Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

4.3.10

Pengantar Memahami Jahiliyah

  Syari'at Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah/Yatsrib) memiliki prinsip-prinsip yang tegas, baku dan aura (karakter) khusus yang membedakannya dengan umat-umat sebelumnya. Prinsip dan karekter syari'at islam sangat jauh berbeda dengan prinsip dan karakter agama (ideologi) lainnya. Pengadaan undang-undang dan aturan hidup yang memiliki karakter khas memiliki tujuan tertentu.
            Contohnya, diantara tujuan diciptakan undang-undang negara adalah agar warga Negara memiliki rasa loyal dan taat kepada pemerintah. Agar tercipta ekonomi yang kuat dan keamanan yang kondusif. Lebih dari itu, agar ideologi yang dianut oleh negara "aman" dan didukung oleh rakyat. Intinya, tidak mungkin sebuah undang-undang-undang/aturan yang dirancang sedemikian rupa; memeras tenaga dan biaya  yang banyak, tidak memiliki tujuan.
            Demikian juga islam, sebagai aturan hidup yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Suci, juga memiliki tujuan yang mulia nan suci. Tujuan intinya, agar manusia mentauhidkan Allah dalam beribadah (yaitu ibadah dalam makna yang luas, bukan terbatas pada ritual rukun islam). Hal ini sebagaimana termaktub dalam firman-Nya.
"Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" (an-nahl:36).
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -seorang ulama abad ke VIII H, yang telah mencapai tingkatan Mujtahid Muthlak- menegaskan, inti seluruh ajaran islam terangkum dalam dua hal; beribadah kepada Allah semata dan beribadah kepada-Nya hanya dengan tata-cara yang diajarkan oleh rasulullah . Beliau bertutur;
          "Pokok ajaran dien Islam ada dua: (1) Kita tidak boleh mempersembahkan ibada kecuali hanya kepada Allah semata. (2) Dan kita tidak boleh beribadah kepadaNya kecuali dengan apa yang telah Dia syari'atkan, bukan diada-adakan. Sebagaimana Allah berfirman (artinya), ' Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." –QS. Al kahfi:110-." 
            Masih menurut Ibnu Taimiyah, diantara "maqhosidusy syari'ah[1]" adalah menyelisihi orang-orang jahiliyah, baik dari kalangan ahlu kitab –yahudi dan nasrani- atau kaum musyrikin lainnya; hindu, budha, dan lain-lain. Beliau Ibnu Taimiyah bahkan menulis buku khusus berkenaan dengan ini, beliau memberi judul, "Iqtidho'usy shirathil mustaqim fi mukhalafati ashhabil jahim"  Terjemahan bebasnya, "Menyelisihi ashabil jahim –orang kafir- adalah tuntutan syari'at Islam."
Urgensi mengetahui perkara dan karakter Jahiliyah
            Dari penjabaran diatas disimpulkan, mengetahui perkara dan karakter jahiliyah adalah sangat urgen. Pasalnya, salah satu maqoshidusy syari'ah menyelisihi karakter jahiliyah, cara pandang, metode berpikir dan ideologi jahiliyah. Karena semuanya keliru, harus diubah dan dikikis. Umat Islam dituntut untuk menjauhinya.
            Agar ini semua bisa terlaksana, seorang muslim dituntut untuk mengetahui dan mempelajarinya. Upaya menjauhkan diri dari perbuatan jahiliyah tidak akan terlaksana dengan sempurna, kecuali setelah mengetahui karakter jahiliyah itu sendiri. Seseorang yang tidak mengetahui karakter, ideologi dan segala hal yang berkenaan dengan jahiliyah, tatkala ia ingin menghindarinya, boleh jadi ia justru terjatuh dalam karakter dan ideologi jahiliyah yang lain. Mempelajari dan mengetahui perkara-perkara jahiliyah bukan berarti setuju dengan jahiliyah, bukan pula untuk mempraktekkannya.
            Sederhananya, mempelajari tekhnik mencuri, merampas; mengetahui daerah-daerah rawan perampokan, penjabretan atau tehnik menodong bukan berarti untuk mencuri atau melakukan kejahatan lain. Tapi untuk keamanan diri dan tindakan antisipasi.
            Berapa banyak orang yang menjadi korban kejahatan disebabkan tidak paham atau masa bodoh terhadap modus operandi kejahatan; berapa banyak muslimin terjerumus dalam kejahilian karena tidak mengerti hakekat jahiliah, karakter dan akibatnya. Banyak orang merasa sudah sangat islami padahal ia tengah berada dalam kukungan kejahilihan. Ini, muaranya dari ketidaktahuan dan masa bodoh terhadap perkara-perkara, ideologi dan karakter jahiliyah.
            Menurut sahabat Umar bin Khattab –seorang muslim terbaik setelah Abu Bakar t-, hancurnya Islam berawal dari sebuah generasi yang tidak memahami jahiliyah. Dalam sebuah atsarnya beliau bertutur,
            "Ikatan (ajaran) Islam akan terurai satu persatu, jika dalam islam muncul tumbuh generasi yang tidak memahami jahiliyah."
            Gelar "al Faruq" yang disematkan oleh rasulullah  kepada beliau tidak terlepas dari luasnya pengetahuan beliau berkenaan dengan perkara jahiliyah. Umar sangat lama hidup dalam kejahiliyahan, sehingga seluk-beluk jahiliyah sangat beliau pahami.
Mempelajari Jahiliyah, Salah Satu Kunci Memahami Islam
            Ada satu rahasia dari sahabat rasulullah, Hudzaifah bin Yaman , beliau dijuluki "Shohibu sirri rasulullah " –pemegang rahasia rasulullah -. Sahabat ini pernah berkisah; kenapa beliau begitu dipercaya dan mendapat banyak bocoran rahasia dari rasulullah, sering dimintai pendapat dan arahan oleh Umar bin Khattab t. Salah satu faktor yang menjadikan beliau demikian dan yang menempatkan beliau dalam jajaran ulama sahabat adalah beliau sering bertanya yang "aneh-aneh" kepada rasulullah .
            Berikut penuturan beliau:
            "Dulu, umumnya para sahabat bertanya kepada rasulullah r tentang kebaikan. Sedangkan aku, bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena saya khawatir keburukan itu menimpaku."         
Demikianlah penuturan beliau tentang rahasia yang mendudukan beliau dalam jajaran para ulama sahabat. Menjelaskan ungkapan Hudzaifah  ini Imam Al Baqa'i dalam tafsirnya –Nadhmud dhurar fi tanásubi bainal áyáti was suwar-  berkata, "Yang demikian itu karena orang yang tidak mengetahui keburukan sangat berpotensi terjerumus ke dalamnya."
            Satu lagi, Ibnu Taimiyah rhm seorang ulama kawakan mampu membongkar kebobrokan filsafat dan tarekat shufi sekaligus membantahnya berangkat dari pengetahuan beliau yang mendalam tentang jati diri filsafat dan tarekat shufi. Menakjubkan, ketika beliau membahas dan mengurai satu-satu persatu kedua ajaran aliran sesat ini, seakan-akan Ibnu Taimiyah adalah pakarnya, pendiri dan ideolog sejatinya.
            Beliau mampu menyingkap dasar-dasar pemikiran filsafat ini lalu membantahnya, bukan bersifat kebetulan, tapi berawal dari luasnya pengetahuan beliau tentang filsafat. Bantahan itu, beliau abadikan dalam buku "Dar'ut ta'arrudh baina naqli wal 'aqli" yang berjumlah sepuluh jilid. Dalam sebuah pepatah arab dikatakan:
            "Aku mengetahui keburukan bukan untuk berbuat buruk, tapi untuk menghindarinya, siapa yang tidak mengetahui keburukan, ia akan terjatuh ke dalamnya (keburukan)."
Kebenaran Semakin Nampak Setelah Mengetahui Kejahiliyahan
            Sedikit teliti dalam memperhatikan "konsep pengajaran Allah kepada para hambaNya untuk memahami hakekat sesuatu" akan membuat kita takjub dan terkagum-kagum. Tatkala Allah menerangkan maksudNya kepada pada hambaNya, Allah memiliki konsep yang sangat jitu, logis dan mudah memahamkan.
Contohnya, diawal-awal surat al Baqarah Allah menerangkan karakter mukmin sejati versus mukmin imitasi (munafik). Dari ayat 2 sampai 5, Allah menerangkan secara global tapi jelas sifat dan ciri-ciri mukmin hakiki. Diantaranya; mereka tidak meragukan kebenaran al Qur'an, menjadikannya sebagai pedoman, dan beriman kepada yang ghaib.
Kemudian dari ayat 6 sampai 20, Allah menjelaskan karakter munafik. Diantaranya; angkuh, tidak mau menerima kebenaran, pengakuan imannya hanya di lisan tidak direalisasikan dalam hati dan amal badan, sering mengolok orang yang iltizam dengan syari'at.
Begitulah, jika ingin mengetahui hakekat sesuatu, pahami lawannya. Jika ingin memahami karakter kaum hawa, pahami karakter lawannya; kaum adam. Jika ingin memahami hakekat iman, pahami hakekat kufur. Dan bila ingin memahami hakekat Islam beserta karakter sejati para penganutnya, pahami hakekat jahiliyah beserta karakter pengusungnya. Demikian seterusnya.
Ada sebuah sya'ir yang sangat masyhur di bumi padang pasir:
Lawan, kebaikannya akan ditampakkan oleh lawannya…dengan mengetahui hakekat lawannya, segala sesuatu akan nampak. 
Dari pemaparan yang cukup panjang diatas, kiranya sudah cukup memberikan jawaban, kenapa pada edisi-edisi mendatang, kami mencoba mensyarah dan menjabarkan beberapa karakter, ideologi dan pandangan hidup (worldview) jahiliyah. Mengenai penulis, Syaik Muhammad bin Abdul Wahhab tidak perlu ditampilkan lagi profilnya. Sepak terjang, dan andil beliau dalam menyebarkan dakwah tauhid dan menumpas ideologi syirik, telah dipaparkan pada edisi sebelumnya. Silahkan merujuk. [Mas'ud](annajah.info/)


[1]  Maqhosidusy syari'ah adalah istilah yang popular dikalangan pakar ushulul fikih, yang berarti; tujuan diturunkannya syari'at Islam.

JIHAD DALAM SHAF YANG TERATUR RAPI

Fiqih Jihad
JIHAD DALAM SHAF YANG TERATUR RAPI
Ust. Abu Bakar Ba’asyir

Zaman sekarang, kita benar-benar terjebak dalam krisis amal jama’i.  Betapa susahnya menemukan mereka yang mendapatkan barokah dengan bersikap tenang dalam ketaatan terhadap Amir, serius dan tanpa banyak bicara, tetap teguh pada tugas yang telah diprogramkan.  Bersikap waspada, banyak diam, sembari terus berlatih dan tidak terpengaruh situasi global hingga tujuan mereka tercapai.  Sikap semacam inilah yang seharusnya dimiliki para mujahid dan ahluddin hari ini”.
(Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisy)
Dalam sebuah ayat Allah berfirman:

 Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. “ (Ash Shaff: 4)
Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan pentingnya pasukan jihad yang teratur dan terkendali.  Dalam berbagai kitab tafsir disebutkan bahwa arti penting pasukan jihad yang terkoordinasi dengan baik terbagi dalam dua aspek;
Pertama          : Adanya dalil-dalil dari nash syar’i itu sendiri
Kedua             : Tuntutan kondisi kaum muslimin yang mengharuskan untuk mengambil sebab datangnya pertolongan Allah, yakni kekuatan, kekokohan dan keteguhan.
Aspek kedua muncul karena hari ini musuh umat Islam -baik itu Negara atau organisasi- telah berupaya maksimal dalam menghadapi kaum muslimin.  Mereka benar-benar membekali diri dengan kekuatan yang terorganisir dan terprogram, baik dari segi persenjataan, media, kekuatan personal dan sebagainya.
Sebaliknya, tidak sedikit kaum muslimin justru bersikap ceroboh ketika menghadapi musuh.  Hal ini sangat tampak ketika mereka hanya menggunakan bekal yang begitu terbatas, persiapan yang lemah dan penuh dengan ketergesaan, gerakan yang terpecah belah dan sendiri-sendiri, yang berakhir dengan terjadinya fitnah dan kerusakan yang dahsyat yang antara lain berupa hilangnya kebenaran dalam kehidupan masyarakat.
Mengapa demikian? Karena kecerobohan dalam berbagai aksi jihad yang dilakukan justru memberi kesempatan bagi thaghut untuk menghinakan Syari’at Islam dan menghapuskan jihad dari otak – benak kaum muslimin, dengan cara menangkapi para aktivisnya, memberikan citra buruk terhadap jihad dan mujahidin serta mengumumkan bahwa Islam adalah agama teror yang hina.
Allah berfirman:

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)
Jihad adalah Amal Jama’i
Meskipun jihad seorang diri termasuk jihad yang dibenarkan dan dapat mengantarkan pelakunya kepada mati syahid, tapi bukan berarti kita lantas mengabaikan manajemen sebuah peperangan yang telah dikendalikan oleh sebuah jama’ah.
Adapun alasan syar’i mengenai hal ini, adalah sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas dan bahwa Allah telah memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan kekuatan yang benar-benar cukup.  Dalam rangka, memberikan rasa takut pada orang-orang kafir dan murtad.
Allah berfirman:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Al Anfal: 60)
Berdasarkan ayat di atas, seluruh kaum muslimin WAJIB menempuh semua sebab-sebab kekuatan dan berusaha keras untuk meraih kemenangan materi dan maknawi, sehingga dapat menakuti musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimin baik itu orang-orang kafir maupun munafik.
Adapun metode syar’i untuk meraihnya adalah dengan; Al-Jama’ah, Sistem Organisasi yang baik, Perencanaan yang rapi, Kepemimpinan yang kuat dan Ketaatan syar’i. Kelima unsur tersebut merupakan hal yang sifatnya darurat untuk segera dipenuhi dalam i’dad yang sesuai dengan syar’i.
Rasulullah n bersabda, “Aku memerintahkan kalian dengan lima hal yang Allah telah perintahkan aku dengannya: Mendengar dan Taat, Jihad, Hijrah dan Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Demikianlah karakter jama’iyah dari Tha’ifah Manshurah.  Hari ini mereka ada, yaitu mereka yang berjihad di zaman ketika tidak adanya kekhilafahan hingga menjelang kiamat, yakni ketika seluruh nyawa orang mukmin dicabut dengan angin harum dari Yaman.
Sifat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits seputar keberadaan mereka yang sifatnya mutawatir yang berarti menunjukkan keberadaan mereka dan keberlangsungannya hingga akhir zaman.
Rasulullah n bersabda, "Akan senantiasa ada di antara ummatku suatu kelompok/jama’ah yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR. Muslim)
Dr. Abdullah Azzam berkata, Jihad adalah Ibadah Jama’iyyah yang tidak akan terlaksana, kecuali dengan adanya jama’ah yang berhadapan dengan masyarakat jahiliyyah atau masyarakat kafir.  Oleh sebab itu jihad tidak akan diwajibkan di Mekah karena lemahnya kaum muslimin, sedikitnya jumlah mereka dan ketidaksanggupan mereka untuk menghadapii jahiliyyah yang mengandalkan kekuatan dan jumlah.
Adapun selama jihad itu merupakan ibadah jama’iyyah, maka yang memegang perkara ini haruslah amirul jama’ah, dan dialah yang mengumumkan jihad. (I’lanul Jihad, Dr. Abdullah Azzam, hlm.8)
Dengan demikian, apakah masuk akal jika thaifah mansurah melaksanakan kewajiban jihad dengan sendiri-sendiri tanpa bentuk jama’ah yang berpijak di atas prinsip As Sam’u wat Tha’ah? Marilah kita simak sejarah Rasulullah n dan para sahabatnya, ketika mereka belum memiliki daulah islam. Apakah mereka bergerak dalam dakwah sendiri-sendiri tanpa adanya jama’ah dan ketaatan pada Rasulullah n, ataukah mereka bergerak dalam jama’ah yang rapi dan ketaatan terhadap Amir?
Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya kalian mengikuti Al Jama’ah dan jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya syaithan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang.  Barang siapa yang menginginkan intinya surge hendaknya mengikuti Al Jama’ah” (Hukmul Islam fi Ad Dimuqratiya waa Ta’adudiyyah Al Hizbiyyah: 174)
Setelah menjelaskan tentang salah satu sifat Ath Thaifah Al Manshurah, syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah memberikan peringatan bahwa meskipun jihad fie sabilillah adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim ketika tidak ada khilafah, hendaknya mereka tidak melaksanakannya secara perorangan (individu).
Karena jihad merupakan ibadah jama’I dan akan menimbulkan madharat (bahaya) jika amal jama’i ini dilakukan secara perorangan.  Oleh sebab itu, antar harakah jihadiyah wajib melakukan koordinasi yang sinergis demi melaksanakan kewajiban ini. (Shifatu Ath Tha’ifah Al Manshurah Allati Yujibu An tukatsira Sawadaha Shifat II: Al Jihad Fi Sabilillah)
Tetaplah Bersabar di Jalan Allah
Sesungguhnya, jihad adalah jalan tercepat untuk menuju jannah.  Betapa tidak, rasa takut yang mengguncang dada mujahidin dalam sebuah pertempuran dapat menggugurkan dosanya, juga setetes darah pertama yang menetes ke bumi dari seorang mujahid yang ikhlas dan mengharap agar ia dilihat Allah, benar-benar dapat menghapus segala dosa yang ada padanya tanpa terkecuali.
Namun menunaikan jihad fii sabilillah juga harus memperhatikan konteks riil lapangan dan adanya tingkatan kemampuan sehingga ia betul – betul tegak diatas nilai dan kaedah yang syar’I serta terbebas dari dorongan- dorongan emosi semata – mata . Karena itu Ibnul Qayyim rohimahulloh membuat paling tidak ada 13 langkah dalam 4 bagian besar menuju Jihad yang sesungguhnya .
Dalam meniti hal-hal itu , maka kita wajib bersabar sebagaimana firman Allah:

Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. ( QS Ali Imron : 146 )
Dari ayat yang mulia ini , Alloh Azza wa Jalla memberi kriteria sabar dalam tiga perwujudan yakni :
1.      Tidak lemah mental dalam makna tetap bersemangat.
2.      Tidak lesu yang berarti terus menerus beramal shalih. Sebab kesakitan dan pengorbanan ada nilainya di sisi Allah.
Allah berfirman:

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). jika kamu menderita kesakitan, Maka Sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 104)
3.      Tidak menyerah yang menunjukan keteguhan sikap Mujahid yang hanya bersemboyan hidup mulia atau mati syahid.
Allah berfirman:

Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas, dan Allah pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Muhammad: 35)
Terkait dengan jihad dalam satu shaf perjuangan yang rapi dan kokoh  maka bagi setiap anggota JAMA’AH ANSHARUT TAUHID, ingatlah bahwa kita tengah beramal jama’i.  Sudah seharusnya, masing-masing kita menepati janji ( mu’ahadah ) yang kita ucapkan dan tidak melanggarnya.
Sudah seharusnya kita menyadari bahwa jika  jihad pada suatu ketika menjadi fardhu ‘ain sedangkan melaksanakan syari’at al jama’ah juga fardhu ‘ain pada setiap masa, sehingga tidak selayaknya kita kemudian membatalkan salah satu diantara keduanya demi melaksanakan jihad secara sendiri-sendiri. Karena sesungguhnya, jihad adalah amal jama’i yang fardhu ‘ain.
Memang ada fenomena aneh yang berkembang, ketika seseorang membolehkan bahkan memprovokasi agar seorang Mujahid tidak perlu mematuhi Amir Jama’ahnya untuk berjihad tapi ia sendiri menuntut untuk dita’ati oleh orang yang diprovokasinya.
Jadi ia menyuruh orang bermaksiat kepada Amir agar tha’at pada kemauannya sendiri. Akhirnya, rusaklah jama’ah yang dimana seseorang telah bermu’ahadah itu, celakanya lagi , orang itu telah merasa beramal sholeh dengan merusak jama’ahnya
Oleh karena itu, kita wajib bersabar dalam jama’ah untuk melaksanakan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad secara semesta, demi menegakkan Syari’at Islam di bumi Allah.
Wajib atas kita bersabar ketika menghadapi kesempitan yang menghadang, ketika semua manusia memfitnah dan memburuk-burukkan aktifitas memperjuangkan Islam dalam sebuah amal jama’i demi tegaknya Syari’at Islam dengan dakwah dan jihad.
Wajib atas kita untuk bersabar, ketika semua manusia menimpakan penderitaan.  Karena sesungguhnya, tidaklah mereka mampu menimpakan penderitaan kecuali atas izin Allah dan sesungguhnya godaan iblis dan pengikutnya itu sangatlah lemah di hadapan seorang mujahid yang betul-betul beriman.
Juga wajib atas kita nantinya, untuk bersabar dalam pertempuran.  Terutama ketika Allah telah menakdirkan kita terjun di suatu daerah perang dan telah berhadap-hadapan secara langsung dengan musuh, yakni dengan tidak mundur ke belakang.
Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahannam. dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
Maka hendaknya kita mampu bersabar untuk tidak beraksi di daerah aman yang bukan wilayah perang terbuka.
Bersabarlah! Karena sesungguhnya sifat Tha’ifah Al Manshurah adalah bersabar dalam dakwah dan jihad. Sehingga Allah Ta’ala menakdirkan datangnya pertolongan dari sisiNya  kepada kaum muslimin secara keseluruhannya. Insya Alloh berjama’ah dalam ketho’atan jauh lebih barokah dan lebih berpeluang untuk menyongsong Nashrullahu Ta’ala .
[muslimdaily.net]