan ialah orang-orang yang bertaubat” ini berkenaan pula dengan hadits lain: “ Sesungguhnya ketika seorang qadhi berijtihad dan ijtihadnya benar, maka dia beroleh Dua pahala, akan tetapi ketika dia salah ia mendapat satu pahala.” Dan masalah ini berlaku kepada setiap ulama, siapa saja yang pendapatnya benar maka dia memperoleh Dua pahala, dan jika salah, maka dia memperoleh satu pahala, jika dia termasuk orang yang alim dan iklhas karena Allah.
Saya memohon kepada Allah semoga Allah selalu  membimbing kita kepada keridhaan-Nya dan selalul melindungi hamba-hamba-Nya dari kesesatan dan berpaling dari kebenaran. Dia Maha Mendengar, Dia Maha Dekat.
Assalamu’alaikum Warahmatulllahi wabarakaatuhu
Mufti umum kerajaan Saudi Arabia
Dan Ketua Dewan fatwa Senior
Dan departemen penelitian ilmiah dan fatwa
Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz
Demikian fatwa Syaikh bin Bazz, silahkan pembaca membandingkan sendiri dengan pernyataan A.H.T
Syaikh Bin Bazz telah diketahui kealimannya, sekalipun tidak maksum, dan tak mungkin maksum. Beliau dengan gamblang menerangkan kedudukan SYaikh Salman Audah dan Syaikh Safar Hawali. Tiba-tiba di sepetak bumi kecil, Indonesia, ada Ustadz (Mungkin ustadz T.P.AJ) bikin coret-coret di majalah As-Say-Yiah yang menjelek-jelekkan Ulama yang menurut Syaikh Bin Bazz seharusnya Ulama itu dibela. Ada apa rupanya dengan A.H.T ini? Jangan-jangan waktu kecilnya dulu sering jatuh dan kepalanya sering terbentur benda keras, jadi…..??
Selanjutnya A.H.T menulis:
“Tidak ada hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlussunnah. Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam manhaj (methodologi), tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyah, Ikhwaniyyah dan Kharijiyyah. Hal itu terbukti dengan penyimpangan-penyimpangan dan pemikiran yang menyesatkan, cukuplah bantahan Asy-Syaikh Ar-Rabi’, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Muqbil dan yang lainnya  menjadi saksi bahkan ketika beliau ditanya tentang Usamah bin Ladin, jawabnya:” Aku berlepas diri dari Usamah bin Ladin, dia adalah kejelekan dan bala’ atas Ummat, tindakan-tindakannya pun jelek”
JIka kaum Muslimin ingin lebih tahu lagi sejauh mana normalitas aqidah dan akal A.H.T ini, mari kita ikuti fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin ketika menjawab pertanyaan seputar syaikh Salman dan Safar Hawali
Fadhilah Syaikh kami, Al-‘Allaamah Asy-Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Jibrin, sebuah soalan diajukan kepada anda, bagaimana pandangan tuan terhadap orang yang mengatakan bahwa bahayanya syaikh Salman dan Syaikh Safar Hawali terhadap dakwah salafiyah adalah lebih bahaya dari Firqah sesat dan menyimpang?
Syaikh kemudian menjawab:
بسم الله الرحمن الرحيم..
Alhamdulillah,Shalawat dan Salam atas Nabi Muhammad dan atas keluarganya dan sahabatnya…selanjutnya. Maka tuduhan diatas tidak berasal dari orang yang  berakal yang mengetahui ulama-ulama itu, mengetahui alhaq (kebenaran), dan mengetahui para penyeru kepada kebenaran. Tuduhan seperti itu hanyalah berasal dari orang yang bodoh terhadap hakikat kebenaran, atau dari orang yang memusuhi kebenaran, memusuhi dakwah dan memusuhi para penyeru kepada kebenaran.
Semua tuduhan itu tidak terjadi melainkan karena orang-orang yang mereka tuduh itu terkenal dikalangan kaum Muslimin dengan dakwah mereka kepada Allah,makalah-makalah mereka, karangan-karangan mereka dan kaset-kaset mereka tersebar luas, betapa banyak kalangan memperoleh manfaat dan nasihat mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan bukti akan kecintaan mereka terhadap kebenaran dan kecintaan manusia terhadap mereka. Sesungguhnya mereka menerima As-Sunnah dan manusiapun menyambut pembelajaran dari mereka…(LIhat Ad-Difa’ Anid Du’aat, Syaikah Abdullah Al-Jibrin)
Jadi,menurut Syaikh Abdullah Al-Jibrin, orang yang menuduh Syaikh Salman dan Safar Hawali,tidak lain hanyalah orang-orang yang bodoh, tidak mengerti kebenaran, atau memusuhi kebenaran atau memusuhi pada da’I yang menyeru kepada kebenaran. Lalu A.H.T ini masuk kategori yang mana?
Dengan takabbur dan sok tahunya A.H.T mengatakan :” Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam manhaj (methodologi), tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyah, Ikhwaniyyah dan Kharijiyyah “
Lalu bagaimana dengan Syaikh bin Bazz dan Syaikh Abdullah Al-Jibrin, Apakah mereka tidak kamu anggap sebagai orang hai Ats-Tsartsari?
A.H.T menganggap ulama-ulama dan mujahid yang saya sebutkan dalam A.M.T jauh dari manhaj salaf. Sedangkan Syaikh Abdullah Al-Jibrin dalam fatwa yang sama mengatakan:
Para Masyayikh (syaikh-syaikh) itu Alhamdulillah terkenal, dan mereka dikenal dinegeri ini dari kalangan yang beraqidah Salafiyah, mereka menyampaikan pelajaran tentang aqidah, mereka juga menyelenggarakan muhadharah (diskusi) dan majlis-majlis kajian yang dihadiri oleh banyak kaum Muslimin,kebanyakan yang hadir adalah para pemuda… …(LIhat Ad-Difa’ Anid Du’aat, Syaikah Abdullah Al-Jibrin)
Dari sini kita dapat melihat betapa hinanya tulisan A.H.T dalam majalah As-Say-Yiah. Karena kebodohannya ia berani mengatakan Syaikh Salman Audah dan Syaikh Safar Hawali jauh dari manhaj Salaf dan tidak ada hubungannya dengan Ahlussunnah Wal-Jam’ah. Ingatlah Tsar-tsari daging ulama itu beracun, mengapa kau cela mereka karena kebodohanmu atau karena kebohonganmu?! Takutlah kepada Allah.
Saya bertanya kepada Tsar-tsari, apa yang kau maksud dengan “perjalanan hidup mereka dipenuhi dengan catatan hitam?” apakah karena mereka pernah dipenjara oleh Fahd Abu Righal rejim penguasa Saudi Arabia yang jadi jongos Amerika itu?
Dr.Safar Hawali dan  Salman Audah dipenjara karena mereka membongkar konsiparasi Salibis dan zionis di Timur tengah, menyarankan agar ummat Islam bersatu dan bahu membahu. Rejim Fahd Abu Righal pernah meminta Hai-ah Kibarul Ulama untuk menginvestigasi masalah syaikh Safar dan syaikh Salman. Hay-ah Kibarul Ulama kemudian menyimak dan membaca beberapa tulisan syaikh Safar. Mereka akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil sikap dan mengembalikan masalah ini kepada rejim Saudi Arabia. Kemudian kerajaan Abu Righal ini menciduk Syaikh Salman dan syaikh Safar Hawali mereka untuk menandatangani sebuah dokumen dan menawarkan mereka agar tidak mengatakan beberapa point berikut kepada kaum Muslimin:
  1. Dunia Islam adalah target perang salib baru.
  2. Sudah waktunya untuk menghimpun tenaga berperang menghadapi  perang salib baru.
  3. Politik adalah bagian dari dien (agama)
  4. Problematika yang dialami Amerika adalah karena mereka mejauh dari Allah
  5. Deklarasi bahwa Bank ribawi adalah dilarang dalam syariat Islam.
  6. Muslim harus membayar zakat dan memberikan infaq
  7. Sesama Muslim harus saling bahu membahu .
Tawaran ini ditolak oleh syaikh Safar dan Syaikh Salman. Akibat penolakan tersebut akhirnya kedua syaikh ini diberangus dari posisi mereka sebagai pengajar , mereka dilarang dari seluruh aktivitas dan melakukan kontak dengan siapapun. Mereka ditangkap dan dipenjarakan selama lebih kurang Enam tahun.
Saya tak tahu apakah ini yang dimaksud dengan ‘catatan hitam’ menurut Tsar-tsari. Kalau apa yang terjadi pada syaikh Safar dan Syaikh Salman dianggap sebagai ‘catatan hitam’, maka tak ubahnya kaum Mu’tazilah di zaman Imam Ahmad menganggap beliau sebagai ‘pemilik catatan hitam’, begitu pula dengan apa yang pernah terjadi pada diri Ibnu Taimiyah rahimahullaahu ‘alaihima, karena mereka semua pernah diseret ke penjara para penguasa, bahkan dianggap khawarij.
Sementara itu, syaikh Asy-Syahid Abdullah Azzam, seorang ulama asal Palestina, meraih gelar doctor dalam bidang Ushul Fiqh,pernah menjadi dosen di beberapa Universitas terkemuka kemudian meninggalkan semua profesi itu untuk kemudian meleburkan diri bersama jihad Afghanistan. Saat beliau hidup, beberapa tanzhim dapat bersatu dengan washilah bimbingan beliau rahimahullah. Terbunuh syahid (saya menganggap dan meyakininya begitu) oleh agen CIA di Peshawar. Dalam ceramah-ceramah yang dibukukan oleh murid-muridnya jelas sekali bahwa aqidah dan manhaj yang beliau tempuh adalah Ahlussunnah Wal-jama’ah, manhaj Salafush Shalih. Apakah perjalanan hidup ulama semulia itu dianggap catatan hitam oleh Tsar-tsari? Siapa gerangan tsar-tsari ini? Apakah orang ini telah kehilangan rasa malu nya? Atau barangkali seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdullah Al-Jibrin : tidak lain hanyalah orang-orang yang bodoh, tidak mengerti kebenaran, atau memusuhi kebenaran atau memusuhi para da’I yang menyeru kepada kebenaran

Inilah Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri Hafizhahullah, Syaikh Mujahid asal Mesir ini hijrah dari tanah kelahirannya ke Afghanistan semasa Pemerintahan Thaliban berkuasa, beliau kemudian turut berjihad melawan Kafir Amerika dan seluruh Negara Kristen serta antek-antek tentara salibis lainnya.
Dan ini syaikh Usamah bin Ladin Hafizhahullah. Seluruh makhluk bernama manusia di kolong langit ini, bahkan termasuk si Bush dan antek-antek kafir lainnya Laknatullaahi ‘Alaihim mengerti bahwa Syaikh Usamah mengisi masa hidupnya dengan berjihad melawan kafir Komunis Russia sejak putaran awal, lebih dari separuh usianya digunakan untuk berjihad Fie Sabilillah, hingga detik ini tetap Istiqamah berjihad melawan kafir Salibis dan Zionis Amerika dan sekutunya membela kaum Muslimin Afghanistan, Chechnya, Filipina, Iraq dan negara-negara Muslim lainnya.
Syaikh Maulawi Mullah Umar pula, seorang Ulama muda, diangkat menjadi Amirul Mu’minin Daulah Islamiyah Afghanistan oleh Ahlul Halli Wal’Aqdi Afghanistan, dibawah kepemimpinan beliaulah terlaksana Syari’at Islam di Afghanistan, bahkan Pakistan dan Saudi Arabia mengakui keabsahan Daulah Islamiyah Afghanistan (Thaliban) di waktu itu.
Jadi, tempat sampah mana yang dikorek-korek oleh Tsar-tsari ini, atau penjajah mana yang dijongosi olehnya sehingga ia secara lancang menyebut keutamaan dan amal jihad para ulama,ulama mujahid dan Mujahidin diatas  sebagai catatan hitam? Beruntunglah Amerika! Kalian memiliki manusia yang mengaku Muslim model Tsar-tsari ini!
Jadi, semua ulama itu, semua mujahid itu, semua ahluts tsughur itu, rahimahumullah wa hafizhahumullah, dengan segala amaliyah jihad mereka adalah salah,bathil, sedangkan Abu Hamzah Ats-Tsari dan orang-orang yang menurut dirinya benar, adalah Ahlussunnah. Betapa sebuah tazkiyatun Nafs yang sangat arrogant!
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا(49)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.(An-Nisaa (4):49)
Jika seluruh hidup mereka-para mujahidin itu- digunakan untuk berjihad melawan penjajah salibis dan zionis dan antek-anteknya kamu anggap sebagai penuh dengan catatan hitam, lalu bagaimana dengan orang-orang yang melegitimasi dan mengizinkan kaum Musyrikin Salibis dan Zionis memasuki dan menduduki Jazirah Arab lalu membuat pangkalan Militer di Saudi Arabia yang kemudian digunakan untuk membunuh kaum Muslimin di Iraq dan di Afghanistan?
Apakah ada kaum Muslimin yang tidak tahu bahwa Syaikh bin Bazz memfatwakan bolehnya Amerika musyrikin najis, Laknatullaahi ‘Alaihim memasuki jazirah Arab? Di hadapan kita ada Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah tempat kembali kaum Muslimin ketika terjadi tanazu’ (perselisihan pendapat). Firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا(59)
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa (4): 59)
Ingatlah dan ketahuilah bahwa di antara 6000 lebih ayat Al-Qur’an itu terdapat ayat ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ(28)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah (9):28)
Lihatlah, bahwa kaum Najis Dilarang oleh Allah untuk mendekati masjidil Haram, kalau mendekati saja tidak boleh apatah lagi membuat pangkalan militer? Makhluk Allah yang paling memahami ayat ini, Nabi Muhammad  ShallaLlaahu ‘ALaihi Wa Sallam bersabda:
أَخْرِجُوْا الْمُشْرِكِيْنَ مِنْ جَزِيْرَةِ اْلعَرَبِ (متفق عليه)
Keluarkanlah kaum Muysrikin dari jazirah Arab (Muttafaq ‘alaihi)[1]
Makkah dan Madinah adalah bagian kecil dari jazirah Arab. Artinya jika kaum Musyrikin di larang mendekati jazirah Arab, berarti mereka diharamkan mendekati Haramain dengan radius yang sangat jauh. Selama tempat itu masih bernama Jazirah Arab, selama itulah kaum musyrikin dilarang mendekatinya, selama itu pula mereka wajib dikeluarkan, dihalau, diusir dari jazirah Arab. Akan tetapi, Saudi Arabia malah membiarkan dan membenarkan kaum Musyrikin itu menginjak-injak tanah suci kaum Muslimin, jantung Jazirah Arab, bahkan jantung dunia!
Mujahidin yang berusaha mengamalkan hadits di atas dianggap sebagai khawarij, penuh catatan hitam. Sedangkan mereka yang secara terang-terangan melanggar ayat dan hadits di atas dianggap sebagai Ulama Alim Rabbani, Ulama Ahlussunnah![2]
Dan bukankah seluruh dunia (kecuali kamu barangkali), tahu bahwa si Bush menyatakan bahwa peperangan yang dilakukan terhadap Iraq adalah sebagai perang salib? Siapa sebenarnya yang hitam, para mujahidin yang memerangi kafir Amerika,penjajah Laknatullaahi ‘Alaihim, ataukah orang yang memberikan jalan kepada para penjajah itu untuk membantai kaum Muslimin? Betapa buruk ucapan Tsartsari ini Dimana otakmu wahai Tsartsari?
كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا(5)
Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.(Al-kahfi:5)

Seluruh makhluk di langit dan dibumi, sejak awal diciptakan oleh Allah, baik itu malaikat, jin,syaitan, manusia, tumbuh-tumbuhan, bahkan binatang sekalipun hingga detik ini dan sampai hari kiamat nanti tidak pernah mengenal ada nabi bernama Muqbil, Ibnu Bazz, atau Utsaimin atau Shalih Fauzan yang disebut-sebut oleh Abu Hamzah tsartsari. Mereka adalah manusia biasa yang bisa jadi salah dan bisa jadi benar. Siapapun juga tidak boleh memutlakkan bahwa seluruh pendapat dan pernyataan mereka adalah benar. Usaha mereka untuk menempuh manhaj salaf bukan berarti jaminan bahwa mereka adalah ulama salaf, sekali-kali tidak! Karenanya, ucapan syaikh Muqbil –jika benar dia mengucapkannya- : “Aku berlepas diri dari Usamah bin  Ladin, dia adalah kejelekan dan bala atas ummat, dan tindakan-tindakannya pun jelek” (seperti dikutip oleh Abu Hamzah ats-tsartsari dalam majalah As-Say-yiah halamana 19), hanyalah perkataan manusia biasa, bisa jadi ucapannya itu sendiri adalah justru bala bagi dirinya sendiri dan bagi ummat Islam, terutama bagi Abu Tsartsari.
Jika syaikh Usamah bin Ladin Hafizhahullah yang telah meninggalkan tanah kelahirannya lalu berhijrah ke Afghanistan dan kemudian dengan harta dan jiwanya  melawan komunis Russia, Amerika (salibis), Zionis (Yahudi) dan sekutu-sekutunya, demi tegaknya kalimat Allah, lalu terbukti beliau menegakkan Daulah Islamiyah di Afghanistan bersama Maulawi Mullah Umar hafizhahullah dan para ulama-ulama serta Mujahidin Afghanistan dikatakan sebagai ‘Bala’, maka bagaimana dengan orang yang tidak berperang membela lelaki lemah,wanita, dan anak-anak Muslim yang dibantai oleh kafir Salibis dan Zionis?
Ketika jihad dalam keadaan fardhu Kifayah orang-orang yang tidak berjihad oleh Allah dikatakan sebagai Qa’idin, dan ketika jihad menjadi fardhu ‘ain orang-orang yang tidak berjihad disebut oleh Allah sebagai Fasiqin. Maka manakah yang lebih pantas disebut sebagai bala, para mujahidin fie Sabilillah itukah atau para Qa’idin dan/atau fasiqin?


  1. Mengenai konsep keseimbangan dalam perang menurut Islam
Abu Hamzah menulis:
“Entah keseimbangan hukum mana yang dia anut. Kalaulah warga sipil dari Negara penjajah itu berada di medan pertempuran dengan kaum Muslimin dan mereka terlibat dalam peperangan terhadap kaum Muslimin,maka dapat dibenarkan memerangi mereka. Tetapi apa yang terjadi dengan Bom Bali? Tak ada seorangpun yang mengatakan bahwa di Bali sedang berkecamuk perang antara Muslimin dan kafirin. Lagipula tak sedikit dari kaum Muslimin yang menjadi korban bom jahat itu”
Bantahan:
“Ya, entah kebingungan dan kebutaan fakta jenis apa yang diidap oleh Abu Hamzah ini. Kalaulah warga sipil Muslim yang terdiri dari lelaki jompo, wanita lemah dan bayi-bayi di Afghanistan itu  terbukti menghancurkan Dua menara WTC milik Amerika Laknatullaahi ‘Alaihim, kalaulah kaum Muslimin Sudan terbukti membuat senjata Nuklir lalu diledakkan di Amerika atau Negara-negara sekutu lainnya,kalaulah bangsa Muslim Somalia melakukan hal yang sama terhadap Amerika, kalaulah 1,6 juta bayi Iraq pada tahun 1991-1992 terbukti angkat senjata memerangi Amerika laknatullahi ‘Alaihim Ajma’in, maka –barangkali- masuk akal jika mereka diperangi atau diembargo sampai mati!
Akan tetapi apa yang terjadi dengan pembantaian kaum Muslimin sipil di Palestina, apa  yang terjadi dengan pemusnahan kaum Muslimin, Muslimah dan bayi-bayi Afghanistan, apa yang terjadi dengan pembantaian terhadap 1,6 juta bayi di Iraq oleh Amerika laknatullahi ‘Alaihim Ajma’in, begitu juga dengan bayi-bayi kaum Muslimin di Somalia dan Sudan. Tak ada seorang makhluk waraspun di kolong langit ini yang berani mengatakan bahwa lelaki jompo,muslimah lemah dan tua renta serta bayi-bayi yang masih  menyusu itu sebagai TENTARA yang menghancurkan WTC atau membuat nuklir untuk menghancurkan Amerika laknatullahi ‘Alaihim Ajma’in. Bukankah kebiadaban bahkan kesangat biadaban Amerika laknatullahi ‘Alaihim Ajma’in membantai rakyat sipil sebagaimana disebutkan di atas adalah merupakan perbuatan melampaui batas?
Tidak ada jawaban selain: “Ya!”, para kafirin itu memang telah melakukan إِعْتِدَى  (pelampauan batas) terhadap kaum Muslimin. Karenanya berlakulah ayat ini:
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang (melampaui batas terhadap) kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangan (pelampauan batas) nya terhadapmu (Al-Baqarah (2):194)


Tidak ada seorangpun warga sipil Muslim di Afghan,Palestina,Sudan,Somalia yang melakukan penyerangan dan terlibat perang. Tahukah kau hai Abu Hamzah! Maka –sekali lagi- pembantaian yang dilakukan oleh tentara kafir Salibis dan Zionis terhadap mereka adalah tindakan melampaui batas!


أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى(36)وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى(37)أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى(38)وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى(39)
Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?, dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?, (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (An-Najm (53):36-39)

Kau baca ayat diatas Abu Hamzah! Lalu kamu lihat dalam kenyataan : Apa dosa kaum sipil Muslim anak-anak kecil dan bayi-bayi di Afghanistan, Palestina dan Somalia sehingga mereka dibantai secara biadab oleh Salibis Amerika  dan sekutunya serta Zionis Laknatullaahi Alaihim.
Jangan pura-pura tidak faham dengan apa yang telah saya tuliskan dalam buku AMT (Aku Melawan Teroris), disitu telah saya sebutkan bahwa Jihad Bom Bali dan jihad-jihad lainnya adalah sebagai balasan (reaksi) atas tindakan kebiadaban yang amat-amat melampaui batas yang dilakukan oleh Salibis dan antek-antek mereka Laknatullahi ‘ALaihim Ajma’in terhadap kaum Muslimin seperti disebutkan di atas.Pada halaman 142 buku AMT telah saya katakan : “Karena itu, Islam memberikan ruang untuk membalas tindakan melampaui batas, brutal, yang dilakukan oleh Zionis dan Salibis dan sekutu-sekutu mereka “ . Saya mengatakan hal itu disertai dalil-dalil yang saya paparkan, baik sebelum maupun sesudah kata-kata tersebut diatas. Sebenarnya dalam penulisan tersebut saya menggunakan uslub yang sederhana dan mudah difahami, target saya adalah orang-orang yang mempunyai IQ standard. Maka orang yang IQ nya di atas rata-rata (misalnya Jenius) Insya Allah akan lebih cepat memahaminya. Jika ada orang yang tidak faham dengan tulisan tersebut, berarti IQ nya dibawah rata-rata orang normal. Kalimat bingung seperti : “Entah keseimbangan hukum mana yang dia anut..” tentu saja tidak akan terjadi pada orang-orang yang ber IQ standard atau lebih. Maka orang yang menuliskan kata-kata seperti itu berarti…?
Sebenarnya, jika Abu Hamzah jujur hendak berbicara Islam menurut manhaj salafush shalih dan tidak berniat menuduh serta mencaci maki secara sembrono, masalah larangan membunuh wanita,anak-anak dan orangtua jompo ini telah saya sebutkan dalam AMT halaman 139-143. Disitu telah saya sebutkan bahwa pada intinya,Rasulullah e melarang kaum muslimin dari membunuh wanita,anak-anak,dan orang tua jompo serta para rahib. Ini berlaku ketika kaum kafir tidak berbuat melampaui batas terhadap kaum Muslimin. Tetapi kemudian, ketika kaum kafir melampaui batas terhadap kaum Muslimin, berlakulah ketentuan untuk melaksanakan pembalasan terhadap kaum kafir dengan pembalasan yang setimpal sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 194, An-Nahl ayat 126 dan Surat lainnya. Para ulama salaf tidak berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat diatas, yaitu sebagai ayat pembalasan atau dikenal dengan mua’malah bilmitsli.
Jadi, retorika Abu Hamzah yang berbunyi:
“Jika Rasulullah mengecualikan beberapa kalangan orang kafir untuk tidak diperangi dalam kondisi perang –yakni terhadap mereka yang tidak terlibat peperangan- lalu bagaimana kiranya dengan orang kafir yang tidak berada dalam peperangan dan tidak terlibat penyerangan seperti di Bali, Jakarta dan tempat-tempat lainnya?..”[3] adalah -sekali lagi- menunjukkan bahwa ia tidak faham isi buku yang saya tuliskan dengan uslub yang sangat mudah tersebut. Atau dia tak mau faham, karena memang di hatinya telah tertanam sifat antipati dan menolak kebenaran selain dari kelompok atau hizb dirinya. Rupanya tsartsari terkena pula Syndrome ‘Belalai gajah’ yang merasa yakin dirinyalah yang paling benar, tanpa sadar bahwa dirinya sebenarnya buta, dia hanya mengandalkan perasaan dan sebagian indra saja. Maka apa yang tidak terlihat, tidak terasa dan tidak diketahui olehnya dianggap sebagai Bid’ah,tolol,dan konyol.Dan ternyata, semua itu akhirnya kembali kepada dirinya sendiri.
Dalam tulisannya –tepatnya celaannya- di majalah As-Say-yiah, Abu Hamzah secara licik sengaja membentuk opini bahwa seolah-olah Jihad bom Bali adalah satu peristiwa tersendiri yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan perang melawan penjajah Amerika dan sekutunya. Ia memposisikan orang-orang yang melawan penjajah sebagai orang yang memulai peperangan,mereka adalah bodoh,bid’ah,konyol,bermanhaj khawarij ,berkhianat terhadap Ahlussunnah wal-jama’ah, sedangkan bangkai kaum kafir yang terbunuh dalam Jihad bom Bali adalah orang-orang yang tak berdosa (apa ada orang kafir yang tak berdosa?), yang tidak boleh dibunuh,bahkan harus dibela dan dilindungi. Lebih konyol lagi ia menyebut bangkai-bangkai kafir itu sebagai Kafir Mu’ahid! Sehingga dengan entengnya dia mencomot hadits sekenanya:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهدًا فِى غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَُمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَُةَ

“Barangsiapa membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian) tidak pada waktu/tempatnya maka Allah mengharamkan surga untuknya” (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya n0 2760, dan An-Nasa-I dalam sunan-nya no 4761 dari sahabat Abu Bakrah r.a) (Majalah Asy-Syari’ah vol 1/no 12/1425 H/2005, hal  20)

Hadits yang dikutip adalah benar, shahih, akan tetapi hadits itu berada satu lembah, sedangkan bangkai kafir harbi yang mati dalam Jihad bom Bali berada di lembah lain. Menempatkan hadits itu untuk membela bangkai kafir yang mati dalam Jihad bom Bali atau lainnya adalah satu  kesalahan fatal. Insya Allah akan saya uraikan dibelakang tentang hal ini, Wallahul Musta’an.
Untuk mendukung kepicikannya pula Abu Hamzah tsartsari memelintirkan ayat 190 dan 194 surat Al-Baqarah dan Surah An-Nahl ayat 126. Ayat-ayat tersebut menurut Abu Hamzah adalah menjadi hujah atas saya  Ini terbukti dengan ucapannya :”Ayat-ayat ini sesungguhnya justru menjadi hujjah atasnya.” (As-Say-yi-ah hal 20). Jika ayat  ini menjadi hujah atas saya, artinya ayat yang sama menjadi hujjah bagi lawan saya. Dalam hal ini lawan saya adalah Amerika dan sekutu-sekutunya. Karena kontkes :’hujjah atas seseorang’ artinya orang yang disebut itu dikenai hukum atau hujjah, sedang ‘hujjah bagi seseorang’ artinya orang yang disebut disitu berhak menghukumi atau menggunakan ayat tersebut untuk menghukumi orang lain yang terkena hujjah atasnya. Dengan kata lain, berdasarkan ayat-ayat diatas –versi Abu Hamzah Tsartari- Imam Samudra,dianggap melampaui batas terhadap kafir Amerika, karenanya saya harus dihukum oleh Amerika sesuai dengan ‘kejahatan’ yang saya lakukan. Boleh jadi Abu Hamzah mempunyai maksud lain –wallahu A’lam- dengan kata-katanya itu, akan tetapi dalam permasalahan ini jelas yang dia bela adalah bangkai-bangkai kafir Amerika dan sekutunya. Sebenarnya dalam AMT hal ini telah saya jelaskan cukup gamblang, bahkan orang yang berbeda pendapat dengan saya sekalipun akan mudah memahami apa yang saya maksudkan dalam tulisan saya di AMT tersebut.
Seluruh kaum Muslimin yang memilki pemahaman yang lurus pasti mengerti ahwa sejak ayat itu turun, sampai kiamat kelak, adalah sebagai dasar bagi kaum Muslimin untuk mengadakan pembalasan setimpal terhadap kejahatan yang dilakukan oleh kaum kafir terhadap kaum Muslimin. Dengan kata lain, ayat-ayat tersebut sebagai hujjah bagi kaum Muslimin dan sebagai hujjah atas kaum kafirin yang melakukan tindakan melampau batas terhadap kaum Muslimin.
Dalam menafsirkan ayat :
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang (melampaui batas terhadap) kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangan (pelampauan batas) nya terhadapmu (Al-Baqarah (2):194)
Ibnu katsir Rahimahullah berkata :
Ayat ini menyuruh kaum Muslimin untuk berlaku adil (seimbang) walaupun terhadap orang Musyrikin, sebagaimana firman-Nya:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu[4]. Dan firman-Nya:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
(Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa) [5],[6]
Ditempat lain, dalam menafsirkan ayat : وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
Ibnu katsir menyebutkan: “ Allah SWT memerintahkan untuk berlaku adil dalam melakukan Qishash dan pembalasan serupa demi memenuhi hak sebagaimana berkata Abdurrazaq dari Tsauri dari Khalid dari ibnu Sirin bahwasanya dia berkata tentang firman Allah
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ –yaitu- jika seseorang berbuat sesuatu (kejahatan) kepadamu dengan sesuatu, maka lakukanlah oleh kalian terhadapnya seperti yang dilakukan olehnya terhadap kalian. Demikian pula Mujahid, Hasan Al-Bashri dan selain mereka mengatakan hal yang sama. Ibnu Jarir memilih pendapat ini”, demikian kata ibnu Katsir[7]
Dalam  tafsir tersebut kita dapat faham bahwa ayat diatas berkenaan dengan Qishash. Hal ini seirama pula dengan yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthubi berkenaan tafsir ayat diatas, katanya: “Tidak ada khilaf di kalangan Ulama bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Qishash dan pembalasan setara (seimbang). Barangsiapa membunuh dengan menggunakan sesuatu, maka dia dibunuh pula dengan sesuatu yang digunakan olehnya untuk membunuh. Ini adalah jumhur ulama” [8]
Jika seorang kafir membunuh seorang Muslim maka si kafir tadi wajib diqishash, akan tetapi jika seorang Muslim membunuh kafir, maka tidak berlaku Qishash terhadapnya, ini sebagaiman diterangkan dalam tafsir Ibnu katsir: “Dan Jumhur berpendapat bahwa seorang Muslim tidak boleh dibunuh oleh orang kafir, dengan adanya  hadits Bukhari dari Ali,katanya: Rasulullah e bersabda:
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Seorang Muslim tidak boleh dibunuh oleh seorang kafir”[9]
Sesungguhnya kejahatan yang melampaui batas dari Amerika terhadap kaum Muslimin bahkan terhadap bangsa-bangsa lain sudah menjadi pengetahuan umum, karenanya, aneh saja jika masih ada seorang yang mengaku dirinya Muslim yang membela-bela Amerika dengan tulisannya-meskipun dia akan membantah bahwa dia membela Amerika- tetapi zhahirnya tulisan tersebut merupakan indikasi bahwa ia membela bangkai kafir yang pasti dimasukkan ke neraka oleh  I Q
Satu hal yang sangat penting, yang telah luput dari pemahaman Ummat Islam sekian lamanya ialah tentang hukum asal membunuh atau memerangi kaum kafir. Kebanyakan kaum Muslimin, apalagi yang telah jauh dari Islam dan dari para ulama yang jujur, menganggap bahwa kaum Muslimin sama derajatnya dengan kaum kafir dalam segala hal,hatta masalah kehormatan dan nyawapun dianggap sama! Ini satu musibah, Innaa Lillaahi Wa- Innaa Ilayhi Raaji’uun. Lalu bagaimana sebenarnya pandangan Ulama Ahlussunnah dalam masalah ini? Kita ikuti pandangan mereka,sebagai upaya menyampaikan kepada Ummat apa-apa yang seharusnya diketahui, dimengerti dan diamalkan dari masalah yang haq sesuai kemampuan (qudrah) yang dimiliki. Silahkan ridha orang yang ridha, dan silahkan membenci orang yang hendak membenci. Wallaahul Musta’an

Firman Allah:


وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ(193)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah:193)


Imam Al-Qurthubi menyebutkan : “Dan perangilah mereka” adalah perintah untuk memerangi seluruh kaum Musyrikin dalam seluruh keadaan, bagi yang berpendapat bahwa ayat ini adalah ayat yang menasakh (menghapus) ayat lain. Adapun bagi yang berpendapat bahwa ayat ini bukan sebagai ayat yang menasakh, berkata:”maksudnya ialah :perangilah mereka, yaitu orang-orang yang dikatakan oleh Allah dalam ayat “jika mereka memerangi kalian”. Akan tetapi pendapat pertama adalah lebih benar, yaitu perintah untuk memerangi secara mutlak tanpa syarat adanya peperangan yang dimulai oleh kaum kafir. Dalil akan hal ini ialah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “ويكون الدين لله” (dan jadilah dien milik Allah), dan Rasulullah e bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله (Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka berkata لا إله إلا الله (Tiada Ilah selain Allah). Jadi ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab terjadinya perintah untuk berperang adalah karena faktor kekafiran, karena firman Allah ‘Sehingga tidak terdapat fitnah’ artinya sehingga tidak terdapat kekafiran, maka tujuan perang disini adalah supaya tidak ada kekafiran, inilah yang benar. Ibnu Abbas,Qatadah,Ar-Rabi’ dan As-Sudi serta yang lainnya berkata: Yang dimaksud dengan ‘fitnah’ dalam ayat ini adalah kesyirikan dan sejenisnya yang menyakiti kaum Muslimin “[10]
Dari keterangan di atas nyatalah bahwa hukum asal darah kafir adalah Halal untuk diperangi. Ini terjadi semata-mata karena kekafiran mereka. Hukum halal memerangi mereka ini kemudian berubah menjadi tidak halal lagi setelah mereka masuk Islam, sesuai dengan hadits : “Sehingga mereka mengucapkan لا إله إلا الله (Tiada Ilah selain Allah) “

Imam Syafi’I  berkata dalam Al-Umm: “Karena asalnya adalah difardhukan jihad terhadap kaum Musyrikin sampai mereka semua beriman atau memberikan jizyah”, dalam kesempatan lain beliau berkata pula :” Memerangi mereka sampai mereka menjadi Muslim adalah difardhukan, jika kaum Muslimin memiliki kemampuan untuk itu”[11]

Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi mengatakan : “Sesungguhnya syariat Islam telah mengharamkan darah kaum Muslimin,mengharamkan merusak kehormatan mereka, mengharamkan merampas harta mereka atau mencelakakan mereka dengan berbagai cara apapun, secara langsung ataupun tidak langsung kecuali dengan ketentuan syar’I sebagaimana sabda Rasulullah e :”Tidak halal darah kaum muslimin kecuali dengan Salah satu diantara Tiga perkara: Nyawa dengan nyawa,orang tua yang berzina,dan orang yang meninggalkan dien (agama) nya dan berpisah dari Jama’ah “ demikian itulah perkara-perkara yang menjadikan darah seorang Muslim menjadi halal ditumpahkan “[12]
Mengenai ayat ini Ibnu katsir berkata: “Dan jadilah dien (agama) milik Allah” artinya jadilah dienullah (Islam) sebagai dien yang menang dan tinggi di atas seluruh agama yang lain sebagaimana telah teguh dalam hadits Shahih Bukhari-Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari, berkata: Rasulullah e ditanya tentang seorang lelaki yang berperang karena ingin dianggap berani, dan berperang karena emosi, dan berperang karena Riya.Rasulullah e kemudian menjawab: Barangsiapa berperang demi tingginya kalimat Allah maka dialah Fie Sabilillah. Dan dalam Shahihain pula disebutkan : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka berkata: “Tidak ada Ilah selain Allah” jika mereka mengatakannya maka darah dan harta mereka selamat dariku,kecuali dengan haknya, maka perhitungannya adalah atas Allah[13]
Pernyataan Ibnu katsir diatas berdasarkan hadits yang beliau kutip adalah cukup tegas, bahwa perkara yang menyebabkan darah dan  harta kaum kafir haram (untuk dibunuh dan dirampas) adalah dengan berubahnya mereka menjadi Muslim, yaitu setelah menyatakan Syahadat. Adapun selama mereka belum atau tidak menjadi Muslim, maka selama itulah darah dan harta mereka halal untuk diperangi dan dirampas.

Firman Allah:

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(5)
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taubah : 5)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang ayat diatas: “Dan firman-Nya yang berbunyi: maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka’ yaitu di manapun di muka bumi ini, ayat ini umum, terdapat takhshis (yang mengkhususkan) ayat ini, yaitu yang terkenal dengan adanya pengharaman perang di Masjidil Haram dengan firman-Nya:
وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ (Dan janganlah kamu perangi mereka di dekat Masjidil Haram sehingga mereka memerangi kamu. Jika mereka memerangi kamu maka perangilah mereka). Firman-Nya: وَخُذُوهُمْ artinya tawanlah mereka, jika kamu hendak membunuh mereka maka bunuhlah, dan jika hendak menawan mereka maka tawanlah. Firman-Nya:
وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ artinya tidak sekedar mencukupkan diri dengan musuh yang kamu temui,bahkan kejarlah mereka dengan melakukan pengepungan di benteng-benteng mereka dan kubu-kubu mereka, dan intailah mereka di jalan-jalan mereka dan lalu lintas mereka, sehingga ruang gerak mereka menjadi sempit, dan mendesak mereka untuk dibunuh atau masuk Islam”[14]
Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa Ayat ini berlaku secara umum kepada kaum Musyrikin di berbagai tempat, dan Abu Hanifah t berpendapat bahwa hal itu berlaku khusus di Masjidil Haram.Sebagaimana diterangkan dalam surat Al-Baqarah, kemudian Ulama berbeda pendapat. Husain bin Al-Fadhl berkata: “Ayat ini menghapuskan ayat-ayat lain yang berkenaan dengan perintah untuk berpaling dan bersabar atas penderitaan yang ditimpakan oleh orang kafir. Sedangkan Adh-Dhahak,As-Sudi dan ‘Atha berkata bahwa ayat tersebut dihapuskan oleh ayat ke 4 surat Muhammad :” Kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan” dan bahwasanya tawanan yang sabar tidak dibunuh, dia boleh dibebaskan atau ditentukan tebusan terhadapnya. Sedangkan Mujahid dan Qatadah berkata: “Justru ayat diatas (At-Taubah ayat 5) sebagai penghapus ayat : ” Kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan”, jadi tidak ada yang dapat diperbuat terhadap tawanan kaum Musyrikin selain dibunuh. Sedangkan Ibnu Zaid berkata bahwa kedua ayat diatas adalah muhkamat. Inilah pendapat yang shahih, karena pembebasan,pembunuhan dan penebusan tetap berlaku sebagai ketetapan Rasulullah e dalam menyikapi tawanan kaum Musyrikin, sejak awal peperangan terhadap mereka, yaitu perang Badar.[15]
Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan Ijma’ bahwa kaum Muslimin diperbolehkan membunuh Muysrikin jika si Musyrikin tadi tidak memiliki perjanjian keamanan (perlindungan) sekalipun dia berada di depan Baitul Haram atau Baitul Maqdis[16]
Ulama salaf dan khalaf telah sepakat atas wajibnya memerangi kaum kafir selama kaum Muslimin memiliki kemampuan untuk itu.
Ketentuan adanya kemampuan (qudrah) untuk melaksanakan satu kewajiban dalam hal ini berdasarkan firman Allah :” لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “ (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.), juga ayat :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ(60)
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).(Al-Anfal:60)
Ketika Allah I mewajibkan kaum Muslimin untuk mengadakan persiapan kekuatan untuk memerangi musuh-musuh, nampaklah oleh kita bahwa barangsiapa yang tidak memiliki kekuatan, tidak diwajibkan perang atasnya, sedangkan menurut kaidah Ushul bahwa Qudrah (kemampuan) adalah merupakan kriteria berlakunya taklif (beban) untuk melaksanakan kewajiban.
Para ulama telah sepakat bahwa kewajiban memerangi kaum kafir ketika kaum Muslimin memiliki kemampuan untuk itu adalah murni semata-mata disebabkan oleh kekafiran mereka, walaupun orang-orang kafir itu tidak memerangi Islam dan kaum Muslimin atau tidak pula memulai peperangan terhadap Islam, selama tidak terdapat perjanjian damai, atau perlindungan (dzimmah) dan perjanjian keamanan[17]
Imam Bukhari Rahimahullah dalam Shahihnya membuat Bab berjudul وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا:(”Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan Salam kepada kalian : ‘Kamu bukan Mukmin’ “.) As-salam,As-Salaam dan As-Silmu memiliki pengertian yang sama. Kemudian ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas t  ”Dan janganlah kalian katakan kepada orang yang mengucapkan Salam kepada kalian : ‘Kamu bukan Mukmin’ “, Ibnu Abbas : Adalah terdapat seorang lelaki yang memiliki ghunaimah (seekor kambing kecil). Kaum Muslimin menjumpainya, lalu ia mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’, tetapi kaum Muslimin membunuhnya dan mengambil kambing kecil yang ada padanya.Maka dalam kejadian inilah Allah I menurunkan ayat tersebut, sampai ayat : ” عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا”
Yang dimaksudkan dengan ayat diatas adalah ghanimah (rampasan perang).Ia berkata: Ibnu Abbas membacanya dengan As-Salaam.
Ibnu Hajar berkata, perkataan Imam Bukhari “Seorang lelaki yang memiliki ghunaimah” untuk menunjukkan bahwa غنيمة    dalam hadits itu berarti kambing kecil. Dan dalam riwayat dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang ada pada Imam Ahmad dan Tirmidzi dan menganggap riwayat ini baik (Hasan), terdapat juga pada riwayat Al-Hakim,ia menganggapnya Shahih. Seorang lelaki dari bani Salim melintasi sekelompok shahabat y , lelaki itu hendak memberi minum kambingnya,lalu mengucapkan salam kepada para sahabat y . Perkataan :”Lalu mereka membunuhnya” terdapat tambahan dalam riwayat Simaak- yaitu- “para sahabat berkata: Tidaklah ia mengucapkan salam kepada kita selain untuk berlindung dari kita” dan dalam kata-kata “dan mereka mengambil kambing kecil miliknya” dalam riwayat Simaak terdapat tambahan “Mereka membawa kambing itu kepada Nabi e ”, lalu turunlah ayat diatas (An-Nisa 94) [18]
Yang dimaksud dalam keterangan diatas adalah bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh Sahabat y  terhadap seorang yang mereka sangka orang musyrik, mereka membunuh orang tersebut dengan tujuan mengambil kambingnya, itu dilakukan oleh para sahabat y setelah si  musyrik tadi mengucapkan salam. Ayat ini turun untuk melarang kaum Muslimin mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada mereka sebagai “Kamu bukan Mukmin”. Ayat ini menunjukkan bahwa membunuh seorang Musyrik karena kekafirannya adalah tidak mengapa, demikian itulah pemahaman sahabat y , karena, ketika mereka membunuh lelaki tadi, mereka menduganya sebagai seorang kafir,mereka tidak membunuhnya di medan perang, bahkan mereka bermaksud membunuh orang tadi untuk memperoleh ghanimah (rampasan perang) demikianlah pendapat para ahli tafsir. Turunnya ayat ini mengakui kebenaran pemahaman sahabat tentang pembunuhan dan sekaligus larangan untuk mengatakan “kamu bukan Mukmin’ kepada orang yang mengucapkan salam[19]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا(94)
Firman Allah:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ(29)
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (At-Taubah:29)
Terdapat beberapa hadits Shahih yang berkenaan dengan ayat di atas. Dalam shahih Bukhari Muslim (Shahihahain),misalnya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ *
“Dari Ibnu Umar t bahwa Rasulullah e bersabda : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka bersaksi tidak ada Ilah (Tuhan) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, dan mereka menegakkan Shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu, maka darah dan harta mereka akan selamat dariku, kecuali dengan hak Islam, maka hisab mereka atas Allah” Lafaz diatas adalah bagi Bukhari.
Dalam hadits lain disebutkan:
عَنِ الصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ رَضِي اللَّه عَنْهممْ قَالَ مَرَّ بِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْأَبْوَاءِ أَوْ بِوَدَّانَ وَسُئِلَ عَنْ أَهْلِ الدَّارِ يُبَيَّتُونَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَيُصَابُ مِنْ نِسَائِهِمْ وَذَرَارِيِّهِمْ قَالَ هُمْ مِنْهُمْ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ لَا حِمَى إِلَّا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dari Sha’bi bin Jatstsaamah t berkata bahwa Rasulullah   e berjalan melintasi ku di Abwa atau di Waddaan, dan beliau ditanya tentang penduduk negeri kaum musyrikin yang disergap diwaktu malam, lalu ada di kalangan mereka wanita dan anak-anak yang terbunuh. Rasulullah e kemudian bersabda: Mereka adalah bagian dari kaum musyrikin. Dan aku mendengar beliau bersabda : Tidak ada jaminan kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya e (Shahih Bukhari-Muslim. Lafaz di atas bagi Bukhari)
Syaikh Rifa’I Ahmad Thaha mengatakan: Dengan keterangan itu, dan berdasarkan istinbath dari dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, dapat kita katakan sebagai berikut :
1.Nash-nash Al-qur’an dan hadits nabawiyah  di atas menjadikan bahwa tujuan peperangan yang dilakukan terhadap kaum musyrikin adalah satu tujuan saja, yaitu agar mereka masuk Islam, dan agar mereka mengakui kalimat Tauhid kemudian komitmen dengan keharusan yang mereka lakukan dengan kalimat tauhid tersebut, yang merupakan keimanan, dengan menegakkan Shalat dan menunaikan zakat dan selain keduanya.
Ini semakin jelas bagi kita bahwa yang menyebabkan bolehnya dilakukan peperangan terhadap kaum kafir adalah karena semata-mata kekafiran mereka, bukan hanya disebabkan karena mereka memerangi Islam dan kaum Muslimin.
Jika memerangi mereka dengan tujuan agar mereka masuk Islam adalah diwajibkan, maka peperangan terhadap mereka karena mereka memerangi Islam dan kaum Muslimin dan sekaligus menolak permusuhan yang mereka lakukan, adalah menjadi lebih wajib, dan lebih utama. Karena jika memerangi mereka disebabkan kekufuran mereka semata-mata, memerangi mereka agar mereka masuk Islam adalah wajib, maka kondisi peperangan dan pembunuhan terhadap mereka untuk menolak kejahatan mereka terhadap Islam adalah lebih utama.
2. Ketika kita faham bahwa Penyergapan (Ambush) dan penyerangan terhadap kaum Musyrikin adalah perbuatan Rasulullah e dan para sahabat y setelah beliau, semua ini dilakukan dengan cara mendadak dan cepat. Dalam serangan tersebut terbunuh pula mereka yang tidak termasuk Ahlul Qital (personal tempur) dan selainnya, misalnya wanita,anak-anak, orangtua dan orang jompo, para petani serta para pekerja pencari upah. Ketika keadaannya memang seperti itu, ini menunjukkan bahwa diperbolehkan  membunuh kaum kafir disebabkan semata-mata karena kekafirannya. Peperangan terhadap mereka bukan hanya disebabkan oleh perang yang mereka lakukan terhadap Islam dan kaum Muslimin[20]
Imam Al-Qurthubi dalam tafsir surat An-Nisa ayat 94 menyebutkan:” Dan seorang Muslim, jika ia menjumpai kafir dan tidak ada ikatan perjanjian dengannya, maka dia boleh membunuh. Tetapi jika mengatakan Laa ILaaha ILlaLlaah, tidak boleh ia membunuhnya, karena dia telah terpelihara  dengan penjagaan Islam yang menghalanginya dari dihalalkan darah,harta dan keluarganya”[21]
Setelah menyebutkan perkataan para ulama dari berbagai mazhab, syaikh Rifa’I Ahmad Thaha menyebutkan:
  1. Diperbolehkan membunuh kaum kafir karena kekafirannya semata-mata.
  2. Kewajiban membunuh mereka dengan tujuan agar mereka masuk ke dalam Islam adalah dilaksanakan sebagai Jihad Thalab (Offensif)
  3. Diwajibkan pula membunuh mereka dalam rangka kaum Muslimin mempertahankan Islam dari serangan mereka, hal ini (Jihad Difa’i/defensif) lebih wajib dari Jihad Thalab.[22]
Dengan keterangan diatas, dapatlah kita memahami bahwa darah dan nyawa orang kafir itu pada asalnya adalah halal,boleh diperangi, kapan saja dan dimana saja selagi kaum Muslimin memiliki kemampuan untuk melakukannya.Berbeda dengan darah dan nyawa kaum Muslimin, hukum asalnya adalah haram, tidak boleh dibunuh. Maka dari itu,jika ada kaum kafir mati, tidak usah teriak-teriak sok simpati, sok prihatin dan sebagainya, apalagi sampai nangis-nangis, apalagi sampai menyuruh kaum Muslimin mendonor darah untuk kafir-kafir yang terluka terkena serangan Mujahidin.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah, Semoga Allah memberi kita hidayah..,
Jikalah para ulama Ahlussunnah berpendapat seperti diatas, yaitu tentang hukum asal membunuh dan memerangi kafir karena sebab kekafiran mereka semata-mata adalah boleh, bahkan wajib dalam ketika hal itu dilaksanakan sebagai Jihad Thalabi (Offensif)[23] lalu bagaimana dengan kaum kafir yang telah bersikap melampaui batas dan sangat biadab terhadap Islam dan kaum Muslimin?
Ketika memerangi kafir dalam rangka membalas serangan mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin adalah lebih wajib , maka membunuh mereka dengan alasan yang sama adalah tentu lebih boleh sebagaimana diterangkan diatas. Sehingga kata-kata Abu Hamzah tsar-tsari :
“Entah keseimbangan hukum mana yang dia anut. Kalaulah warga sipil dari Negara penjajah itu berada di medan pertempuran dengan kaum Muslimin dan mereka terlibat dalam peperangan terhadap kaum Muslimin,maka dapat dibenarkan memerangi mereka. Tetapi apa yang terjadi dengan Bom Bali? Tak ada seorangpun yang mengatakan bahwa di Bali sedang berkecamuk perang antara Muslimin dan kafirin. Lagipula tak sedikit dari kaum Muslimin yang menjadi korban bom jahat itu”
Amat menunjukkan ketidaktahuannya tentang syariat Jihad. Menunjukkan pula bahwa sebenarnya ia tidak membaca dan tidak mengetahui apa dan bagaimana pendapat Ahlussunnah wal-Jama’ah tentang hal di atas. Anehnya ia dengan sombongnya menyebut dirinya sebagai Ahlussunnah dan melabeli orang yang tidak sependapat dengan dirinya sebagai khawarij, Quthubiyyah, ikhwaniyyah dan label-label lain yang dibuat berdasarkan hawa nafsunya. Mereka yang terkena syubhat kebodohan Abu Hamzah ini cobalah renungkan kembali peristiwa pembunuhan terhadap seorang  Musyrik yang dilakukan diluar Medan perang (dalam artian frontal). Saya kutipkan kembali apa yang dikatakan oleh Syaikh Rifa’I Thaha :
Ayat ini menunjukkan bahwa membunuh seorang Musyrik karena kekafirannya adalah tidak mengapa, demikian itulah pemahaman sahabat y , karena, ketika mereka membunuh lelaki tadi, mereka menduganya sebagai seorang kafir,mereka tidak membunuhnya di medan perang, bahkan mereka bermaksud membunuh orang tadi untuk memperoleh ghanimah (rampasan perang) demikianlah pendapat para ahli tafsir.

Di halaman 120 buku Aku Melawan Teroris (AMT) telah saya sebutkan:
“ Tidak ada kemestian dan tidak ada keharusan untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa-bangsa penjajah itu di Bali. Bali hanyalah sekeping dataran tempat sebagian kecil bangsa Indonesia menjalani kehidupan dengan segala rutinitasnya. Yang menjadi target kita adalah personalnya, individunya, manusianya, bukan tempatnya.Hal ini seperti ditegaskan dalam Alqur’an,
Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka (Al-Baqarah:191)
Ayat di atas dengan jelas tidak membatasi tempat memerangi orang-orang kafir. Dalam konteks Bali, jelas targetnya: Amerika dan sekutunya..”
Apa yang saya sebutkan di atas sebetulnya cukup jelas dan gamblang, mudah dicerna dan difahami.
Mereka yang mengaku bermanhaj salafush-shalih dan jujur dengan pengakuannya, niscaya akan mengerti bahwa perbuatan sahabat y adalah bagian dari ajaran Islam yang mendapat pengesahan dari Allah I, karenanya tidak boleh diabaikan begitu saja, apalagi dicela-cela. Maka, jauh-jauh abad sebelum Jihad Bom Bali terjadi, para sahabat telah melakukan pembunuhan terhadap kaum Musyrik tidak di medan perang atau tidak di tengah kecamuknya peperangan frontal, sebagaimana disebutkan oleh para ulama diatas dalam menafsirkan ayat Al-qur’an dan memahami hadits nabawi tentang hal ini. Apa yang kita bahas di atas, bukan satu-satunya dalil tentang bolehnya membunuh kaum kafir di luar medan perang, akan kita tunjukkan dalil-dalil syar’I tentang ini dibelakang. Insya Allah. Ini perkara yang jelas. Tidak sukar memahaminya kecuali orang-orang yang memang di dalam hatinya ada sifat takabbur atau sifat-sifat tercela lainnya. Jika membunuh kaum kafir diluar medan perang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan manhaj Salaf, berarti Abu Hamzah menganggap para sahabat itu telah berkhianat kepada Islam! Wallahu A’lam.
Mengenai kaum Muslimin yang meninggal di tempat kejadian Jihad bom Bali, sebenarnya telah saya paparkan dengan jelas pula pada halaman 121-122 buku AMT. Di belakang nanti Insya Allah akan kita bahas pula bagaimana pandangan Ulama tentang hal ini, selain apa yang telah saya sebutkan dalam buku tersebut. Di belakang nanti Insya Allah akan saya sertakan pula pendapat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari kalangan 4 mazhab termasuk mazhab Zhahiriyah.
Bagaimana dengan kafir Mu’ahid,kafir Dzimmi dan Musta’min, bolehkah mereka diperangi?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, kita  harus mengerti secara benar arti dari masing-masingnya, apa dan bagaimana keberadaannya.
Berbicara mengenai ketiga istilah di atas tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan masalah Negara. Ibnu Qayyim dalam mensifati keadaan Rasulullah e setelah hijrah , berkata dalam Zaadul Ma’ad : “ Kemudian keadaan kaum kafir berkenaan dengan Nabi Muhammad e setelah turunnya perintah jihad, terbagi menjadi Tiga golongan; Kafir yang terikat perjanjian damai,ahlul harb (kafir yang memerangi atau diperangi) dan ahlu dzimmah/kafir dzimmi) (Zaadul Ma’ad 3/159). Adapun Negara dalam konteks ini, Negara kafir itu terbagi Dua, yaitu Darul Harbi (Negara yang boleh diperangi) dan Daarul Mu’ahadah (Negara yang terikat perjanjian), tidak ada istilah Negara Dzimmi. Adapun Dzimmah (perlindungan) ialah berkenaan dengan hak individu kafir yang berada di Negara Islam. Jika ia bukan termasuk kafir Mu’ahad dan kafir Dzimmi, maka berarti dia termasuk kafir harbi yang dihalalkan darah, harta dan kehormatannya. Syaikhul Islam ibnu Taimiyah  berkata : “  Jika seorang kafir terbukti bahwa dia adalah kafir Harbi, maka membunuhnya mengambil hartanya dan menawan kaum wanitanya adalah telah ditentukan oleh Allah “ [24]
Kafir Dzimmi adalah kafir yang hidup dalam Negara Islam dan dibawah perlindungan pemerintahan Islam. Kafir Mu’ahad adalah penduduk Negara kafir harbi yang negaranya terikat perjanjian damai dengan Negara Islam. Kafir Musta’min pula ialah penduduk Negara kafir harbi yang memasuk Negara Islam dengan adanya jaminan keamanan dari pemerintah Negara Islam yang dimasukinya.
Sekarang mari kita lihat secara sadar, jangan sambil tidur dan melamun, bahwa hari ini tidak ada satupun Negara Islam yang wujud di dunia ini. Dengan sendirinya, kafir Dzimmi dan kafir Mu’ahid serta kafir musta’min tidak ada. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kafir Mu’ahad ada sedangkan tidak ada Negara kafir yang mengadakan perjanjian damai dengan Negara Islam. Bagaimana mungkin wujud sebuah perjanjian damai antara Dua Negara sedangkan negaranya tidak ada. Begitupula halnya dengan kafir Dzimmi dan kafir Musta’min. Maka Negara yang hari ini ada, hanyalah Negara kafir harbi dan orang kafir yang ada hari ini adalah kafir harbi.
Bagaimana kita mengetahui bahwa sebuah Negara dikatakan Negara Islam atau Negara kafir?[25]
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan: “ Jumhur berpendapat bahwa Negara Islam adalah Negara yang dikuasai oleh kaum Muslimin dan hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum Islam. Adapun jika hukum Islam tidak berlaku di dalamnya maka tidak dapat dikatakan sebagai Negara Islam sekalipun Negara itu berdampingan dengan Negara Islam. Misalnya Tha’if, posisinya amat dekat dengan Makkah, akan tetapi dengan terjadinya Fathu Makkah Negara itu tidak serta merta menjadi Negara Islam” (Ahkaamu Ahlidz Dzimah Li Ibnil Qayyim, Juz I/366, cetakan Darul Ilmi Lil Malaayiin 1983)[26]
Imam As-Sarakhsi (Sarkhasi) dalam syarah beliau terhadap kitab As-Siyarul Kabiir mengatakan: “ Sebuah Negara berubah menjadi Negara kaum Muslimin dengan diterapkannya hukum-hukum Islam “ (As-Siyarul Kabiir 5/2917) sedangkan Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Hanbali berkata pula : “Setiap Negara yang di dalamnya didominasi oleh hukum-hukum kafir, bukan hukum Islam, maka Negara itu adalah Negara kafir” (Al-Mu’tamad Fii Ushuluddiin, Oleh Abi Ya’laa . Hal 276. Cet Darul Maysriq. Beirut.1974)[27]
Tidak dinafikan bahwa ada pendapat lain yang menyebutkan definisi Negara Islam berdasarkan ciri-ciri adanya masjid, tidak dilarangnya melaksanakan amalan ibadah, adanya adzan dan lain-lain. Namun semua hujah itu adalah lemah, bertentangan dengan keterangan yang lebih kuat bahkan bertentangan dengan jumhur.
Karena itu, dengan menggunakan tolok ukur definisi Negara Islam dan Negara kafir menurut Jumhur diatas, maka Indonesia secara pasti dapat dikatakan sebagai Negara kafir, dan bukan Negara Islam. Sehingga dengan sendirinya, di Negara Indonesia ini tidak ada yang disebut sebagai kafir Dzimmi, kafir Musta’min dan kafir Mu’ahad.Yang ada hanyalah kafir Harbi. Perjanjian Negara Indonesia dengan Negara lain, misalnya Amerika, Australia, Singapura dan Negara-negara kafir lainnya bukanlah perjanjian antara Negara Islam dengan Negara kafir, melainkan perjanjian antar Negara kafir dalam segala bentuknya. Penduduk dari Negara kafir harbi yang datang ke Indonesia, sekalipun mereka telah membayar visa dan memiliki passport, tidak berubah status menjadi kafir mu’ahad atau kafir musta’min yang darah mereka haram untuk ditumpahkan. Mereka tetaplah kafir harbi yang boleh diperangi sebagaimana keterangan di atas.
Menyebut dan menyamakan kafir harbi sebagai kafir Mu’ahad,  selamanya dan selama-selamanya tidak akan pernah ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah dan literatur-literatur serta fatwa-fatwa Ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Memanipulasi kafir harbi menjadi kafir Mu’ahad hanya akan ditemui ditong sampah atau got-got yang mengalir di otak dan kepala orang-orang yang keracunan fikrah murjiah. Bangkai-bangkai kafir yang mati dalam jihad bom Bali adalah bangkai-bangkai kafir harbi, tempat kafir harbi setelah dikirim ke akhirat adalah di neraka, tidak akan salah alamat, tidak akan salah kapling! Maka mendalili kematian kafir harbi dengan hadits :
مَنْ قَتَلَ مُعَاهدًا فِى غَيْرِ كُنْهِهِ حَرَُمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَُةَ
“Barangsiapa membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian) tidak pada waktu/tempatnya maka Allah mengharamkan surga untuknya”

Tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang yang sama sekali tidak mengerti apa dan bagaimana kafir harbi dan kafir mu’ahad.
Bahkan sebaliknya, dalil yang benar untuk kematian kafir dan untuk yang membunuh kafir adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لا يجتمع كافر وقاتله فى النار أبداً
“Orang kafir selamanya tidak akan berkumpul di neraka dengan orang yang membunuhnya “ (HR.Muslim)
3.Tentang prinsip Jihad akan terus berjalan sampai hari kiamat.
Dalam masalah Jihad ini, kita akan lihat betapa kebodohan dan kesombongan berpadu menjadi tuduhan dan cercaan yang dilakukan oleh Abu Tsartsari.
Sebelum saya menjawab celaan dan cercaan A.H.T akan saya nukilkan prinsip jihad yang saya katakan sebagai kesepakatan Ahlussunnah Wal-jama’ah.
Pengertian Jihad secara Bahasa dan Istilah:
1.Pengertian bahasa (etimologi)
Kata Al-Jihad terambil dari kata جهد -يجهد-جهدا (Jahada-Yajhadu-Jahdan), kata dasar Juhdu atau Jahdu berarti mengerahkan atau mencurahkan tenaga (energi). Maka jika dikatakan Al-juhdu (dengan dhammah pada jim), berarti mengerahkan dan berdaya upaya. Sedangkan jika dikatakan Al-Jahdu (Fathah pada Jim), maka berarti Al-Masyaqqah (Kesulitan,kesukaran). Kata Al-jahda juga digunakan dengan arti Al-Ghayah (batas akhir), seperti pada ayat :
(وأقسموا بالله جهد أيمانهم)
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan (Al-An’am: 109)
Yaitu puncak dan batas akhir sumpah mereka (adalah bersumpah dengan nama Allah)
Maka Al-Jahdu dan Al-Jihad secara etimologi berarti : mengerahkan segala kemampuan sampai puncaknya sebagai manusia untuk memperoleh sesuatu yang disukai atau menolak sesuatu yang dibenci (Lihat kamus Lisanul ‘Arab dan Kamus Al-Muhith)
2.Pengertian Jihad dari segi Syar’I dan Istilah (terminologi)
Para fuqaha (ahli fiqh) dari Empat mazhab telah sepakat bahwa arti Al-Jihad adalah perang dan membantu terjadinya perang itu sendiri.
  1. 1. Pendapat mazhab Hanafiyah
Dalam kitab Fat-hul Qadiir,oleh Ibnul Hammam (5/781) dikatakan: (الجهاد: دعوة الكفار إلى الدين الحق وقتالهم إن لم يقبلوا)
Al-Jihad adalah menyeru kepada kaum kafir kepad dien (agama) yang haq (Islam) dan memerangi mereka jika mereka tidak menerima dakwah tersebut. Imam Al-Kisani dalam Al-Badaa-I’ (9/9924) berkata بذل الوسع والطاقة بالقتال في سبيل الله عز وجل بالنفس واللسان وغير ذلك. :”Mengerahkan segala kemampuan dengan berperang di jalan Allah I baik dengan Jiwa, lisan dan selain itu.
  1. 2. Malikiyah
قتال المسلم كافرا  غير ذي عهد لإعلاء كلمة الله أو حضوره له أو دخوله أرضه له
Perang yang dilakukan oleh seorang Muslim terhadap kafir yang tidak terikat perjanjian demi menegakkan kalimat Allah, atau datangnya kaum Muslimin kepada kaum kafir untuk mengajak mereka ke dalam Islam, atau memasuki negeri-negeri kafir demi menegakkan kalimat Allah (1) [terdapat dalam catatan pinggir Al-‘Adawi oleh Ash-Sha’idi (2/2), dan syarah shaghir –‘Ala Aqrabil Masaalik- oleh Ad-Dardiri :2/267]
  1. 3. Asy-Syafi’iyah
Imam Al-Bajuri berkata :
(الجهاد أي: القتال في سبيل الله)
yang dimaksud dengan Al-Jihad adalah berperang di jalan Allah (Lihat Al-Bajuri, oleh Ibnul Qasim 2/162).
Ibnu Hajar dalam Fat-hul Bari berkata :
(وشرعا  بذل الجهد في قتال الكفار)
Pengertian Jihad secara syar’I ialah mengerahkan segala kemampuan dalam memerangi kaum kafir.

  1. 4. Mazhab Hanbali
(jihad ialah) (قتال الكفار) Memerangi kafir (lihat Mathalib Ulin Nuhaa: 2/794),
dikatakan pula bahwa Jihad adalah :
(الجهاد: القتال وبذل الوسع منه لإعلاء كلمة الله تعالى)
Berperang dan mengerahkan segala kekuatan untuk menegakkan kalimat Allah (LIhat Umdatul Fiqh halaman 166, dan Muntahal Iradaat:1/302)
Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa jika hanya disebut  kata Al-Jihad, maka artinya adalah berperang dan jika disebut kata :”Fie Sabilillah” sendirian, ini berarti Al-Jihad. Ibnu Rusyd berkata dalam kitab Muqaddimah nya (1/963) “Dan Jihad dengan pedang ialah memerangi musyrikin atas dasar dien (agama) ini, maka setiap yang dirinya berletih-letih demi Allah, berarti dia telah berjihad dijalan-Nya. Tetapi jika kata Al-Jihad Fie Sabilillah disebutkan, maka tidak ada pengertian lain kecuali yang dimaksudkan adalah Berjihad melawan kafir dengan pedang (senjata) sampai mereka masuk ke dalam Islam, atau mereka memberi jizyah dari tangan mereka dan mereka dalam keadaan kecil”. Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Bari (6/92) :” Yang mendahului lafal Fie Sabilillah adalah (lafal) Al-Jihad)[28]
Pembaca,kaum Muslimin rahimakumullah…
Demikian pendefinisian Jihad menurut para ulama Ahlussunnah wal-jam’ah, atas manhaj Salafush Shalih. Dalam buku AMT halaman 108 masalah ini telah saya sebutkan meskipun dalam bentuk ringkas, tetapi sama sekali tidak lari dari keterangan di atas. Silahkan dirujuk buku tersebut bagi siapa yang berkenan. Selanjutnya pada halaman 125-133 buku AMT telah saya sebutkan  marhaliyah (periodisasi) jihad dalam Islam menurut pandangan Ulama Ahlussunnah Wal-jama’ah atas manhaj Salafush Shalih. Seterusnya pula pada halaman 159 buku yang sama saya katakan: “ Kini anda telah faham marhaliyah jihad. Saya mengadopsinya dari para ulama yang bermanhaj Salafush Shalih”
Akan tetapi, si Abu Hamzah tsartsari ini, dalam majalah As-Say-yiah halaman 21 begitu congkaknya mengatakan :” di halaman sebelumnya (hal 159), dia menuturkan bahwa faham jihad yang dianutnya adalah dari para ulama yang bermanhaj salafush shalih. Sungguh ucapannya ini adalah satu kebohongan dan pengkhianatan yang besar terhadap para ulama.”
Laa Hawla Wala Quwwata Illaa BiLlaah..!
Dimana sebenarnya akal tsartsari ini? Gemar sekali dia  membuat fitnah dan kebohongan. Dalam buku AMT tersebut telah saya sebutkan dengan jelas maraji’ (referensi), terutama dari tafsir Ibnu katsir. Tafsir ini tafsir standard bagi kalangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, tidak diragukan lagi kecuali bagi orang-orang yang tidak tahu sama sekali (model Abu Hamzah). Sebenarnya apa yang saya tuturkan sudah sangat jelas, terang benderang, tidak samar-samar. Bagaimana ia mengatakan bahwa apa yang saya katakan itu adalah sebagai suatu kebohongan dan pengkhianatan terhadap para ulama ? Apakah Ibnu katsir bukan Ulama? Apakah nama-nama mufassirin seperti Muqatil, Qatadah, Mujahid dan lain-lain yang saya sebutkan dalam buku itu bukan ulama? Lalu Ulama mana yang kamu maksud? Takutlah kepada Allah hai Abu Hamzah! Apakah pernah terlintas dalam fikiranmu itu bahwa sesungguhnya kamu sendirilah yang berbohong dan berkhianat terhadap para ulama Ahlussunnah karena kamu mengatakan bahwa  definisi yang saya sebutkan itu adalah satu kebohongan dan pengkhianatan terhadap para ulama, sedangkan apa yang saya katakan adalah memang pendapat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Cobalah kamu rujuk buku-buku yang telah saya sebutkan dalam AMT tersebut, kalau kamu memang benar-benar hendak mencari kebenaran dan benar-benar jujur hendak hidup di atas manhaj salafush shalih. Janganlah berakhlaq seperti kafir, mengambil sepotong kata-kata kaum Muslimin, lalu kata-kata itu dipelintir dan dimanipulasi, lalu ditampilkan kepada manusia dalam bentuk lain dengan tujuan mencemarkan kaum Muslim itu sendiri. Tidak perlulah kamu membohongi ummat Islam dengan tulisan-tulisanmu yang penuh kebohongan dan kebodohan itu. Saya katakan kamu bodoh karena kenyataannya memang demikian, tergesa-gesa mengambil kesimpulan lalu segera mencela dan mencerca para ulama. Kamu tidak terima tentunya saya katakan demikian bukan? Mari saya tambahkan bukti lain kebodohanmu itu pada bantahan-bantahan saya berikut.
Dalam AMT halaman 163 saya katakan :
أَلْجِهَادُ مَاضٍ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jihad akan terus berlangsung hingga hari kiamat”
Abu Hamzah tsartsari mengatakan bahwa ucapan diatas menunjukkan bahwa saya tidak berada di atas manhaj salafus Shalih, lalu di mengutip beberapa hadits –yang disalahtempatkan- untuk mendukung tuduhannya bahwa saya tidak bermanhaj salaf (as-say-yiah hal 21-22). Mari kita buktikan bahwa tuduhan tsartsari ini sama sekali tidak berdiri di atas hujjah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Makna dari apa yang saya sebutkan diatas adalah sebenarnya diambil dari banyak hadits, antara lain:
  1. Dalam hadits :
)لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة) - أخرجه بهذا الفظ مسلم (156)، (1923) وأحمد(3/345)، (3/384) وابن حبان (6780-إحسان) وابن الجارود في المنتقى (1031) من حديث جابر بن عبد الله.
Akan tetap ada Thaifah (sekelompok kecil) dari ummatku yang berperang di atas kebenaran, mereka tetap eksis hingga hari kiamat (Hadits dengan lafaz ini dikeluarkan oleh Muslim (156) dan 1923, Ahmad (3/345), Ibnu Hibban (6780, bab Ihsan) dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (1031) dari hadits Jabir bin Abdullah [29]
  1. Dalam hadits lain, dari Jabir bin Samrah r.a:
(لن يبرح هذا الدين قائماً يقاتل عليه عصابة من المسلمين حتى تقوم الساعة) أخرجه مسلم   (1922)
Dien ini akan tetap tegak, sekelompok ummat Islam berperang di atas dien ini sampai tiba hari kiamat “ (Dikeluarkan oleh Muslim, 1922)
  1. Di hadits yang lain pula,dari Uqbah bin Amru:
لا تزال عصابة من أمتي يقاتلون على أمر الله قاهرين لعدوهم لا يضرهم من خالفهم حتى تأتيهم الساعة وهم على ذلك (مسلم :1924)
“Akan senantiasa ada sekelompok kecil dari ummatku yang berperang di atas perintah Allah, mereka menang atas musuh-musuh mereka, mereka tidak akan dicelakakan oleh orang-orang yang menyelisihi mereka sampai hari kiamat mendatangi mereka, dan mereka dalam keadaan seperti itu “ (Muslim 1924)
  1. Dalam hadits yang lain, dari Amran bin Hushain:
لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق ظاهرين على من ناوأهم حتى يقاتل آخرُهم المسيحَ الدجال أخرجه أحمد (4/437) وأبو داود (2484)


  1. Dalam hadits Amran bin Hushain:
(لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق ظاهرين على من ناوأهم حتى يقاتل آخرُهم المسيحَ الدجال) أخرجه أحمد (4/437) وأبو داود (2484)
Akan senantiasa ada dari ummatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang-orang yang memusuhi mereka sehingga yang paling akhir dari mereka memerangi masihid dajjal ” ( Dikeluarkan oleh Ahmad (4/437) dan Abu Dawud (2484)
  1. Dalam hadits Muawiyah bin Abi Sufyan:
وفي حديث معاوية بن أبي سفيان: (…ولا تزال عصابة من المسلمين يقاتلون على الحق ظاهرين على من ناوأهم إلى يوم القيامة) أخرجه مسلم (1037) (ك الإمارة حديث رقم: 175)
“Dan akan selalu ada sekelompok dari kaum Muslimin yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang-orang yang memusuhi mereka hingga hari kiamat tiba” (DIkeluarkan oleh Muslim (1037), kitabul Imaarah, hadits nomor 175)
  1. Dalam hadits Salamah bin Nufail:
وعن سلمة بن نفيل قال: (كنت جالساً عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رجل: يا رسول الله أذال الناس الخيل ووضعوا السلاح، وقالوا لا جهاد، قد وضعت الحرب أوزارها، فأقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم بوجهه وقال: كذبوا الآن الآن جاء القتال، ولا يزال من أمتي أمة يقاتلون على الحق ؛ويزيغ الله لهم قلوب أقوام ويرزقهم منهم حتى تقوم الساعة وحتى يأتي وعد الله…) أخرجه النسائي في سننه (6/214-215)، وفي السنن الكبرى (4401)، (8712)، وأحمد (4/104)، والطبراني في الكبير (6357)، (6358)، وابن سعد في طبقاته (7/427)، والبخاري في التاريخ الكبير (2/2/17)، وصححه الألباني في السلسلة الصحيحة (1935).
Aku duduk disisi Rasulullah  lalu seorang lelaki berkata : Wahai Rasulullah, orang-orang telah meremehkan kuda perang dan meletakkan senjata, mereka bilang : Tidak ada jihad, perang telah usai. Lalu rasulullah e menghadapkan wajahnya dan berkata : mereka dusta! Sekarang, sekarang inilah tiba waktunya perang! Dan akan selalu ada dari ummatku orang-orang yang berperang di atas kebenaran, dimasa yang sama Allah menyesatkan hati orang-orang yang lainnya. Allah memberi rezeki kelompok yang berperang itu dari orang-orang yang hatinya disesatkan oleh Allah (berupa ghanimah atau fa-i), sampai datang hari kiamat dan sampai tiba janji Allah…” [ Dikeluarkan oleh An-Nasa-I dalam sunannya (6/214) dan dalam sunan Al-Kubra (4401,8712) dikeluarkan juga oleh Ahmad (4/104), dan Thabrani dalam Al-Kabiir (6357,6358) serta Ibnu Sa’ad dalam Thabaqah-nya (7/427), juga oleh Imam Bukhari dalam At-taariikh Al-Kabiir (2/2/17), dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-silsilah Ash-shahiihah (1935)]
Hadits-hadits diatas merupakan perkabaran dari Nabi Muhammad e bahwa akan selalu ada sepasukan kecil dari ummatnya yang selalu berperang di jalan Allah, dan hal itu tidak akan terputus hingga akhir zaman. Dengan pengertian seperti inilah betapa banyak para ulama memaknai hadits-hadits tersebut. Abu Dawud dalam Sunan-nya misalnya membuat judul   (باب في دوام الجهاد) (Bab tentang tentang terus berlangsungnya Jihad ) (Sunan Abu Dawud 11/3), kemudian beliau menyebut hadits Amran bin Hushain. Demikian pula Ibnul Jarud berkata ;”  (باب دوام الجهاد إلى يوم القيامة)(Bab terus berlangsungnya Jihad sampai hari kiamat” (Al-Munthaqa halaman 257)[30]
Imam Al-Khatabi mengatakan : “Hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwa Jihad tidak terputus selama-lamanya, dan karena itu dapat dimengerti bahwa para Imam semuanya tidak sepakat bahwa Imam (pemimpin jihad) mesti adil. Ini juga menunjukkan bahwa Jihad bersama pemimpin pendosa adalah wajib, sebagaimana wajib pula berjihad bersama pemimpin yang adil dalam memerangi kaum kafir” (Ma`aalimus Sunaan, terdapat dalam catatan pinggir sunan Abu Dawud 3/11) [31]
Imam Nawawi Rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini, nyatalah terdapat mukjizat yang benar-benar wujud bahwa apa yang disifati di dalamnya senantiasa ada, Alhamdulillah Ta’ala, sejak zaman Nabi e sampai sekarang, dan akan selalu ada sehingga datanglah urusan Allah sebagaimana tersebut dalam hadits” (Syarah Shahih Muslim 7/77)[32]
Al-hafizh (ibnu Hajar) berkata : “Ini juga menunjukkan satu kabar gembira bahwa Islam dan kaum Muslim akan tetap ada sampai hari kiamat tiba, karena sudah satu keharusan bahwa kekalnya jihad berarti menunjukkan kekalnya keberadaan mujahidin,sedangkan mujahidin adalah kaum Muslimin, ini sebagaimana disebutkan dalam hadits (لا تزال طائفة من أمتي يقاتلون على الحق) : akan senantiasa ada sepasukan kecil dari ummatku yang berperang di atas kebenaran (Fathul Bari 6/65)[33]
Syaikh SUlaiman bin Abdullah An-Najdi telah merajih (memperjelas) masalah ini, yaitu bahwa tidak mesti yang dimaksudkan dengan Thaifah Manshuurah (sekelompok kecil yang ditolong oleh Allah) hanya berada di Syam. Diantara buktinya adalah terhentinya Jihad yang telah terjadi sekian lama di negeri Syam.Beliau berkata tentang penduduk Syam : “Juga, mereka sejak sekian lama tidak membunuh seorang kafir pun, malah mereka saling gontok-gontokan sesama mereka sendiri, karenanya, sabda rasulullah : Mereka di baitul Maqdis, dan perkataan Mu`adz bahwa mereka adalah penduduk SYam yang dimaksudkan adalah di sebagian zaman, tidak keseluruhan zaman, dan kenyataannya memang seperti itu. Ini menunjuk kepada apa yang telah kami sebutkan “ (Taysiirul Aziizil Hamiid Fii Syarhi Kitaabit Tauhid, hal 381)[34]
Kini permasalahannya semakin jelas, bahwa apa yang saya katakan, yaitu “Jihad akan terus berlangsung hingga hari kiamat” adalah berdasarkan Nash-nash hadits. Para ulama, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi diatas menyimpulkan hadits-hadits tersebut dalam Bab-bab tentang berlangsungnya Jihad hingga hari kiamat. Adapun Abu Hamzah Al-Asyarri, yang dilakukannya hanyalah mencela dan mencerca, tanpa dasar ilmu sama sekali, dia hanya menyandarkan pemikirannya secara taqlid buta kepada orang-orang tertentu yang orang itu ditaqlidinya itu sendiri tidak lepas dari kesalahan,sekalipun seorang ulama. Maka celaan yang dilakukan oleh Abu Hamzah Al-Asyarri dalam malah Asy-Syariyyah kembali kepada dirinya sendiri, dan semakin nampak kebodohannya. Seandainya engkau berhati-hati sedikit saja wahai Abu Hamzah, dan menahan diri untuk tidak tergesa-gesa menganggap sesuatu yang diluar pengetahuanmu, entah karena ilmumu belum sampai, atau entah karena memang ada titik-titik ikhtilaf yang belum sempat kamu kaji, untuk kemudian kamu latah memvonis orang lain diluar Hizbmu sebagai salah, sesat, bid’ah, bodoh,tolol,khawarij, mati konyol, dan julukan-julukan lain yang kamu sendiri tidak suka untuk mendapat julukan seperti itu, tentulah kebodohanmu tidak akan terungkap dimata manusia dan kehormatanmu tidak menjadi hancur seperti ini. Jadi, tanyakanlah kembali kepada dirimu, hati dan fikiranmu: “mengapa aku sampai setolol ini?”

Tidak berhenti sampai disitu, setelah Abu Hamzah Al-Asyarri menganggap perkataan saya dalam AMT itu sebagai diluar manhaj salaf, dia kemudian pula menampilkan beberapa hadits, kemudian dia menyimpulkan bahwa barangsiapa berjihad tanpa ada khalifah/amir, maka dia telah keluar dari Ahlussunnah wal-jama’ah, dianggap khawarij. Mereka yang berjihad tanpa imam, maka mereka adalah orang-orang yang tolol, mati dalam keadaan konyol.
Mari kita bahas tentang ini lebih lanjut, dalam hadits-hadits kita dapati kata-kata Tha-ifah (طائفة) . Pengertian Thaifah yang tersebut dalam hadits, yaitu Thaifah yang berperang di jalan Allah, baik secara bahasa maupun syar’I bermakna satu orang atau lebih. Ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
{إن نعف عن طائفةٍ منكم نُعذب طائفةً بأنهم كانوا مجرمين}
Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (At-Taubah : 66)
Dalam tafsir ayat diatas, Imam Al-Qurthubi mengatakan : “ Dikatakan bahwa dalam ayat ini terdapat 3 orang, (golongan pertama) terdiri dari  Dua orang yang bermain-main dengan ayat Allah, dan yang seorang lagi tertawa, adapun golongan yang dimaafkan adalah golongan yang tertawa” (sampai disini perkataan Imam Al-Qurthubi)
Perhatikanlah, bahwa dari 3 orang yang disebut dalam ayat diatas, maka Dua orang dianggap sebagai satu Thaifah, dan yang satu orang lagi dianggap satu thaifah pula. Ini dengan amat jelas menunjukkan bahwa Tha-ifah bermakna antara Seorang sampai selebihnya.
Firman Allah:
{فقاتل في سبيل الله لا تُكَلَّفُ إلا نفسك وحرض المؤمنين عسى اللهُ أن يكفَّ بأس الذين كفروا والله أشد بأساً وأشد تنكيلاً} النساء:84
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri[324]. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (An-Nisa 84)
Dari ini dan ayat-ayat yang lainnya para ulama beristinbath bahwa jihad dapat dilaksanakan walaupun oleh seorang Muslim.Dan mereka yang tidak melaksanakan jihad tidak boleh mengecualikan orang tersebut dari melaksanakan dan berjalan di atas jalan jihad.
Imam Al-Qurthubi berkata  dalam tafsirnya (5/293) : “Az-ZUjaaz berkata: Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk berjihad, sekalipun harus seorang diri, karena kemenangan telah dijanjikan kepadanya. Ibnu Athiyah berkata :”Ini zhahirnya lafaz, Cuma saja tidak ada satu khabarpun yang datang bahwa Jihad diwajibkan hanya kepada beliau saja, tanpa kepada ummat Islam yang lainnya; artinya-wallahu A’lam- bahwa ini merupakan beban (khitab) lafaz baginya,sebagaimana dikatakan misalnya bahwa setiap orang ada memiliki kekhususan dalam dirinya, yaitu engkau wahai Muhammad dan setiap diri dari ummatmu berperanglah kamu di jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Karena itu sudah semestinya seorang Muslim melaksanakan Jihad walaupun seorang diri. Diantara yang menjadi dalil dari hal ini ialah sabda Rasulullah SAW :
” والله لأقاتلنهم حتى تنفرد سالفتي”
Demi Allah aku akan memerangi mereka sampai leherku terpenggal
Begitu juga dengan ucapan Abu Bakar r.a ketika ia memerangi kaum murtadin, katanya :”Walaupun yang kananku menyelisihiku dalam berjihad (kelompok murtadin), maka aku akan berjihad dengan tangan kiriku”[35]
Dalam satu hadits rasulullah SAW bersabda :
إن الهجرة لا تنقطع ما كان الجهاد”
Sesungguhnya Jihad tidak akan terputus selama ada jihad
Dan dalam riwayat lain:
لا تنقطع الهجرة ما جوهد العدو
Hijrah tidak akan terputus selagi musuh diperangi (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan selainnya, silsilah hadits Shahih 1674)

Seirama dengan  hadits diatas, terdapat hadits shahih yang lain:
لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها
Hijrah tidak akan terputus sehingga taubat terputus, dan taubat  tidak akan terputus sampai  terbitnya matahari dari Baratnya (Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, Shahih Al-Jami’ 7469)
Dari hadits-hadits diatas dapatlah kita fahami bahwa mereka yang berpendirian Jihad terhenti, mau tidak mau konsekwensinya kearah bahwa hijrah telah terhenti. Dan pendirian bahwa Hijrah telah terhenti mau tidak mau dia harus mengatakan bahwa Taubat telah terhenti. Sedangkan Taubat, berdasarkan Nash dan Ijma’ tidak akan terhenti sampai terbit matahari dari sebelah Baratnya.
Maka dari itu, mereka yang mengatakan bahwa jihad terhenti karena ketiadaan khilafah – seperti zaman kita sekarang ini- konsekwensinya ialah berpendirian bahwa taubat telah terhenti karena ketiadaan khilafah…ucapan ini tentu saja, tidak diragukan lagi kebatilannya, kerusakannya karena menyelisihi dalil naqli (nash) dan aqli, dan bertentangan pula dengan ijma’.
Dalam hadits disebutkan:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
(Barangsiapa terbunuh demi mempertahankan hartanya maka dia syahid, barangsiapa terbunuh demi membela keluarganya maka dia syahid, barangsiapa terbunuh demi dien (agama) nya maka dia syahid, dan barangsiapa terbunuh demi membela darahnya maka dia syahid) (HR.Ahmad dan yang lainnya, shahih Al-Jami` 5445)
Hadits diatas amat benderang dan jelas tentang kesyahidan orang-orang yang mati demi membela seperti yang diterangkan diatas. Lantas, apakah dikatakan bahwa semua itu baru dapat dikatakan syahid hanya apabila ketika ada khilafah, dengan kata lain, tidak dikatakan syahid jika tidak ada khilafah? Dan dengan kata lain, mereka yang berperang demi membela hal-hal tersebut diatas dianggap bathil karena tidak ada khilafah, sehingga mereka yang terbunuh demi membela hal-hal di atas tidak dianggap syuhada?
Sungguh ini satu dusta dan penyimpangan yang nyata dari jalan Allah Subhaanahu Wa-Ta’ala!
Adalah sahabat Abu basyir dan orang-orang yang menyertainya radhiyallahu anhum ajmai’in, ketika terjadinya perjanjian Hudaibiyah, mereka tidak berada di Makkah dan tidak pula di Madinah, kemudian mereka mengadakan penyerangan terhadap kafilah-kafilah niaga Quraisy, mereka juga membunuh kaum musyrikin tanpa izin atau perintah dari Rasulullah SAW.Di masa yang sama Rasulullah SAW tidak menyalahkan jihad yang mereka lakukan tatkala jihad itu dilakukan tanpa izin dari sang pemimpin teladan,yaitu Nabi yang diberkahi,SAW. Dalam hadits Bukhari disebutkan:
ثُمَّ رَجَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَجَاءَهُ أَبُو بَصِيرٍ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ وَهُوَ مُسْلِمٌ فَأَرْسَلُوا فِي طَلَبِهِ رَجُلَيْنِ فَقَالُوا الْعَهْدَ الَّذِي جَعَلْتَ لَنَا فَدَفَعَهُ إِلَى الرَّجُلَيْنِ فَخَرَجَا بِهِ حَتَّى بَلَغَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَنَزَلُوا يَأْكُلُونَ مِنْ تَمْرٍ لَهُمْ فَقَالَ أَبُو بَصِيرٍ لِأَحَدِ الرَّجُلَيْنِ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَى سَيْفَكَ هَذَا يَا فُلَانُ جَيِّدًا فَاسْتَلَّهُ الْآخَرُ فَقَالَ أَجَلْ وَاللَّهِ إِنَّهُ لَجَيِّدٌ لَقَدْ جَرَّبْتُ بِهِ ثُمَّ جَرَّبْتُ فَقَالَ أَبُو بَصِيرٍ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْهِ فَأَمْكَنَهُ مِنْهُ فَضَرَبَهُ حَتَّى بَرَدَ وَفَرَّ الْآخَرُ حَتَّى أَتَى الْمَدِينَةَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ يَعْدُو فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَآهُ لَقَدْ رَأَى هَذَا ذُعْرًا فَلَمَّا انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قُتِلَ وَاللَّهِ صَاحِبِي وَإِنِّي لَمَقْتُولٌ فَجَاءَ أَبُو بَصِيرٍ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَدْ وَاللَّهِ أَوْفَى اللَّهُ ذِمَّتَكَ قَدْ رَدَدْتَنِي إِلَيْهِمْ ثُمَّ أَنْجَانِي اللَّهُ مِنْهُمْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيْلُ أُمِّهِ مِسْعَرَ حَرْبٍ لَوْ كَانَ لَهُ أَحَدٌ فَلَمَّا سَمِعَ ذَلِكَ عَرَفَ أَنَّهُ سَيَرُدُّهُ إِلَيْهِمْ فَخَرَجَ حَتَّى أَتَى سِيفَ الْبَحْرِ قَالَ وَيَنْفَلِتُ مِنْهُمْ أَبُو جَنْدَلِ بْنُ سُهَيْلٍ فَلَحِقَ بِأَبِي بَصِيرٍ فَجَعَلَ لَا يَخْرُجُ مِنْ قُرَيْشٍ رَجُلٌ قَدْ أَسْلَمَ إِلَّا لَحِقَ بِأَبِي بَصِيرٍ حَتَّى اجْتَمَعَتْ مِنْهُمْ عِصَابَةٌ فَوَاللَّهِ مَا يَسْمَعُونَ بِعِيرٍ خَرَجَتْ لِقُرَيْشٍ إِلَى الشَّأْمِ إِلَّا اعْتَرَضُوا لَهَا فَقَتَلُوهُمْ وَأَخَذُوا أَمْوَالَهُمْ فَأَرْسَلَتْ قُرَيْشٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُنَاشِدُهُ بِاللَّهِ وَالرَّحِمِ لَمَّا أَرْسَلَ فَمَنْ أَتَاهُ فَهُوَ آمِنٌ فَأَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ  (صحيح البخاري,كتا ب الشروط:2529)
“Lalu Nabi SAW kembali ke Madinah, maka Abu Bashir mendatanginya, ia seorang Muslim Quraisy.Kaum Quraisy mengutus Dua orang dari mereka untuk ‘mengambil kembali’ Abu Bashir. Mereka berkata :”perjanjian yang telah engkau tetapkan antara kita”. Rasulullah SAW kemudian mengembalikan Abu Bashir kepada Dua orang utusan Quraisy itu. Keduanya lalu pergi dengan membawa kembali Abu Bashir sampai di suatu tempat bernama Dzil Hulaifah. Mereka beristirahat sejenak sambil memakan kurma. Abu Bashir berkata kepada salah seorang dari mereka :” Demi Allah,nampaknya pedangmu ini bagus sekali wahai Fulan!” lalu yang lainnya pun menampakkan pedangnya pula, dan berkata: “Pedang ini bagus sekali,aku telah mencoba dan mencobanya”.Abu Bashir berkata : “Boleh saya lihat?”, maka orang itu memberikan pedangnya. Pedang telah berpinda tangan, Abu Bashir kemudian menebaskan pedang itu kepada siempunya sampai tersungkur mati. Sedangkan seorang lainnya kabur, sesampainya di  Madinah ia memasuki Masjid dalam keadaan ketakutan. Rasulullah SAW lalu bersabda :” orang ini mengalami sesuatu”, sesampainya di hadapan Rasulullah SAW lelaki itu berkata :” Demi Allah, sahabatku telah terbunuh, dan aku akan dibunuh pula”. Kemudian datanglah Abu Bashir seraya berkata:” Wahai Nabiyullah, demi Allah , engkau telah memenuhi jaminanmu dan Allah telah menyempurnakan janjiNya. ENgkau telah kembalikan aku kepada mereka lalu Allah selamatkan aku dari mereka”, kemudian Rasulullah SAW bersabda ;” Wahai! Perang akan terjadi, seandainya ada orang lain yang menyertainya”, mendengar sabda nabi SAW ini, Abu Bashir faham, bahwa beliau SAW akan mengembalikannya kepada kafir Quraisy. Akhirnya ia keluar dari Madinah, sehingga ketika ia tiba di penjuru  tepian pantai ia berjumpa dengan Abu Jandal yang juga telah melarikan diri dari kafir Quraisy. Maka terjadilah, tidak ada seorangpun yang melarikan diri dari cengkeraman kafir Quraisy kecuali dia bergabung dengan Abu Basyir, sehingga terkumpullah Ishabah (sekumpulan kecil).Maka demi Allah, tidaklah mereka mendengar ada kafilah dagang kafir Quraisy yang menuju Syam kecuali pasti mereka hadang dan mereka bunuh, lalu harta mereka dirampas. Akhirnya kaum Quraisy mengirim utusannya kepada nabi SAW,mereka merengek rengek atas nama Allah dan hubungan kekerabatan,yaitu barangsiapa yang mendatangi Nabi Muhammad SAW maka dia aman dari serangan kelompok Abu Bashir. Lalu Rasulullah SAW mengirim utusannya kepada mereka “ (Shahih Bukhari, kitab Syuruth no 2529)
Kini mari kita bertanya, jika sahabat diperbolehkan berperang, padahal waktu itu wujud Imam agung, Nabi Muhammad SAW, dengan tanpa izin dan perintahnya –dimana saat itu kaum muslimin terikat perjanjian Hudaibiyah-, lalu mengapa pula tidak dibolehkan berperang di jalan Allah ketika tidak adanya khilafah seperti sekarang ini?
Sesungguhnya jika kita jujur melihat apa yang dilakukan oleh para sahabat dan Tabi’in Radhiyallaahu Anhum Ajma’in, maka mereka sering sekali melaksanakan Jihad Fie Sabilillah tanpa adanya Khalifah, sebagaimana dilakukan oleh Zubair bin `Awwaam, Mu’awiyah, Amru Bin ‘Ash, Al-Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiyallahu Anhum Ajmai’in.
Dalam ketika perang Mu’tah, para sahabat mengangkat Khalid bin Walid radhiyallahu anhu menjadi komandan bagi mereka setelah komandan mereka terbunuh. Hal itu terjadi ketika Imam  (Rasulullah SAW ) tidak berada di tempat, kemudian Rasulullah SAW meridhai tindakan para sahabat.
Demikian halnya dalam masa Umawiyin (muawiyah), Abassiyyiin, Utsmaniyyin. Pada waktu itu mereka menempuh marhalah jihad sebelum berhasil menegakkan Daulah Islamiyah dan kekhalifahan mereka, dan menetapkan pemimpin umum bagi kaum Muslimin.
Salah satu diantara perisitiwa jihad yang terkenal ketika tidak adanya kekhalifahan Islam ialah pada tahun  656 H hingga 659 H, waktu itu kaum Muslimin berperang melawan Tartar sehingga kemudian berhasil menegakkan kekhalifahan Abassiyah di Mesir (Al-Bidayah Wan-Nihayah 13/231)[36]
Disamping itu, beserta tidak adanya khilafah, kaum Muslimin pula pada tahun 658 H terlibat pertempuran yang amat dibanggakan oleh kaum Muslimin hingga hari ini, yang terkenal dengan pertempuran ‘Ain Jaluth melawan Tartar. Dalam pada masa itu muncul ulama-ulama besar, diantaranya Izzuddin Abdussalaam dan selainnya-tidak ada seorang ulamapun di waktu itu yang berkata bagaimana kita akan berjihad sedangkan tidak ada khalifah?- bahkan salah seorang pemuka dalam pertempuran ini,  Saifuddin Qathaz (Quthuz),mengangkat dirinya sebagai penguasa Mesir setelah ia menurunkan putera dari penguasa terdahulu karena ia masih kecil. Para ulama ridha dengan langkah yang ditempuh oleh beliau,lalu mereka membai’at Qathaz (Quthuz). Ibnu katsir rahimahullah menyebut peristiwa ini sebagai suatu nikmat tersendiri dari Allah SWT, karena dengan adanya langkah tersebut kaum Muslimin berhasil mematahkan kekuatan Tartar (Al-Bidayah Wan-Nihayah 13/216)[37]
Demikian pula dengan Jihad yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullah- terhadap kafir Tartar dan selainnya dari kalangan Bathiniyah dan zindiq. Semua itu terjadi ketika tidak ada khilafah ISlamiyah dan para penguasa kerajaan melarikan diri dari tanggung jawab mereka mengemban amanah demi bangsa dan negeri mereka. Ibnu Taimiyah memuji tindakan kaum Muslimin di waktu itu yang berperang melawan Tartar, ia mengatakan : “Adapun kelompok kecil (Thaifah) di Syam dan Mesir dan selain keduanya,mereka itu di waktu sekarang ini, yang berperang demi membela Islam, adalah golongan manusia yang paling benar, mereka termasuk Thaifah Manshurah (Kelompok yang ditolong) (Majmu’ Fatawa 28/531)[38]
Begitupula dengan jihad yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhaab –Rahimahullaah- terhadap kaum musyrikin penyembah kuburan dan selainnya. Hal ini dilakukan tanpa khalifah, tanpa ada izin dan tanpa ada perintah pula dari khalifah. Bahkan para ulama semenanjung arab –Rahimahumullaah- pada waktu  itu menyepakati apa yang dilakukan oleh syaikh Muhammad bin Abdil Wahhaab. Mereka tidak mengingkari jihad yang dilakukan olehnya, berperang tanpa khalifah, pun tanpa Imam.
Dalam hadits Ubadah bin Shamit disebutkan:
«دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لا نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Rasulullah SAW menyeru kami, maka kami membai’at beliau. Salah satu diantara yang diambil dari kami  ialah agar kami membai’at untuk bersikap mendengar dan ta’at dalam keadaan kami suka maupun benci, dalam keadaan kami senang maupun susah, dan lebih didahulukan diatas kami, juga agar tidak mencabut kedudukan pemimpin dari posisinya. Sabda beliau: Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata, yang kalian memiliki dalil dari (berdasarkan hukum)  Allah yang didalamnya terdapat penjelasan “ (Muttafaq alaihi, lafaz ini bagi Muslim)
Hadits ini berbincara tentang khalifah atau pemimpin yang telah kafir, sehingga gugurlah kekuasaannya. Karena itu diwajibkan  memeranginya dan melengserkannya serta menggantikannya dengan imam yang adil, hal ini adalah wajib berdasarkan ijma’, sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dan Ibnu Hajar (Shahih Muslim dengan syarah Nawawi Juz 12 halaman 229, dan Fathul Bari Juz 13 halaman 7,8 dan 123)[39] . Dengan telah kafirnya khalifah, lantas apakah kita akan berkata :”Kita tidak memerangi kaum kafir karena tidak ada pemimpin ”, lalu dari mana datangnya pemimpin itu  sedangkan pemimpinnya telah kafir? Ataukah kita menanti datangnya pemimpin ghaib dan membiarkan kaum Muslimin jadi mangsa fitnah dan kejahatan kaum kafir? Pantaskah seorang Muslim berkata seperti itu?
Sesungguhnya hadits diatas telah jelas, datang dari Nabi Muhammad SAW, yang memerintahkan memerangi pemimpin dan mengadakan perlawanan kepadanya jika ia telah kafir. Kita bertanya kepada mereka  yang terkena kerancuan – bahwa tidak perlu jihad jika tidak ada khalifah- bagaimana kaum Muslimin berperang dalam keadaan sepert itu, yaitu ketika tidak adanya khalifah?
Maka jawaban syar’I adalah: hendaklah kaum muslimin melakukan apa yang telah dilakukan oleh para sahabat radhiyallaahu anhum Ajma’in ketika terjadi perang Mu’tah, mereka menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin.
Sesungguhnya pemikiran bahwa jihad tidak wajib ketika tidak adanya khilafah hanyalah menimbulkan keraguan kepada kaum Muslimin dan sekaligus merupakan tikaman kepada mereka. Ini sangat kontradiktif dengan usaha kaum Muslimin yang sedang berjihad memerangi kaum kafir demi tegaknya khilafah Islamiyah. Disisi lain, keraguan berfikir tidak akan menguntungkan siapapun kecuali menguntungkan kaum kafir yang memang berusaha mengekalkan penjajahan mereka terhadap bangsa-bangsa Islam sekaligus memperbudak mereka, menghina dan merusak kaum Muslimin. Posisi mereka sebagai penjajah amat jelas semakin di atas angin dengan adanya pemikiran-pemikiran tersebut. Para penjajah tidak terlalu bersusah payah merusak kaum Muslimin dari segi pemikiran mereka, toh sudah ada di kalangan kaum Muslimin yang menyebarkan dan menginjeksi kaum Muslimin dengan fikrah-fikrah rancu tersebut. Sehingga kaum Muslimin tidak usah bersusah payah bersatu dan berpadu berjihad melawan para penjajah!
Selanjutnya, fikrah bahwa Jihad tidak wajib ketika tidak adanya khilafah (khalifah)[40] adalah merupakan keyakinan kaum Syi’ah. Dalam Syarah Aqidah Thahawiyah disebutkan:
(والحج والجهاد ماضيان مع أولي الأمر من المسلمين….)

“Haji dan Jihad akan terus berlangsung bersama ulil amri dari kalangan kaum Muslimin”
Pensyarah kitab Aqidah Thahawiyah tersebut berkata:” Syaikh Rahimahullah menunjukkan bantahannya terhadap kaum Rafidhah yang mengatakan berkeyakinan :” Tidak ada jihad Fie Sabilillah sampai datangnya Ar-Ridhaa (pemimpin yang diridhai) dari keluarga Muhammad dan adanya penyeru dari langit yang menyeru :”Ikutilah dia!” Kebatilan keyakinan syi’ah  tersebut menjadi sangat jelas dengan adanya dalil diatas[41] .
Walaupun demikian, telah terjadi satu hal yang kontradiktif, kaum syi’ah ternyata menyalahi keyakinan mereka dalam hal ini. Ini terbukti dengan adanya Revolusi oleh Khomeini. Fakta ini merupakan satu dalil yang sangat jelas tentang rusaknya keyakinan bahwa tidak ada jihad fie sabilllah sampai datangnya imam Ar-Ridha yang hingga kini masih tetap tertulis dalam kitab-kitab mereka. Kaum syi’ah ternyata mendapati mereka dalam keberatan yang sangat dengan keyakinan khurafat seperti di atas, yang sama sekali tidak berdasarkan keterangan naqli (nash)  dan aqli (akal).[42]
Kini kita kembali kepada apa yang dituduhkan oleh Abu Hamzah Al-Asyarri dalam Asy-Syarriyyah. Setelah dia memetik hadits :
وَ الْحَجُ وَالجِهَادُ مَاضِيانِ مَعَ وَلِىِّ اْلاَمْرِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ بِرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ إلَى قِيَامِ السَّاعَةِ لاَ يُبْطِلُهُهُمَا وَلاَ يَنْقُضُهُمَا
“Dan Haji dan Jihad keduanya akan tetap berlangsung bersama pemimpin dari kalangan kaum Muslimin, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang pendosa (fajir) hingga tibanya hari kiamat, tidak ada yang membatalkan keduanya dan tidak ada yang menggugurkan keduanya”
Abu Hamzah Al-asyarri mengatakan bahwa orang-orang yang berjihad tanpa adanya khalifah adalah khawarij, mereka adalah orang-orang bodoh, dan kematian mereka adalah kematian konyol.
Saya katakan : Tidak dinafikan, bahwa ketika ada khalifah, kaum Muslimin berjihad bersamanya, baik khalifah itu baik ataupun khalifah itu buruk (fajir). Akan tetapi ketika tidak ada Khilafah Islamiyah yang dengan sendirinya tidak ada pula khalifah (Waliyul Amri bagi seluruh kaum Muslimin), jihad tidak dapat dibatalkan dan tidak dapat digugurkan.

Kita ngaca kea lam nyata, bahwa hari ini belum kiamat, dan  kenyataannya pula tidak ada waliyul amri dari kalangan kaum Muslimin, jangankan yang baik, yang fajir pun tidak ada, yang memimpin kaum Muslimin untuk melaksanakan Jihad fie Sabilillah, maka berlakulah :
لاَ يُبْطِلُهُهُمَا وَلاَ يَنْقُضُهُمَا
tidak ada yang membatalkan keduanya dan tidak ada pula yang menggugurkan keduanya
Artinya, tidak adanya khalifah atau Imam, tidak dapat menggugurkan dan membatalkan kewajiban HAJI DAN JIHAD.
Abu Hamzah Al-Asyarri kemudian menulis:
“Saya tidak mengingkari fardhiyyatul Jihad, namun jihad tetap harus dilakukan atas ilmu, memenuhi syarat-syaratnya, senantiasa bersama waliyul Amri atau amir. Dan ini yang menjadi konsensus Ahlussunnah Wal-Jama`ah. Jihad tidak boleh dilakukan dengan serampangan dan semangat konyol yang pada akhirnya mati dalam keadaan tolol!”
Komentar:
Menanggapi ucapan serampangan Abu Hamzah Al-Asyarri diatas yang ia lakukan dengan penuh semangat tolol, saya tak perlu terpancing. Sesungguhnya yang menulis kata-kata diatas itu perlu dikasihani.Kalau perlu dibawa saja ke RSJJ
Dia lupa, padahal dengan jelas pada paragraph sebelumnya dia menulis:” HAJI dan JIHAD keduanya akan tetap berlangsung bersama waliyul Amri dari kaum Muslimin…”
Berdasarkan hadits di atas, seharusnya bukan hanya JIHAD yang harus bersama waliyul Amri, HAJI pun  wajib bersama waliyul Amri. Jika ketika khalifah tidak ada jihad dianggap sebagai tidak memenuhi syarat, maka haji tanpa waliyul Amri pun seharusnya dianggap tidak memenuhi syarat! Dengan alasan yang sama, maka orang yang haji tanpa ada waliyul Amri (khalifah) berarti hajinya terlaksana dengan serampangan dan semangat konyol. Dan orang-orang yang mati dalam melaksanakan haji adalah mati dalam keadaan tolol! Bukankah begitu wahai Abu Hamzah yang tolol!?
Selanjutnya Abu Hamzah Al-Asyarri menukil (tepatnya bertaklid) kepada Syaikh Shalih Fauzan (Entah benar entah tidak Syaikh Fauzan mengatakan seperti apa yang dikutip Abu Hamzah Al-Asyarri):” ketika beliau ditanya ,akhir-akhir ini ada orang yang beranggapan bahwa jihad wajib dilakukan tanpa harus ada imam”, maka beliau menjawab,”ini pemikiran khawarij, adapun Ahlussunnah menyatakan harus ada Imam (pemimpin). Ini adalah manhaj kaum Muslimin dari sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Yang beranggapan / berfatwa tidak perlu dengan Imam berarti mengikut hawa nafsu, inilah ideologi khawarij “ (Majalah Asy-Syarriyah halaman 22)
Disini sangat jelas ketidak fahaman Abu Hamzah Al-Asyarri akan hadits yang dia kutip, sehingga dia bingung sendiri akhirnya terperosoklah dia ke dalam lembah taqlid.
Mari kita renungkan pernyataan diatas, dengan logika yang sama, jika orang-orang yang  berjihad tanpa adanya Imam (Waliyul Amri) dianggap sebagai khawarij, maka orang-orang yang melaksanakan ibadah haji pun dianggap sebagai khawarij! Bukankah anggapan ini berangkat dari hadits yang sama? Dengan demikian, sejak tahun 1924, yaitu sejak runtuhnya Daulah Islamiyah terakhir,  betapa banyak kaum Muslimin yang telah menjadi khawarij dan mati mereka dalam keadaan tolol (menurut cara berfikir Abu Hamzah)! Jadi bagaimana ini? Haditsnya yang benar apa Abu Hamzah nya yang tolol?
Tentu saja logika yang digunakan Abu Hamzah Al-Asyarri ini merupakan logika sakit yang perlu diobati. Nah, lain kali, kalau ada yang hendak melaksanakan jihad dan atau haji, tak perlu susah-susah cari Imam, toh sudah ada Imam SamudraJ, silahkan laksanakan haji  dan jihad, perangilah kaum kafir sebanyak mungkin, karena mereka adalah tidak lain selain kotoran dunia ini, apalagi kafir dari bangsa-bangsa penjajah.
Al-Imam Aliimul Mujahid Asy-syaikh Abu Zakaria (Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad,Asy-Syafi’I, Ad-Dimasyqi, Ad-Dumyathi, yang lebih terkenal dengan sebutan Ibnun Nuhaas, syahid pada 814 H dalam pertempuran Ath-Thienah ketika berjihad melawan pasukan salibis laknatullahi Alaihim Ajma’iin) dalam bukunya Masyaari’ul Asywaaq Ilaa Mashaari’il Usysyaaq Fii Fadhaa-ilil Jihaad pasal :”Hukum-hukum yang mesti diketahui oleh para Mujahidin” mengatakan: “Jihad tanpa izin Imam atau penggantinya adalah makruh, akan tetapi tidak haram. Dan hukum makruh ini dikeluarkan (tidak lagi menjadi makruh) dalam keadaan berikut:
“2. Jika Imam meniadakan Jihad dan ia beserta tentaranya sibuk dengan urusan dunia sebagaimana kita saksikan di zaman sekarang di berbagai negeri,maka jihad tanpa izin Imam tidak terhitung makruh, karena Imam meniadakan jihad,sedangkan Mujahidin menegakkan kewajiban jihad yang terlantar” [43]

Dari kalimat diatas kita dapat faham bahwa ketika ada Daulah Islamiyah, yang otomatis adapula Imamnya, lalu imam Daulah atau khilafah Islamiyah tersebut meniadakan atau menghentikan Jihad maka diperbolehkan jihad tanpa izin Imam. Lalu bagaimana pula ketika  Daulah atau Khilafah Islamiyah tidak ada yang dengan sendirinya pula tidak ada Imam atau khalifah,apakah Jihad harus berhenti? Dalam menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat apa yang dikatakan oleh Syaikh  Ibnu Nuhas yang mengutip ucapan Ibnu Qudamah:
فَإِنْ عُدِمَ الْإِمَامُ لَمْ يُؤَخَّر الْجِهَادُ لِأَنَّ مَصْلَحَتَهُ تَفَوُّتُ بِتَأْخِرِهِ
“Dan jika Imam tidak ada, maka Jihad tidak boleh ditunda, karena kemaslahatan (dien) akan rusak dengan adanya penundaan jihad[44]
Di tempat lain beliau menyebutkan:
“Dan para ulama berselisih pendapat tentang (pembagian ghanimah bagi) sekumpulan Mujahidin yang berperang melawan musuh tanpa izin imam lalu mereka memperoleh rampasan perang,apakah seluruh ghanimah (rampasan perang) itu diberikan semuanya kepada mereka ataukah dibagi berdasarkan ketentuan seperlima ?”[45]
Perhatikanlah, kalimat diatas dengan amat jelas menyebutkan adanya Jihad yang dilakukan tanpa izin Imam.
Selanjutnya beliau mengatakan pula : “Dan ketika Imam tidak ada, lalu para Mujahid berjihad dan memperoleh rampasan perang, diperbolehkan bagi mereka untuk membagi ghanimah sesama mereka[46]
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah. Pernyataan Syaikh diatas cukup jelas, sangat jelas. Lalu kenapa tiba-tiba di akhir zaman ini terdapat segelintir manusia yang mengaku Muslim mencap khawarij kepada Mujahidin yang berjihad fie Sabilillah. Dan pelabelan ini dilakukan oleh orang-orang yang justru mereka sendiri tidak berjihad Fie Sabilllah. Ini adalah satu penyesatan yang nyata, satu kejahatan yang  nyata, yang akhirnya menjauhkan ummat Islam dari amalan yang paling mulia. Laa Hawla Walaa Quwwata ILLaa Billaah!
4.Tentang Ahluts Tsughur

Dalam masalah ini Abu Hamzah Al-Asyarri mengatakan:” Mengklaim bahwa orang-orang yang berjihad dan terlibat di medan jihad sebagai orang-orang yang pasti mendapat petunjuk secara umum,ini adalah vonis yang gegabah tanpa ilmu, sebab kenyataannya didapati orang-orang yang berjihad namun tidak di jalan Allah. Tidak sedikit pula orang-orang yang menyerukan jihad dan terlibat dalam peperangan ternyata aqidahnya rusak dan keyakinannya menyimpang. Mungkinkah mereka di atas hidayah?”
Jawaban saya:
Dalam ayat :
وَالَّذِيْنَ جَا هَدُوا قِيْنَ لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Jelas sekali Allah SWT menggunakan Shighah (bentuk) لَنَهْدِيَنَّهُمْ , disini ada Dua Taukid (penegasan) yang Allah gunakan, yaitu لَ dan نّ   (Nun tasydid) yang kedua-duanya menunjukkan kepastian atau jaminan dari Allah SWT ,bahwa mereka yang berjihad di jalan Allah SWT pasti atau pasti-pasti akan mendapat hidayah dari Allah SWT sebab arti لَ dalam ayat itu sendiri berarti pasti dan نّ   (Nun tasydid) pula memiliki arti yang sama, yaitu pasti. Sehingga jadilah artinya :’ Dan orang-orang yang berjihad dijalan-Kami, pasti-pasti, akan kami tujukan kepada mereka jalan-jalan Kami”
Dengan demikian, apa yang saya katakan adalah bukan vonis,melainkan  zhahir ayat yang ada  memang seperti itu. Disini kita lihat, bahwa sebenarnya yang gegabah dan tanpa ilmu itu adalah Abu Hamzah sendiri.
Sedangkan kalimat Abu Hamzah Al-Asyarri :” Sebab kenyataannya didapati orang-orang yang berjihad namun tidak di jalan Allah”
Untuk ini saya katakan: Mereka yang  tidak berjihad di jalan Allah tentu saja tidak termasuk dalam ayat diatas. Karena yang di maksud di jalan Kami adalah di jalan Allah. Dengan sendirinya orang yang tidak berjihad di jalan Allah tidak akan mendapat hidayah. Dalam buku AMT telah saya sebutkan beberapa ahluts-tsughur yang sudah amat dikenal dunia. Misalnya Syaikh Salamat Hasyim, Syaikh Abdullah Azzam Asy-Syahid (saya meyakininya seperti itu), Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri, Syaikh USamah bin Ladin, Syaikh Abdul Aziz Ar-rantisi Asy-syahid (saya  meyakininya seperti itu). Maka orang-orang seperti diatas adalah jelas secara zhahir mereka berperang di jalan Allah, bukan di jalan Thaghut! Yang mereka perangi adalah para penjajah Salibis dan zionis. Mereka itulah yang disebut ahli tsughur internasional. Firman Allah:
Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.(Ali-Imran (3):12)

Dalam ayat diatas menunjukkan bahwa dalam pertempuran terdapat Dua pasukan, pasukan yang berperang di jalan Allah dan pasukan yang berperang di jalan kafir.
Kaum Muslimin berperang untuk mencapai satu atau beberapa tujuan syar’I, misalnya menyebarkan Islam dan pelaksanaan syari’at Islam. Adapula yang berjihad demi membebaskan tawanan, menjaga kehormatan sebagai Muslim. Semua itu maksud-maksud syar’I yang disebut Al-Jihaadu Fie Sabiilillah.
Kaum mukminin yang berperang melaan zionis, salibis dan antek-antek mereka, adalah berperang di jalan Allah. Firman Allah:
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (An-Nisa (4) : 76).
Penilaian bahwa seseorang itu berperang di jalan Allah atau tidak, adalah berdasarkan penilain zhahir. Mereka  yang berperang dibawah panji Islam dan demi Islam adalah berperang di jalan Allah. Adapun mereka yang berperang di bawah bendera kafir adalah berperang di jalan Thaghut, sekalipun mereka beragama Islam. Maka secara zhahir, manusia di kolong langit ini tahu bahwa Syaikh USamah bin Ladin, syaikh AIman Azh-Zhawaahiri dan tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas adalah berperang melawan penjajah Amerika dan sekutunya, demi membebaskan Iraq, Afghanistan, Kashmir dan negeri-negeri Muslim lainnya.
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rantisi berperang melawan Israel di Palestina, syaikh Salamat Hasyim berperang melawan Kristen di Philipina, Asy-Syahid (saya meyakini demikian) Ibnul Khaththab berperang melawan komunis di Chechnya. Syaikh Usamah bin Ladin berperang dalam lingkup yang lebih besar dan lebih bersifat alami, melawan biang terrorist dan terrorisme yaitu Amerika dan antek-anteknya Laknatullahi Alaihim Ajma’iin. Syaikh Sulaiman Abu Ghaits adalah ulama Mujahidin sekaligus Ahlits Tsughur. Ceramah-ceramah mereka, fatwa-fatwa mereka dan jihad yang mereka lakukan adalah jelas melawan kafir. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah Mujahidin fie Sabilillah.
Lalu kenapa mereka dikatakan sebagai Ahlits Tsughur? Jawabnya adalah karena mereka memang berada di tsughur (perbatasan) perang antara Mujahidin fie sabilillah dan  pasukan kafir laknatullah. Ini sebenarnya tidak susah difahami bagi orang-orang yang beriman sehat dan berakal waras. Sehingga, bagi mereka yang telah mengerti tentang hal ini, tidak perlu lagi mengatakan seperti yang dikatakan Abu Hamzah Al-Asyarri :” Imam Samudra kehabisan cara bagaimana kiranya dapat mengangkat tokoh-tokoh panutannya itu. Bidang aqidah bukan ahlinya, fiqh juga demikian,hadits apa lagi.Akhirnya Samudra menggelari mereka dengan ulama Mujahid, ahlits Tsughur.Tapi bagaimana orang yang tidak punya ilmu digelari Mujahid dan ahlits Tsughur?”
Sesungguhnya apa yang dikatakan Abu Hamzah di atas sama sekali dan sama sekali tidak berpijak di atas dalil syar’I, bahkan sangat menyimpang dengan penyimpangan yang jauh dari Al-Islam. Lebih dari itu ia sama sekali tidak mengerti tentang orang-orang yang saya sebutkan di atas. Islam sama sekali tidak pernah mensyaratkan bahwa seorang yang disebut Mujahid ialah mesti seorang yang mengerti Ilmu Ushul,Ilmu Fiqih, ilmu hadits dan lainnya. Pensyaratan seperti itu adalah bid’ah, pensyaratan seperti itu adalah satu kegegabahan dan mendahului Allah dan Rasul-Nya SAW. Allah dan Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah mensyaratkan seperti itu. Maka apa yang diucapkan oleh Abu Hamzah adalah tidak akan dikatakan kecuali oleh orang-orang yang jahil tentang jihad dan para pembuat atau pelaku bid’ah.
Di sisi lain, saya tidak punya kepentingan mengangkat nama-nama Ulama, Mujahid dan ahlits tsughur yang telah saya sebutkan diatas. Tanpa perlu diangkat-angkatpun, Allah telah meninggikan dan memuliakan mereka dengan wasilah jihad Fie Sabilllah yang mereka lakukan. Ini beda dengan Abu Hamzah, dia coba bikin tulisan yang gayanya bergaya seperti seorang Alim, tapi ternyata kosong melompong dari hujah syar’I yang benar, ia hanya comot sana comot sini lalu dikatakannya ;”Inilah pandangan ahlussunnah wal-jama’ah” padahal orang yang tulisannya dicomot oleh dia, tidak lain dari orang-orang yang oleh para ulama senior Saudi Arabia disebut sebagai penyebar fikrah murjiah, bukan Ahlussunnah seperti yang diaku-aku oleh Abu Hamzah Al-Asyarri.  Bahkan tulisannya hanya berisi caci maki, kebodohan dan tuduhan-tuduhan tanpa bukti sekaligus fitnah-fitnah busuk yang ia hembuskan untuk menggembosi semangat jihad kaum Muslimin. Hai- Haata hai haata…,jauh nian antara langit dengan sumur nak!
Mari kita lihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat Radhiyallaahu Anhum dalam masalah jihad. Pada tahun ke 8 H, setelah fathu Makkah, Rasulullah SAW bersama 12000 kaum Muslimin melaksanakan Jihad fie Sabilillah, yang terkenal dengan perang Hunain, 2000 diantara mereka baru sebulan saja memasuki Islam. Tidak ada keterangan bahwa mereka yang berperang pada waktu itu mempelajari dan mengilmui sampai mendetail ilmu-ilmu ushul fiqih, uluumul Aqiidah dan uluumul hadits (disamping waktu itu ilmu-ilmu tersebut belum ada).Lantas apakah karena tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut mereka tidak dikatakan sebagai Mujahid? Lantas pula mereka tidak dapat dikatakan sebagai Ahluts Tsughur waktu itu?
Adapun tentang Quburiyyin yang disebutkan oleh Abu Hamzah, tidak ada hubungannya sama sekali dengan Ahluts Tsughur yang dimaksudkan. Tidak ada pula hubungannya dengan nama-nama ulama serta mujahid dan ulama mujahid yang saya sebutkan diatas. Memperbandingkan ahluts-tsughur dengan ahlul qubur (quburiyyin) tentu saja satu perbuatan bodoh yang tidak pantas dilakukan kecuali oleh orang-orang yang memang bodoh lalu ia membodoh-membodohi ummat islam dan membodoh-bodohkan para mujahid yang berjihad di jalan Allah. Walaa Hawla Walaa Quwwata Illaa BiLLaah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
وَ لِهَذا قَالَ الأَوْزاعِي و إبن الْمُبارك: إِذَ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي شَيئٍ فَا نْظُرُوا مَا عَلَيْهِ اَهلُ الثُُغٌرِ يَعْنِى أهلُ الْجِهَادِ, فَإِنَّ الله تَعَالَى يَقُوْ لُ وَالَّذِيْنَ جَاهَدُ وْا فِيْتَا لَنَهْدِنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِ نَّ الله لَمعَ الْمُحْسِنِينَ
Karena itu, Imam Al-Awza’ie dan Ibnul Mubarak berkata : Apabila manusia berbeda pendapat dalam sesuatu masalah, maka kalian perhatikanlah apa yang ditempuh oleh Ahluts Tsughur, yaitu Ahlul Jihad. Karena Sesungguhnya Allah SWT berfirman ;”Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami benar-benar akan kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan” (Madaarijus Salikiin 1/511)
Pernyataan ibnu Qayyim diatas cukup jelas, bahwa Ahluts Tsughur adalah ahlul Jihad. Jika disebut ahluts-tsughur dan ahlul jihad, maka konteksnya adalah jelas ahluts tsughur yang ahlul qital, bukan jihad dalam pengertian yang lain, baik jihad mujahaadah bin nafsi ataupun yang sejenisnya. Maka Ahlul Jihad di atas itulah yang lebih pantas mendapat hidayah. Berlainan dengan para qa’idin yang oleh Allah dicap sebagai Qa’idin,yaitu mereka yang tidak turut berjihad fie sabilillah tatkala Jihad menjadi Fardhu kifayah, dan dikatakan sebagai  fasiqin jika mereka meninggalkan jihad fie Sabilillah ketika Jihad menjadi fardhu ‘ain.
Firman Allah:
95. Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,

Ayat diatas berkenaan dengan para Qa’idiin (orang yang duduk-duduk tak ikut Jihad) ketika jihad dalam keadaan fardhu kifayah. Allah membedakan derajat mereka dengan perbedaan satu derajat. Seberapakah satu derajat yang dimaksud?
Dalam hadits disebutkan :

إِنَّ فِي اْلجَنَّةِ مِائَةُ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا بَيْنِ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ   السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ
Sesungguhnya di janah ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk para mujahidin di jalan Allah. Jarak antara dua tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”(Al-Bukhari No. 2790, Tirmidzi no. 2529, Ahmad 2/235). Dalam riwayat Imam A Tirmidzi,” Antara dua derajat selama seratus tahun.” Dalam riwayat Imam Al Thabrani,” lima ratus tahun.”.
Adapun ketika Jihad dalam keadaan fardhu ‘ain, maka orang-orang yang tidak berjihad, tak peduli siapapun, baik orang jahil ataupun orang alim (ulama), dihukumi sebagai fasiq . Firman Allah:
Katakanlah: “jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (At-Taubah ayat 24)
Ayat diatas menerangkan bahwa orang-orang yang tidak berjihad di jalan Allah adalah Fasiq, dan orang fasiq tidak mendapat hidayah.Coba saja perhatikan baik-baik akhir ayat diatas : Dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang fasik
Nabi Musa Alaihis Salaam, menyebut kaumnya yang tidak mau berjihad menyertainya sebagai kaum fasiq:
Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja. Berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”. (Al-Maa-idah 24 25)
Ayat diatas menyebutkan tentang kedegilan dan keengganan Yahudi untuk melaksanakan Jihad yang diperintahkan nabi mereka, Musa Alaihis Salaam. Mereka hanya menghendaki duduk-duduk saja, tidak mau berjihad, bahkan mereka menyuruh Musa alaihis salaam dan Allah untuk pergi berperang! Sehingga akhirnya Musa Alaihis salam mengatakan kepada Rabb (Tuhan) nya: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”
Lihatlah, betapa kaum yang tidak mau berjihad dihukumi Fasik oleh Nabi Musa Alaihis Salaam! Bahkan Allah sendiri menyebut mereka sebagai fasik pula :
Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (Al-maidah 26)
Perhatikanlah akhir ayat diatas : Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.
Maka semakin jelaslah bahwa orang-orang yang tidak berjihad Fie Sabilillah ketiga Jihad fardhu ‘ain adalah dikategorikan sebagai kaum fasik, dan kaum fasik tidak akan mendapat hidayah sebagaimana disebutkan dalam ayat terdahulu.
Bagaimana mungkin mereka akan mendapat hidayah,sedangkan  hati mereka telah dikunci mati oleh Allah?
Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak mengetahui (At-Taubah : 87)

Ayat diatas menerangkan tentang kaum lelaki yang tidak berperang di jalan Allah, tapi mereka lebih suka duduk berdiam diri dengan orang-orang yang tidak terkena kewajiban berperang di jalan Allah ,yaitu :  wanita-wanita, anak-anak, orang-orang lemah, orang-orang yang sakit dan orang-orang yang sudah tua. Orang-orang  seperti itulah yang hatinya dikunci mati oleh Allah SWT, sehingga mereka tidak mengetahui. Naudzu Billaahi Min dzaalik
Dengan ini semakin nyatalah perbedaan antara ahluts Tsughur dan Qa’idiin, bahkan fasiqin. Para Ahluts TSughur Allah akan beri mereka hidayah, sedangkan para Qa’idiin Allah cap mereka sebagai fasik,dan tidak mendapat  hidayah, karena hati mereka telah dikunci mati oleh Allah SWT, sehingga akibatnya adalah Fahum Laa Yafqahuun (dan mereka tidak faqih) .Maka cobalah renungkan dan bertanya pada diri sendiri, kepada siapakah kita akan bertanya suatu masalah ketika ummat Islam dalam perbedaan pendapat, kepada Ahluts Tsughur yang Allah beri hidayah itukah, atau kepada para Qa’idiin yang oleh Allah digelari sebagai kaum fasiq yang hati mereka telah dikunci mati oleh Allah sehingga mereka tak mendapat hidayah, sehingga mereka tak faqih?
Maka sekali lagi benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim rahimahulllah:

وَ لِهَذا قَالَ الأَوْزاعِي و إبن الْمُبارك: إِذَ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي شَيئٍ فَا نْظُرُوا مَا عَلَيْهِ اَهلُ الثُُغٌرِ يَعْنِى أهلُ الْجِهَادِ, فَإِنَّ الله تَعَالَى يَقُوْ لُ وَالَّذِيْنَ جَاهَدُ وْا فِيْتَا لَنَهْدِنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِ نَّ الله لَمعَ الْمُحْسِنِينَ
Karena itu, Imam Al-Awza’ie dan Ibnul Mubarak berkata : Apabila manusia berbeda pendapat dalam sesuatu masalah, maka kalian perhatikanlah apa yang ditempuh oleh Ahluts Tsughur, yaitu Ahlul Jihad. Karena Sesungguhnya Allah SWT berfirman ;”Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami benar-benar akan kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan” (Madaarijus Salikiin 1/511)
Karenanya kata-kata Ibnu Hazm Rahimahullah yang dikutip oleh Abu Hamzah Al-Asyarri :” Islam tidak akan menang dengan perantara (tangan-tangan) ahli bid’ah “ bukan tempatnya disematkan kepada para ulama, mujahid, ulama mujahid dan ahluts-tsughur yang saya sebutkan dalam buku AMT. Bahkan kata-kata ini sangat tepat ditujukan dan disematkan kepada Abu Hamzah Al-Asyarri yang telah melakukan bid’ah yaitu  mensyaratkan keilmuan di bidang aqidah, ushul fiqh, ilmu hadits dan lainnya agar seorang dapat dikatakan sebagai Mujahid!
Seterusnya Abu Hamzah Al-Asyarri menulis: “Tetapi mujahid atau Ulama Mujahid adalah orang-orang yang berperang di jalan Allah sesuai dengan yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya yang memerangi orang-orang kafir dengan tujuan meninggikan kalimat Allah demi meraih keridhaan Allah SWT. Al-Imam Al-Qurthubi berkata :”Yakni orang-orang yang memerangi kuffar demi meraih keridhaan Kami (Allah)” (Asy-Syarriyah halaman 24)
Saya katakan: Ya, ya tepat sekali, semua sifat diatas ternyata terdapat pada ulama, mujahid, ulama mujahid dan ahluts tsughur yang saya sebutkan. Sifat-sifat itu melekat pada Syaikh Asy-Syahid Abdullah Azzam rahimahullah, Mullah Umar hafizhahullah, Asy-Syahid Abdul Aziz Ar-Rantisi rahimahullah, Asy-Syahid Ibnul Khaththab rahimahullah, Abu Sayyaf, syaikh Salamat Hasyim, Syaikh USamah bin Ladin,Syaikh Aiman Azh-Zhawaahiri hafizhahumullaah dan lainnya. Ini terbukti dengan amaliyah Jihadiyah yang mereka lakukan selama ini, juga berdasarkan hujjah-hujjah syar’I yang mereka kemukakan dalam menerangkan sesuatu masalah yang berkenaan dengan Aqidah dan jihad dan lainnya. Ulama, Mujahid, Ulama mujahid dan Ahluts tsughur tersebut di atas, berkata, menulis bahkan telah berjihad dengan mengorban jiwa diri mereka.Mereka sanggup meninggalkan anak istri mereka, keluarga mereka serta tempat kelahiran mereka, demi membela kaum Muslimin  yang dibantai oleh Salibis dan zionis Internasional di pelbagai belahan bumi ini. Dengan demikian, perkataan Imam Al-Qurthubi di atas tepat sekali, dalam artian sesuai dengan apa yang dilakukan oleh nama-nama yang saya sebutkan di atas. Abu Hamzah Al-Asyarri mengutip perkataan tersebut dengan maksud lain, yaitu mendiskreditkan para ulama dan mujahid yang benar-benar dibenci oleh Amerika dan sekutunya Laknaatullahi Alaihim, akan tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya, makin dicela ulama dan mujahid serta ulama mujahid ,makin cemerlanglah mereka dengan izin Allah SWT. Maka sia-sialah usaha para Qa’idiin semodel Abu Hamzah dalam mencemarkan nama para ulama Ahlussunnah wal-jama’ah, para mujahid, para ulama mujahid dan para ahluts tsughur. Saya katakan Abu Hamzah sebagai Qa’idiin berangkat dari keyakinannya sendiri bahwa tidak ada jihad karena tidak adanya Imam/pemimpin. Hari ini tidak ada imam/pemimpin, dengan sendirinya Abu Hamzah Al-Asyarri tidak berjihad, dan dengan sendirinya ia termasuk Qa’idiin.
Ironis, sesungguhnya apa yang ia tulis hanyalah menjadi mata panah yang menusuk dirinya sendiri. Ia menyebutkan bahwa Jihad tidak boleh dilakukan ketika tidak ada khilafah  (khalifah), disisi lain ia mendefinisikan bahwa Jihad adalah memerangi hawa nafsu dan membantah ahlul bid’ah dengan Burhan.
Seharusnya iapun tidak boleh membantah ahlul bid’ah dengan Burhan (disamping dia sendiri ternyata tidak berdasarkan burhan) tidak boleh pula memerangi hawa nafsunya, karena keduanya itu termasuk jihad. JIka ia melakukan hal tersebut, sedangkan saat ini tidak ada khalifah, maka ia akan menjadi khawarij, semangatnya semangat konyol, dan matinya mati dalam keadaan tolol, seperti yang ia katakan sendiri. Maka, untuk Abu  Hamzah, supaya ia tidak menjadi khawarij, janganlah ia melakukan haji, jangan berdakwah, jangan menulis berkenaan dengan jihad yang dan lain sebagainya. Yang pantas dilakukan olehnya ialah mati saja lah kauJ

  1. Amaliyah Istisyhaadiyah (bom syahid)
Selanjutnya mari kita kaji tentang Bom syahid yang oleh Abu Hamzah Al-Asyarri dikatakan sebagai bom jahat.
Pada halaman 24-25 majalah Asy-Syarriah Abu Hamzah intinya mengatakan bahwa operasi jihad bom Bali dan bom-bom lainnya adalah bid’ah, karena menganalogikan hal yang berbeda, yang melakukannya adalah bodoh, bahkan kematian pelakunya adalah kematian  bunuh diri.
Komentar saya:
Inilah akibat tidak berjihad mengangkat senjata melawan kaum penjajah salibis yang dengan terang-terangan telah menyatakan perang salib, Bush dengan gamblang menyatakan secara jujur dengan penuh keyakinannya sebagai seorang kafir:”This Crusade, this war against terrorism, is going to take a long time” pernyataan ini dinyatakannya dalam konferensi pers yang diadakan pada 16 September 2001,seperti dikutip dalam majalah National Review[47]. Iniilah akibat culas menggelari dan melabeli ulama mujahid, mujahid dan ahluts-tsughur dengan gelaran yang disukai dan memang dibesar-besarkan oleh Amerika dan antek-anteknya Laknatullahi Alaihim Ajma’in seperti gelaran terrorist,khawarij dan gelar-gelar lain yang bertujuan menjauhkan ummat Islam dari ulama mujahid, mujahidin dan ahluts-tsughur tersebut sekaligus menanamkan kebencian kepada mereka di hati ummat. Sekaligus pula menjauhkan ummat dari berjihad fie Sabilillah melawan zionis dan salibis.
Abu Hamzah Al-Asyarri menuduh:
“Dia hanya menganalogikan Dua hal yang berbeda. Para sahabat dikisahkan berjibaku di tengah-tengah pasukan kafirin hanya dilakukan dalam kancah barisan peperangan antara barisan muslimin dan barisan kafirin”, “ Pada dasarnya amalan istisyhadiyah adalah amalan yang baik dan merupakan jihad fie Sabilillah namun bila hal itu dilakukan pada saat dan tempat yang tepat,yakni di saat Dua pasukan (Islam dan kafir) bertemu dan berada di barisan peperangan…” (Asy-Syarriyah halaman 24)
Komentar:
Nyata sekali, bahwa Abu Hamzah tidak mengerti waqi’I (realitas) perang hari ini. Sesungguhnya teknik perang kian masa kian berubah. Di zaman dahulu, yang namanya perang pada umumnya dilakukan secara berhadap-hadapan (frontal), antara Dua pasukan dapat saling melihat, bahkan bergulat. Kerap kali di zaman Rasulullah SAW terjadi  perang tanding antara seorang mujahid melawan tentara kafir.
Namun,ketika senjata api dan explosive (bahan peledak) ditemukan, maka pertempuran dapat dilakukan jarak jauh, dapat dilakukan antar kota, antar Negara bahkan antar benua!
Di zaman Rasulullah SAW tidak ada pengeboman atau serangan udara, lalu ketika kita diserang musuh dari udara apakah kita mencukupkan diri dengan hanya menggenggam pedang atau tombak. Kita tak boleh bergeming dari posisi kita,menunggu para pilot kafir itu turun dari pesawat tempur karena kehabisan bahan baker (misalnya), kemudian berhadap-hadapan dengan kita, barulah pada saat itu kita tebas mereka dengan pedang kita?
Maka pada hari ini kita tak boleh menembakkan sebutir pelurupun atau meluncurkan roket kearah musuh, karena di zaman Rasulullah SAW dulu musuh berhadap-hadapan sedangkan sekarang tidak berhadap-hadapan.
Maka pada hari ini, Mujahidin tak boleh menembakkan Stinger, SAM-7 atau Da-Scha-Ka kearah pesawat tempur kafir, karena di zaman Rasululllah SAW tidak ada musuh yang menyerang dari udara!
Begitulah konsekwensinya jika yang dijadikan ukuran adalah bahwa pertempuran harus dilakukan secara berhadap-hadadapan, seperti yang dikatakan oleh Abu Hamzah Al-Asyarri.
Tentu saja berhadap-hadapan langsung sehingga berada antara barisan Muslim dan kafir bukan merupakan syarat sahnya jihad dilakukan. Di zaman Rasulullah SAW, terjadi penculikan yang dilakukan oleh para sahabat Radhiyallaahu Anhum terhadap kaum kafir,bahkan dilakukan pula pembunuhan terhadap wanita kafir dari kalangan bani Umair yang dilakukan di rumahnya sendiri.



[1]Syaikh Bakar Abu Zaid mengatakan : Batas Jazirah Arab, sebelah Barat adalah Laut Qulzum, Al Qulzum sendiri adalah nama sebuah kota yang berada di ujung Utara laut tersebut. Laut ini dikenal dengan sebutan laut Merah. Sebelah Selatan adalah Laut Arab, juga disebut Laut Yaman. Sebelah Timur adalah Teluk Basra (Teluk Arab). Tiga laut ini yang disepakati oleh muhadditsin dan fuqaha, ahli sejarah, ahli geografi dan yang lain. Sedangkan batas sebelah Utara adalah pantai Timur dari Laut Merah sampai ujung Timur dari ujung-ujung Syam –sekarang Yordan- dan sebagian wilayah Iraq, batas itu tidak masuk dalam wilayah (Khasaa-isul Jaziratil ‘Arabiyah). Imam Hamud bin ‘Uqla Asy-Syu’aibiy berkata : Bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani dan Musyrik tidak boleh tinggal di Jazirah Arab, baik selamanya atau sementara. Hanya, sebagian ulama ada yang membolehkannya selama Tiga hari jika dalam kondisi Darurat. Kaum Muslimin tidak diperkenankan mengizinkan mereka masuk dan tinggal di dalamnya berdasarkan hadits-hadits Shahih dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan atsar-atasr yang diriwayatkan dengan Shahih dari para Sahabat. (Al-Qawlul Mukhtar fi Hukmil Isti’anah bil Kuffar/Fashlul Hukmu Iqamatil Yahudi wan Nashara Wal Musyrikin fil Jaziratil Arabiyah) [2]Mereka yang melegitimasi masuknya tentara pendudukan Salibis dan zionis memiliki beberapa alasan pembenar tindakan tersebut. Namun terlalu lemah ditinjau dari berbagai sisi, Insya Allah hal ini akan dibahas kemudian
[3] Omongan Abu Hamzah Tsartsari dalam majalah As-Say-yiah edisi April 2005, hal 21
[4] Surat An-Nahl ayat 126
[5] Surat Asy-Syura ayat 40
[6] Tafsir Al-Qur’anul Azhim, Ibnu katsir Juz I/228
[7] Ibid Juz 2/592
[8] Tafsir Al-Qurthubi, tafsir surat Al-Baqarah ayat 194
[9] Tafsir Al-Qur’anul Azhim, Ibnu katsir Juz I/210
[10] Tafsir Al-Qurthubi, tafsir surat Al-Baqarah ayat 193
[11]Kasyful Lits-tsam ‘An Dzirwati Sanaamil Islam, Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi,halaman 20
[12] Ibid Halaman 21
[13] Ibnu Katsir,Tafsir Al-Qur’anul Azhim Juz I/226
[14] Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anul Azhim Juz 2/335-336
[15] Tafsur Al-Qurthubi, tafsur surat At-Taubah ayat 5
[16] (Lihat: Imaathatul Litsaam ‘An Ba’dhi Ahkaami Dzirwati Sanaamil Islaam hal 13, oleh Syaikh Rifa’ie Ahmad Thaha)
[17] Ibid halaman 14
[18] Ibid halaman 15
[19] ibid
[20] Ibid halaman 17
[21] ibid
[22] Ibid halaman 38
[23] Syaikh Abdul Baqi Ramdhun menyebutnya dengan istilah Jihad Hujumi. Pengertian ini tidak berbeda, alias sama dengan Jihad Thalabi.
[24] Kasyful Litstsaam ‘An  Dzirwati Sanamil Islam, Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi hal 20
[25] Secara umum Negara di dunia ini terbagi Dua, yaitu Negara islam dan dan Negara kafir, lihat Al-Jami’ Li Thalabil ‘Ilmisy Syariif, Syaikh ‘Allamah Abdul Qadir bin Abdul Aziz, Juz 9 halaman 92
[26] Al-Jami’ Li Thalabil ‘Ilmisy Syariif 9/92
[27] Ibid hal 93
[28] Al-Jihaadu Adaabu Wal-Ahkaam, Syaikh Abdullah Azzam, halaman 1
[29] Kasyful Litstsaam ‘An Dzirwati Sanaamil Islam hal 40
[30] Raf’ul Litstsaam ‘an dzirwati Sanaamil Islaam, hal 41
[31] ibid
[32] ibid
[33] ibid
[34] ibid
[35] Ibid halaman 43
[36] Ibid Halaman 46
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] ibid
[40] Tidak adanya khilafah Islamiyah otomatis tidak ada pula khalifah
[41] Kasyful lits-tsaam halaman 47.
[42] ibid
[43] Tahdzhib Al-Masyari’ halaman 367
[44] Ibid halaman 368
[45] Ibid halaman 377
[46] ibid
[47] Lihat Taujihat Manhajiyah 2/2