Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

7.3.11

Gerakan Jihad, Partai Islam dan Pelajaran dari Tentara Thalut

Minggu, 06/03/2011 08:35 WIB 

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." ( Al-Baqarah ayat: 249)
Bila membaca ayat diatas penulis mendapatkan sebuah titik temu dengan fenomena yang terjadi di kancah dakwah Islam di Indonesia. Dimana ada sebuah kenyataan yang hadir ditengah-tengah gerkan dakwah.
Ada aktivis dakwah yang hidupnya makmur dan sejahtera karena hidup dari dakwah dan ada yang hidupnya sederhana atau bisa dibilang pas-pasan untuk membiayai aktivitas dakwahnya kepada ummat Islam. Dua hal yang saling bertolak belakang.
Sebagai contoh adalah gerakan jihad dan partai Islam yang berjuang melalui demokrasi. Disaat gerakan jihad sedang menghadapi makar, diburu dan didzalimi, disisi lain ada partai Islam yang hidupnya makmur,bermesraan dengan penguasa dan menjadi tukang stempel kebijakan penguasa walaupun berlawanan dengan pokok-pokok aqidah Islam.
Gerakan jihad dan Partai Islam
Mungkin bagi sebagian orang melihat gerakan jihad adalah gerakan yang konyol dan tidak realistis, ini pendapat sebagian orang yang tidak mengerti. Sah-sah saja.
Namun gerakan jihad telah membuktikan kepada dunia bahwa aqidah adalah harga mati dan tidak bisa ditawar dengan apapun, seperti tentara Thalut yang mengambil air secukupnya untuk menghilangkan rasa haus.
Karena gerakan jihad yakin bahwa ketika seorang aktivis yang berlebihan dalam meneguk segarnya dunia hanya akan memalingkan dirinya dari jalan yang dia sudah komitmen dari awal untuk menempuhnya walaupun dunia dan siksa silih berganti datang bertubi-tubi.
Bandingkan dengan partai-partai yang mengaku memperjuangkan Islam melalui parlemen demokrasi. mereka berberebut kuasa, proyek dan popularitas di masyarakat dengan menghalalkan segala cara.
Menghina syariat islamnya sendiri, membela aliran sesat yang menodai Dien sucinya dan seabrek kebijakan yang tidak pernah sedikitpun membela kepentingan ummat tapi mungkin membela golongannya sendiri.
Mereka terjebak seperti tentara Thalut yang kekenyangan dengan air yang diperintahkan untuk meminumnya hanya seciduk tangan, kesegaran dunia memang melenakan apalagi bagi aktivis dakwah yang dulunya hidup pas-pasan setelah mengetahui bahwa harta dan tahta begitu nikmat dan mengiurkan, mereka pun tergelincir di dalamnya.
seperti kata pepatah “ jangan pernah kasih kucing kurap itu sayap, dia tidak hanya memakan yang ada di darat tapi dia pasti akan memburu yang ada di udara”.
Inilah seleksi alam bagi dakwah Islam, dakwah tidak membutuhkan banyaknya orang yang berkerumun, banyaknya orang terkenal disana dan banyaknya dana yang dimiliki. Dakwah Islam ini adalah pekerjaan Allah SWT, Dia punya cara tersendiri untuk memenangkannya dan melihat siapa yang benar dan jujur kepada apa yang diemban. seperti firman Allah SWT :
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang padamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah:214)
Dakwah adalah sebuah keyakinan, apa gunanya memperjuangkan kesejahteraan tapi mengadaikan aqidah, memperjuangkan hak-hak manusia tapi hak-hak Allah SWT dilanggar.
Kapan umat akan melek dengan tauhid,syariah dan jihad bila para pengembannya saja malu-malu untuk membicarakannya, minder dengan keIslamannya dan menjual ayat-ayatnya mengatasnamakan maslahat dakwah, maslahat pribadi mungkin.
Tadzkiroh
saya kutipkan kata-kata dari Syaikh Ahmad Bawadi dari Imarah Afghanistan, sebagai pengingat perjalanan, akan dibawa kemana Islam dan ummatnya ini. agar kita tidak terjebak oleh jalan-jalan yang memalingkan kita dari tujuan yang sebenarnya.
Orang yang (telah) mati menjadi hidup karena kata-katanya, karena hal yang telah ditulis oleh tangan mereka. Mereka menjadi hidup karena kata-kata yang benar yang mereka tegaskan, dan keteguhan dari sikap mereka (semasa hidup), meski mungkin jasad mereka hancur dan ruh mereka naik ke langit.
Kata-kata yang telah mereka tulis oleh tangan mereka akan bertahan dan bangkit hidup, serta membangkitkan harapan, setelah mereka mengorbankan dirinya, harta miliknya, darah dan kehidupannya demi apa-apa yang mereka tuliskan, yang merupakan pencerminan konsisten dari nilai-nilai teguh yang mereka yakini, dan prinsip-prinsip kokoh yang tertanam dalam diri mereka demi Din Islam ini.
Pada saat itu (ketika mereka mengorbankan dirinya demi kata-katanya), kendati mereka gugur, Islam dan kaum Muslimin akan berjaya melalui mereka.
Para pembela iman akan dimuliakan sementara para pembela syirk dan berhala akan dihinakan. Kehidupan akan dihormati dan diagungkan. Darah dan pengorbanan mereka adalah bahan bakar dan suluh api yang akan mengangkat gelapnya kezholiman dan menyingkap hilang kesedihan dan derita.
Keadilan akan menang dan kaum tertindas akan terbela. Ruang-ruang penjara akan kosong dan orang yang terbelenggu akan bebas. Tak akan ada lagi kehilangan hak, korupsi ataupun sogokan.
Sementara orang yang hidup (sesungguhnya) mati, meski engkau melihat tubuh mereka masih berjalan di atas bumi, mereka tidak punya kehidupan. Mereka mati (meski jasadnya hidup) karena kematian hati. Dan hati mereka mati karena hidup mereka di dunia hanya sekedar memenuhi tuntutan nafsunya, kenyamanan dirinya, dan ambisi dunianya.
Yang jadi perhatian mereka hanyalah berapa gaji mereka dari pekerjaan, berapa gaji mereka dari khutbah dan fatwa yang mereka sampaikan, gaji yang mereka dapatkan setelah mereka menunjukkan keangkuhannya terhadap Islam beserta segenap pembelanya yang jujur.
Mereka membelakangi (Islam) dan harga yang dibayar sangat murah: beberapa dirham dan sedikit ketenaran yang mengkilap karena digosok/dibasuh oleh darah orang-orang mulia dan merdeka.
Mereka tersungkur di hadapan Rabbul Alamin di tengah-tengah majelis mereka, di jaringan televisi satelit mereka, ketika mereka tenggelam dalam kubangan kesalahan yang menjebak mereka dari ujung kaki hingga ubun-ubun!
Mereka menyingkirkan ummat dari Islam, menyesatkan mereka dan membuat mereka jahili. Dari lisan mereka keluar tuduhan keji, siapa saja yang menentang mereka disematkan label buruk orang tersesat atau anak muda bodoh ingusan.
Mereka bicara mengelu-elukan kebaikan orang-orang yang menghancurkan Din, tetapi diam membisu terhadap kelakuan buruk kaum durjana itu dan kekejian yang mereka lakukan dalam memerangi agama.
Maka tidak mengejutkan, mereka menjadi alat pemukul di tangan kaum durjana. Bagi mereka, para ahlul haq dan orang yang teguh di atas keyakinan dikatakan sebagai penyesat dan ahlul bid’ah.
Di mana saja kaum pengecut itu berlalu, bumi berguncang… perpecahan dan konflik merekah, ketika mereka berkhutbah tentang kondisi ummah dan nasib Kaum Muslimin. Islam dan Muslimin akan diperhinakan, kehidupan hanya menghadapi kekejaman dan keterpurukan. Tidak ada yang mereka tawarkan kecuali sikap menyerah, menghambakan diri, dan menjadi obyek penderita.
Negeri-negeri akan dijajah, dan Al Quran dinistakan. Seluruh nilai-nilai kesucian akan dicemari, para akhwat muslimah yang suci diperkosa, kehormatan akan dibinasakan, dalam rangka menghidupkan kembali Laka’ ibnu Laka’ di atas tulang belulang orang-orang suci, kaum mulia, dan ummat yang tak berdosa.
Di tangan mereka (kelak) Islam akan diluruhkan, seperti pakaian yang dicuci hingga warnanya memudar, lalu tak akan ada lagi shoum atau zakat; atau ketulusan akan dipahami.
Tetapi mereka akan menemui taqdir yang buruk dan akhir yang jelek, bi idznillahil wahidil Ahad, di tangan Allah Yang Maha Pemurah, sebagai buah dari apa yang sentiasa mereka lakukan terhadap Ummah, atas setiap ceceran darah yang mereka tumpahkan bersama fatwa mereka, atas setiap sikap bisu yang mereka lakukan tentang Al Haq, dan kegigihan mereka mengemas kepalsuan.
Aduhai sungguh malang… karena tetap saja mereka merasa telah melakukan kebaikan: “Mereka menjadikan indah perbuatan buruk yang mereka lakukan, sehingga kemudian mereka merasa bahwa mereka berada di atas kebaikan…” Ibnu Abi Duwat (ia adalah manusia celaka yang menebarkan fitnah khalqil Quran) memperoleh penghidupan (dari para sulthan) di atas kubangan darah Al Buwaity (salah seorang murid Imam Syafi’i, semoga Allah melimpahkan kasih sayang padanya).
Meskipun ia (Ibnu Abi Duwat) sangat terkenal karena ilmunya, kefasihannya berbicara dan sikap royalnya, tetapi ia tidaklah lebih dari manifestasi niyat yang rusak, dan aqidah yang busuk, sehingga ilmu serta kefasihannya tidak bermanfaat untuknya, dan ia kemudian menemui akhir hidup yang tragis diakibatkan bagaimana ia mengkritisi, mengolok-olok, dan menimpakan bencana kepada ahlul iman dan ahlul haq.
Sayyid Quthb (bersamanya adalah Abdullah Azzam, setiap kali tersebut nama di antara dua orang ini, hati saya menangis. Pent), seseorang yang dipercaya kata-kata dan tulisannya akan dapat dimusnahkan, dan ajarannya akan terhapus dari hati dan jiwa manusia. Tetapi ternyata, kata-kata Beliau hidup, seakan dipahat di atas batu cadas yang kokoh.
Sementara kata-kata dari mereka yang mencoba menghancurkan kehormatan Beliau, tulisan Beliau, tenggelam dalam kematian, bahkan (secara tak sadar) mereka terpesona oleh kata-kata Beliau, tulisan Beliau. Ada lagi kalangan yang lain, yang mencuri darinya, berlagak seakan kata-kata Beliau adalah buah pemikiran mereka.
Allah menyingkapkan topeng mereka, mempermalukan mereka, dan meruntuhkan istana-istana mereka. Mereka itu sesungguhnya telah mati meski mereka masih hidup, sementara Sayyid Qutbh hidup (sentiasa) meskipun Beliau telah berpulang ke hadlirat Allah.
Sayyid Quthb membayar kata-katanya dengan darahnya. Sementara orang-orang yang lain, memperoleh bayaran karena khutbah mereka, buku dan tulisan mereka, yang mereka tujukan untuk merendahkan Sayyid Quthb.
Lalu yang lain lagi, yang mencuri kata-kata Beliau, lalu mengumpulkan bayaran dari rumah-rumah penerbitan, atau mempromosikan diri mereka atas nama Sayyid Quthb dan memperoleh reputasi di jaringan stasiun media dengan mengkritisi Beliau: Sayyid Quthb hidup meskipun Beliau telah wafat, sementara mereka (pada hakekatnya) telah mati meskipun mereka masih hidup.
Banyak putra-putra dari Da’wah ini hidup, dan kata-kata mereka hidup bersama mereka, ketika mereka membangkitkan ke tengah ummat kemuliaan dari Din Islam, sehingga ajaran agama yang haq ini diterima dan diterapkan oleh masyarakat.
Orang-orang sholeh dan jujur berkumpul di sekeliling mereka, dan pada hari-hari itu kesucian tidak tercemari oleh rusaknya dunia, dan tidak dikotori oleh penyimpangan yang diakibatkan oleh tingkah laku, atau khayalan, atau fatwa tambal sulam favoritisme (mis: sikap oportunistik atas nama maslahat da’wah.pent).
Kata-kata kebenaran dan ketulusan merupakan pencerminan konsisten dari niyat ikhlash dan iman yang kokoh. Maka mereka hidup dan kata-kata mereka hidup menjadi menara cahaya dan mercusuar penunjuk, lalu orang-orang sholeh dan beriman mengikuti jejak langkah mereka.
Pengikut yang lain dari Da’wah ini hidup, dan mereka (pernah) mendapatkan tempat yang mulia dan penghormatan di hati ummat. Kemudian tiba-tiba ujian melanda mereka, lalu penghormatan dan pemuliaan ini berganti dengan kematian, penderitaan berkepanjangan, yang membuat hati mereka menjerit dan diri mereka merintih (mengeluhkan) derita dan pengepungan maut. Berharap mungkin ada orang yang mendengarkan dan memberikan perhatian atas hal ini…
Lalu sekonyong-konyong semua menjadi hampa, semua kenangan, ingatan tentang kemuliaan dan penghormatan yang (pernah) bersemayam di hati ummat ini, kesemuanya hilang, manakala orang-orang ini, setelah mengalami berbagai ujian dan cobaan, lalu memilih kehidupan (keselamatan) dari tubuh mereka daripada hidupnya kata-kata mereka, dan setelah mereka memilih prinsip dan ide barat, pendekatan logika (mendahului prinsip Syariat) dan dalil-dalil rasionalisme.
Mereka mengklaim, demi meraih kemaslahatan dan untuk menarik dukungan (lebih luas kepada da’wah) manusia kebanyakan, membujuk hati para pendukung bid’ah dan penyimpangan, mereka merasa harus ‘menyesuaikan sedikit’ jalan perjuangannya, dan ‘menurunkan sedikit’ prinsip-prinsip ideologi yang (pernah) mereka anut.
Mereka perlahan melepaskan nilai dan prinsipnya; maka kaum sekularpun mulai berkumpul di sekeliling mereka. Mereka pun kini menjadi kawan yang sangat menguntung kaum sekularis dan liberal, dan lewat kata-kata mereka sendiri, mereka tanpa sadar telah menjadi sekular juga.
Mimbar-mimbar mereka adalah jaringan MBC dan IBC, dan mereka pun menjadi ulama fiqh ‘yang memudah-mudahkan’ (menggampang-gampangkan, Fuqoha At Tasawwul). Maka orang-orang sholeh dan jujur pun meninggalkan mereka. Tidak ada yang tersisa menyertai mereka, kecuali beberapa kalangan (awam) yang tertipu, orang yang tergoda/terpesona, kaum sekular, liberal, dan demokrat. Mereka perlahan mati meski mereka masih hidup.
Fatwa-fatwa mereka disebarkan di kalangan tentara marinir[1], oleh kalangan yang kasar; orang-orang yang menyerah kalah dan khianat, orang-orang yang takluk. Mereka bertemu di jaringan satelit dan mengkritisi orang-orang yang medan amalnya adalah arena Jihad dan istisyad (kesyahidan). Burung pipit tak akan bergabung kecuali dengan kawanan pipit.
Ahmad bin Hanbal (Sang Imam Ahlu Sunnah) telah berpulang ke rahmatullah, demikian juga sang pemuka fitnah Ibnu Abi Duwat (pemimpin fitnah khalqil Quran) telah mati dan Bishir Al Misri (syaikhnya Mu’tazilah) juga telah mati. Tetapi apa yang telah ditulis Ahmad bin Hanbal tetap hidup, karena Beliau menebus seluruh apa yang ditulis tangannya dan apa yang ditegaskan lisannya, dengan dirinya.
Kata-kata Ahmad bin Hanbal menjadi hidup, ketika Beliau menebusnya, bersama setiap jengkal penyiksaan yang merencah tubuhnya, belenggu yang mengikat leher serta tangannya, dan pemenjaraan yang Beliau alami. Dan seluruh memori tentang Beliau hidup sentiasa hingga hari ini, sebagai bahan pengajaran dan teladan nyata.
Ibnu Abi Duwat dan orang-orang yang menyertainya (sesungguhnya) telah mati meski mereka hidup, ketika mereka menukar kemuliaan dengan menikmati fasilitas di istana-istana sulthan sambil mendengarkan jeritan dan rintihan Ahmad bin Hanbal.
Nilai dan keyakinan mereka mati bersama-sama mereka dan mereka tidak punya hal berharga apapun (untuk dikenang oleh generasi selanjutnya) kecuali sikap mengemis, kezholiman, menjilat penguasa, penghambaan, dan mencintai hawa nafsu.
Apalagi yang masih layak dibanggakan dari sisa-sisa kebenaran? Ibnu Abi Duwat mati terpenjara dalam tubuhnya sendiri, yang lumpuh dan sekarat selama empat tahun (sebelum ia benar-benar mati), tidak mampu digerakkan barang sedikitpun.
Adapun Ibnu Taimiyah, maka memori tentang Beliau seakan abadi, bi idznillah, hingga Allah kelak akan mewarisi bumi ini kepada segenap hambaNya yang sholeh. Beliau menyampaikan pesan dan tadzkirahnya tentang istighotsah, tetapi kalangan ahlul bid’ah tidak menyukainya, karena hal itu telah menjadi kebiasaan mereka di mana saja.
Lalu Ali bin Yaqub Al Bakari menyerang Beliau, menuduhnya kafir, dan menuntut agar Beliau dibunuh. Tetapi kemudian penguasa menghimpun kekuatan dan mendorong rakyat, menggerakkan mereka melawannya (al Bakari).
Maka kini berganti, dialah kemudian yang dicerca, dikutuk, dan dipenjara. Rakyat berhimpun hingga dalam jumlah yang banyak untuk melawannya. Rakyat menyerangnya hingga ia akhirnya terpaksa melarikan diri.
Lalu bumi dirasakan sempit oleh al-Bakari hingga ia tidak dapat menemukan tempat meminta perlindungan kecuali kepada Ibnu Taimiyah. Al-Bakari akhirnya lari berlindung ke rumah Ibnu Taimiyah. Allah telah memuliakan Ibnu Taimiyah dan memori serta segenap pesan Beliau hidup abadi. Sementara musuh-musuhnya mati, dan ikut mati bersama mereka segala ide dan keyakinan mereka.
Ada orang-orang yang rela menebus kata-kata dan tulisan mereka dengan pengorbanan. Mereka tidak mencari makan darinya (tulisan, kata-kata, khutbah, atau fatwa) pun juga tidak mengemis lewat tinta yang dituliskan pada buku mereka. Mereka menghindari hal yang meragukan (syubhat) dan menolak hal yang dilarang (muharramat). Mereka tidak mencari penghidupan dari ‘mencatut’ usaha orang lain ataupun menghina dan mencaci mereka.
Mereka tidak menerima harga dunia dan kenikmatannya yang rendah dan menipu ini. Mereka campakkan kesemua itu di belakang punggungnya. Sebaliknya orang yang berlawanan dengan kaum mulia itu, maka diakibatkan mereka suka mengutuk, menghina, dan mengkritisi kaum yang menggenggam Al Haq, iman dan Jihad, dan karena mereka lebih suka mengelu-elukan kaum yang sesat dan menyimpang, maka mereka dilupakan, tenggelam bersama ditutupnya lembar sejarah.
Wallahu A’lam       sumber; eramuslim.com