Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

5.3.10

Polisi Terbunuh Dalam Baku Tembak Di Aceh

bromobAceh - Seorang anggota polisi dari Mako Kelapa Dua Depok terbunuh dan 10 orang polisi lainnya luka-luka dalam baku tembak dengan sekelompok orang yang diduga terlibat dalam tandzim Jamaah Islamiyah. Mabes Polri membenarkan satu anggotanya, Briptu Boas tewas akibat penggerebekan teroris di Aceh. Namun hingga kini, jenazah Briptu Boas masih belum bisa ditemukan.
"Satu orang anggota kita meninggal dunia Briptu Boas Woisiri alias Boy. Sampai saat ini kami belum mengevakuasi jenazahnya," ujar Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang saat jumpa pers di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jaksel, Jumat (5/3/2010
Edward mengatakan, jenazah Boas sulit ditemukan karena medan pertempuran relatif cukup berat. Selain satu orang tewas beberapa anggota lainnya juga mengalami luka-luka.
"9 orang (petugas) dirawat," imbuh jenderal bintang dua ini.
Menurut Edward, saat ini polisi masih terus melakukan pengejaran dan mencari jenazah Boas. Boas merupakan anggota Brimob dari satuan Mako Kelapa Dua Depok.
"Mudah-mudahan segera ditemukan agar kita bisa memberikan penghormatan," jelasnya.
Sementara, Edward juga membenarkan adanya warga beridentitas Nurbahri (60) yang tewas dalam aksi tersebut. Nurbahri tewas diduga karena kena peluru nyasar dari kelompok teroris.
'Kita sudah memberikan peringatan kepada warga tersebut. Saat melintas (tertembak),"
Saat ini polisi terus melakukan pengejaran di lokasi Kampung Lamkabeu, Desa Lamteuba, Aceh Besar. Hingga saat ini, polisi berhasil menangkap 14 tersangka dan satu orang tersangka tewas. 13 di antaranya telah dibawa ke Mako Brimob Kelapa Dua Depok.[detik.com]

Mayoritas Manusia Menyesatkan

Dan jika kamu menaati kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al An’am: 116).

Sebab turunnya ayat
Menurut imam Al Baghawi ayat ini berkenaan dengan orang kafir yang membantah Rasulullah dan orang-orang mukmin berkenaan masalah memakan bangkai. Mereka berkata, “Mengapa kalian memakan (binatang) yang kalian bunuh (sembelih) dan tidak memakan (binatang) yang dibunuh oleh Allah langsung (bangkai)? Maka Allah berfirman: “Dan jika kamu menaati kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” yaitu jika kamu menaati mereka dengan memakan bangkai, sungguh mereka telah menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Imam Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil   -Tafsir Al Baghawi-, Juz III, hal 181).
Larangan Menaati Orang Musyrik
Ibnu Jarir Ath Thabari berkata, “Allah memperingatkan Nabi-Nya, Muhammad, dengan berfirman,”Wahai Muhammad, janganlah kamu menaati mereka, orang-orang yang menyekutukan Allah dengan tandingan-tandingan dalam hal yang mereka serukan untuk memakan sembelihan yang dipersembahkan untuk tuhan-tuhan mereka. Dan (jangan pula menaati mereka) dalam menuhankan sesuatu selain Rabb mereka serta ajakkan dari orang-orang yang menyimpang lagi sesat. Seandainya kamu menaati kebanyakan orang di muka bumi, maka mereka akan menyesatkan kamu dari agama Allah dan menentang kebenaran. Kemudian mereka akan menghalangi kamu darinya (agama Allah dan kebenaan).”
Beliau melanjutkan, “Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Dan jika kamu menaati kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” dari kalangan anak-cucu Adam. Karena kadang-kadang mereka kafir dan sesat, maka Allah berfirman, “Jangan kamu menaati mereka dalam hal yang mereka serukan kepadamu. Jika kamu menaati mereka niscaya kamu pasti akan tersesat sebagaimana sesatnya mereka dan kamu akan seperti mereka. Mereka tidak akan menyeru kamu kepada petunjuk dan bahkan mereka menyelisihinya. (Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fie Takwilil Qur’an Juz XII/64).
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,”Walaupun (ayat ini) ditujukan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam, namun umat (islam) menjadikan beliau sebagai suri tauladan dalam segala hukum yang tidak menjadi kekhususan bagi beliau.” (Tafsir Al Karim Ar Rahman Fie Tafsiri Kalam Al Manan, Juz I hal 270).
Sehingga dapat dipahami, walaupun larangan menaati orang-orang kafir dan musyrik dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi, namun larangan ini juga berlaku bagi kaum muslimin secara umum.
Kebanyakan Manusia Menyesatkan
Berkenaan ayat ini Ibnu Katsir berkata, “Allah ta’ala mengabarkan keadaan dari kebanyakan anak Adam (manusia), bahwa sesungguhnya mereka adalah sesat. Ayat ini sebagaimana Allah berfirman:

“Dan Sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang dahulu.” (Ash Shaaffat: 71)
Dan Allah berfirman:

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya-.” (Yusuf: 103).
Beliau melanjutkan, “Dan mereka dalam kesesatan, tidak dalam keyakinan tentang perkara mereka. Sesungghnya mereka hanya dalam persangkaan yang dusta dan batil.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim, Juz III/322).
Sedang Imam Al Baghawi berkenaan firman Allah, “Dan jika kamu menaati kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” yaitu dari agama Allah. Karena kebanyakan penduduk bumi berada dalam kesesatan. (Imam Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil   -Tafsir Al Baghawi-, Juz III/181).
Dan Abdurrahman bin Nashir As Sa’di juga berkata,”Allah memperingatkan Nabi-Nya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam agar beliau tidak menaati kebanyakan manusia, dengan berfirman: “Dan jika kamu menaati kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”.
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya kebanyakan mereka telah menyimpang dari agama, amal dan ilmu mereka. Agama mereka rusak, amal mereka mengikuti hawa nafsunya dan ilmu mereka tidak benar (lurus) serta tidak mengantarkan kepada petunjuk. Bahkan tujuan mereka adalah untuk mengikuti prasangka yang tiada  memberi faedah sedikitpun terhadap kebenaran. Dan kedustaan mereka terhadap Allah adalah sesuatu yang tidak mereka ketahui....” (Tafsir Al Karim Ar Rahman Fie Tafsiri Kalam Al Manan, Juz I hal 270).

Kebenaran di Tangan Minoritas
Berkenaan ayat ini, Imam Asy Syaukani berkata, “Allah mengabarkan sesungguhnya jika beliau (Muhammad) hendak menaati kebanyakan orang di muka bumi sungguh mereka akan menyesatkan beliau. Karena kebenaran hanya di tangan golongan orang yang sedikit. Mereka adalah kelompok yang selalu berada di atas kebenaran. Dan orang-orang yang menyelisihi mereka tidak membahayakannya. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz II, hal 467).
Kelompok tersebut adalah Ath Thaifah Al Manshurah (kelompok yang mendapat pertongan dari Allah). Ath Thaifah Al Manshurah akan selalu ada hingga hari kiamat kelak. Mereka akan selalu berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap orang-orang yang suka mencela. Berkenaan kelompok tersebut Rasulullah bersabda:

“Akan senantiasa ada kelompok dari umatku yang selalu nampak kebenaran, tidak membayakan mereka orang-orang yang menelantarkannya hingga datangnya keputusan Allah dan mereka selalu demikian.” (HR. Muslim).
Dan diantara ciri khas Thaifah Al Mashurah adalah mereka selalu berjihad di jalan Allah. Walaupun banyak orang yang mencela dan mencaci mereka selalu teguh di atas jalan jihad. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya:

“Akan senantiasa ada kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran yang nampak hingga hari kiamat.” (HR. Muslim).
Dan masih banyak riwayat-riwayat lain yang menyebutkan keberadaan Thaifah Al Manshurah hingga hari kiamat. Tentunya thaifah tersebut sedikit jumlahnya dibanding jumlah kaum muslimin secara umum.

Mayoritas Manusia saat Ini
Ternyata mayoritas manusia saat ini juga berada dalam kesesatan. Hal ini sebagaiman diungkapkan oleh Sayyid Quthb ketika menafsirkan ayat ini (Al An’an: 116), beliau berkata, “Sungguh kebanyakan (manusia) di muka bumi –sebagaimana saat ini- termasuk dari kalangan orang-orang jahiliyah…. Mereka tidak menjadikan Allah sebagai hakim untuk menghukumi setiap perkara. Mereka tidak menjadikan syariat Allah yang ada dalam kitab-Nya (Al Qur’an) sebagai undang-undang. Mereka tidak menyandarkan pemahaman, pemikiran, cara berpikir dan jalan hidup kepada petunjuk Allah. Maka dari sini –sebagaimana kebanyakan orang pada saat ini- berada dalam kesesatan jahiliyah, mereka berpendapat, berbicara dan berhukum tidak berdasarkan kebenaran. Dan tidaklah orang yang mengajak untuk menaati dan mengikuti mereka kecuali ia mengajak kepada kesesatan…. Mereka  meninggalkan ilmu yakin (pasti) dan mengikuti prasangka dan kedengkian. Padahal tidaklah prasangka dan kedengkian kecuali akan mengarahkan kepada kesesatan. Oleh karena itu Allah memperingatkan Nabi-Nya untuk tidak menaati dan mengikuti (orang-orang seperti) mereka agar tidak tersesat dari jalan Allah.” (Sayyid Quthb, Fie Dzilali Al Qur’an Juz III, hal 132).
Begitulah kebanyakan manusia di muka bumi, sesat dan menyesatkan. Mereka cenderung mengikuti hawa nafsu dan menolak kebenaran. Hanya sedikit manusia yang berada di atas kebenaran. Sehingga mereka nampak asing (ghuraba) di hadapan manusia. Namun sesungguhnya merekalah orang-orang yang beruntung selama mereka tetap berpegang teguh dengan kebenaran di tengah keterasingannya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda:

“Islam dimulai dalam keadaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana dimulainya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bishawwab. (Yazid)

Thoifah Manshuroh, Pasukan Penyelamat

 “Barangsiapa yang diinginkan kebaikannya oleh Allah I, niscaya Allah akan memahamkan dia masalah addien. Akan senantiasa ada diantara kaum muslimin kelompok yang berperang membela kebenaran, mereka akan senantiasa unggul atas siapa saja yang menentangnya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Indahnya kalimat Thoifah manshuroh bagi para aktifis seindah primadona padang pasir dalam kisah alfu lailah walailah (1001 malam). ‘Laila’ begitu orang-orang memanggil sang primadona itu. Semua pemuda padang pasir tersihir oleh pesonanya. Masing-masing mengklaim dirinya sebagai kekasihnya Laila. Sampai-sampai ada seorang penya’ir Arab bersya’ir. Sya’ir ini sangat mashur di sastrawan elit arab.
            “Semua mengklaim dirinya sebagai kekasih si Lalila ** Padahal Laila tidak pernah memilih mereka sebagai kekasihnya.”
Sepertinya, mengkiyaskan thoifah manshuroh dengan si Laila terlalu jauh, tetapi beginilah kenyataan hari ini, sulit kita pungkiri. Semuanya mengklaim diri sebagai thoifah manshuroh. Masing-masing menganggap dirinya yang paling berhak menyandang gelar tho’ifah manshuroh.

Tho’ifah Manshuroh, Apa Istimewanya…?
Tho’ifah manshuroh memang bukan gelar akademis, juga bukan sebuah nobel yang selalu menjadi rebutan para tokoh dunia. Tapi, ia merupakan gelar robbaniy yang Allah peruntukkan untuk siapa saja yang telah memenuhi kriteria yang telah ditentukanm oleh Allah I. Allah menjadikan kelompok ini sebagai Qowamuddin (pilar agama). Mungkin inilah sebab utama kenapa ‘gelar’ ini menjadi rebutan yang diklaim oleh banyak pihak.
Kelompok penyelamat, mungkin inilah sebutan yang paling layak bagi tho’ifah manshuroh. Bagaimana tidak demikian..? Di kala umat Islam terlena dengan dunia, tunduk dibawah tuntutan syahwat, terhina dihadapan musuh-musuh Allah I dan tidak  berdaya menghadapi berbagai tekanan dan intimidasi dari pihak-pihak yang tidak senang terhadap syari’at Islam. Thoifah manshuroh tampil menyelamatkan umat Islam dari segala kehinaan. Harta, jiwa dan raga mereka darma-kan untuk kebangkitan serta kemulian Islam.
Segala benteng kehinaan mereka gempur, semua penjajah yang merongrong kedaulatan Islam dan kehormatan Umat Islam baik dari kafir asli atau dari murtaddin (orang-orang murtad) akan menjadi musuh thoifah manshuroh. Perang merupakan jalan thoifah manshuroh untuk memperjuangkan tegaknya Islam. Rasulullah r bersabda,
 “Ad-Din (Agama Islam) ini akan senantiasa tegak, sekelompok umat Islam berperang membelanya, (dan itu) sampai datangnya kiamat.” (HR. Muslim)
Beginilah Tho’ifah Manshuroh
Agar jelas mana thoifah manshuroh sejati dengan thoifah manshuroh gadungan, rasulullah r dalam banyak hadits telah menjelaskan karakter khós (khas) kelompok pilihan ini. Ciri-ciri ini menjadi barometer bagi setiap orang atau kelompok yang selama ini mengklaim dirinya sebagai thoifah manshuroh atau mereka yang memiliki cita-cita untuk menjadi bagian dari thoifah manshuroh.
Karakteristik dan keistimewaan thoifah manshuroh ini Allah khususkan  bagi mereka, tidak diberikan kepada kelompok selainnya dari kalangan umat Islam. Dengan keistimewaan dan karakter khsusus ini, Allah I mengistimewakan mereka dibanding umat Islam lainnya.
Diantara karakter thoifah manshuroh yang disimpulkan dari hadits-hadits yang berbicara tentang thoifah manshuroh adalah (Diringkas dari; Thoifah Manshuroh, Syaikh Salman Al Audah; Shifat Thoifah Al Manshuroh, Syaikh Abu Bashier; dan Ma’alim Thoifah Manshuroh, Syaikh Abu Qotadah);
a)      Senantiasa melaksanakan syari’at Allah I dan Selalu membela kebenaran
Mereka merupakan kelopompok yang berpegang teguh dengan syari’at Islam. Karena Islam merupakan satu-satunya dien dan ideologi yang haq. Dan seluruh ideologi selain Islam adalah bathil. Mereka tidak bergeming sedikit-pun dalam memegang kebenaran meski harus menghadapi berbagai tantangan.
Tentang sifat ini, lafadz yang digunakan oleh hadits dalam menjelaskannya beragam, tetapi semuanya mengarah kepada satu titik kesimpulan; bahwa thoifah manshuroh senantiasa tegar diatas kebenaran. Diantara lafadz hadits tersebut adalah;

  •  (mereka diatas kebenaran) –HR. Muslim-.

  • (mereka diatas urusan/syari’at Allah) –HR. Muslim-.

  •  (mereka berada diatas addin [islam]) –Abdullah bin Ahmad-.

  •  (menegakkan urusan/syari’at Allah) –HR. Bukhari & Muslim-.
Potongan-potongan hadits diatas menegaskan bahwa keberadaan thoifah manshuroh adalah untuk membela kebenaran dan menegakkan syari’at Allah I. Inilah prioritas hidup mereka, mereka tidak terjebak dalam kesibukan dunia yang begitu menggiurkan. Sebaliknya mereka menjadikan dunia sebagai ajang untuk berjuang meninggikan kalimatullah.
Sebagai konksekwensi logis dari sifat ini,  thoifah manshuroh harus memiliki ilmu yang standar untuk membimbing mereka dalam mengenali kebenaran lalu memperjuangkannya.

b)      Memilih jihad sebagai jalan iqomatuddin
Inilah ciri khas thoifah manshuroh yang membedakannya dengan kelompok umat Islam lainnya. Rasulullah r menjadikan jihad sebagai salah satu standar untuk menimbang seseorang atau kelompok apakah ia layak masuk dalam kategori thoifah manshuroh atau tidak. Rasulullah r bersabda
Artinya, “Akan senantiasa ada sekelempok dari umatku berperang membela perintah/agama Allah I. Mereka akan mengalahkan musuh-musuh mereka. Orang-orang yang menyelisihi mereka tidak akan dapat membahayakan mereka, hingga hari kiamat datang kepada mereka, dan mereka tetap seperti itu.” (HR. Muslim)
c)       Pembaharu umat dalam urusan agama
Salah satu tugas utama thoifah manshuroh adalah mengadakan pembaharuan dalam urusan agama. Jika diperhatikan seluruh rangkaian aktifitas dan ciri khas thoifah manshuroh yang digambarkan oleh rasulullah r dalam hadits-hadits yang banyak semuanya merupakan satu-kesatuan dari satu tugas utama yaitu pembaharuan dalam dien.
Hal ini terbukti dari sifat mereka yang senantiasa “membela kebenaran/Islam”. Salah satu hadits-hadits tersebut adalah yang diriwayatkan dari sahabat Tsauban t, haditsnya sangat panjang, bunyi potongan akhirnya adalah:
“…Hanya saja yang aku takutkan atas umatku adalah munculnya para penguasa yang sesat. Dan jika peperangan telah terjadi dikalangan umatku maka sulit dihentikan hingga hari kiamat. Dan kiamat tidak akan terjadi hingga beberapa kabilah bergabung dengan kaum musyrikin. Dan hingga munculnya beberapa kabilah dari umatku yang menyembah berhala. Akan muncul dari umatku tiga puluh pendusta, semuanya mengklain dirinya sebagai Nabi. Aku-lah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku. Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tampil membela kebenaran…” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini menggambarkan kerusakan umat ini pada detik-detik menjelang kiamat. Tetapi walau demikian umat ini tidak serta merta hancur, karena senatiasa ada sekelompok darinya yang selalu memperjuangkan dan memperbaharui ajaran Islam yang mulai ditinggalkan oleh kaumnya.
Dalam hadits lain rasulullah r bersabda,

Sesungguhnya Allah akan membangkitkan dari untuk umat ini pada setiap permulaan abad, seseorang yang memperbaharui untuk mereka agama mereka.” (Abu Dawud & Thobrony)
Syaikh Salman hafidzohullah berkata, “Lafadz”siapa” dalam hadits diatas tidak mesti diartikan seseorang, tapi juga bisa dimaknai sekelompok atau jama’ah. Jika memang pembaru itu seorang saja, pasti ia bagian dari thoifah manshuroh. Jika ia sebuah kelompok pastilah ia adalah thoifah manshuroh.”
 Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Seorang pembaru yang muncul pada ujung setiap permulaan abad tidak mesti hanya seorang saja. Tetapi bisa saja terjadi pada thoifah manshuroh, karena sifat yang diperlukan untuk tajdid (pembaharuan) banyak, dan tidak mesti terkumpul hanya dalam diri seseorang (tapi bisa jadi dari sebuah kelompok_pent)”

d)      Selalu unggul sampai hari kiamat
Banyak hadits yang mensifati mereka dengan sifat ini, diantaranya;
“Senantiasa ada dari umatku  kelompok yang berperang membela kebenaran. Mereka akan senantiasa unggul (menang) diatas musuh-musuh mereka. Sampai kelompok terakhir dari mereka memerangi Dajjal.” (HR.Abu Dawud)
Dalam riwayat lain, rasulullah r mensifati mereka;

  • (senantiasa ada sekelompok umatku yang selalu ditolong (oleh Allah I) –HR. Tirmidzi-

  • (mereka unggul/menang membela kebenaran) –HR. Ad Darimi-
Syaikh Salman hafidzohullah menjelaskan, kata (menang) memiliki banyak makna, tetapi yang mashur tiga makna;
Pertama: Jelas, terang dan tidah tersembunyi. Artinya mereka senantiasa tampil membela kebenaran, memiliki manhaj (konsep) dan strategi perjuangan yang jelas, tidak samar nan mengambang.
Kedua: Kokoh dalam kebenaran dan istiqamah melaksanakan perintah Allah I serta konsis memerangi musuh-musuh Islam.
Ketiga: Kemenangan. Pendapat inilah yang dipilih dan dirajihkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar. Banyak nash yang memastikan makna (menang?) dalam hadits-hadit tho’ifah manshuroh adalah ‘kemenangan’. Diantaranya firman Allah I
“Maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (Qs. Shoff:14)
Demikianlah thoifah manshuroh, ia adalah kelompok yang senantiasa tegar, kokoh dan berani menegakkan kebenaran Islam. Kuatnya keyakinan, bermental pejuang dan tahan atas bujukan nafsu telah menyatu dalam diri tiap personal tho’ifah manshuroh, sehingga sangat wajar jika mereka selalu unggul di atas musuh-musuhnya.* (Msd)

Fenomena Mendadak Shalih

Dalam menghadapi dan menjalani momen tertentu, manusia cenderung tampil tidak seperti biasanya. Pada momen ujian, para siswa dan mahasiswa meningkatkan frekuensi belajarnya, bahkan sampai memporsir tenaga. Materi satu buku tebal bisa saja dilahap hanya semalam. Padahal pada hari-hari biasa, belum tentu mereka sanggup melakukannya. Datang ke tempat ujian pun bisa lebih pagi.
Pada bulan suci Ramadhan, secara serempak masyarakat umum tampil lebih shalih. Masjid tampak lebih ramai dan semarak. Shalat Terawih dihadiri banyak jamaah berbagai usia, terutama pada beberapa hari pertama. Zakat, infaq, dan sedekah digalakkan dengan munculnya panitia amil zakat dadakan. Anak-anak sekolahan pun dituntut menunaikan zakatnya di sekolah masing-masing. Tidak mau kalah, stasiun-stasiun tv juga mendesain program mereka menjadi lebih religius. Program yang sudah ada dipermak dengan sedikit bumbu Ramadhan, ditambah lagi dengan beberapa sajian program baru.  
Fenomena pertama adalah lumrah. Para pembelajar atau kompetitor juga dituntut mempersiapkan diri lebih keras. Tujuannnya agar nilai tidak jeblok atau hasil pertandingan tidak mengecewakan. Adapun fenomena kedua juga umum terjadi. Memang benar bahwa setiap momen menuntut perubahan dan perbaikan. Namun yang menjadi masalah, bila momen itu berlalu, timbul kecenderungan kembali kepada kebiasaan awal yang nonproduktif. Contohnya kembali malas belajar atau tidak shalih lagi.
Inilah yang penulis sebut sebagai fenomena mendadak shalih. Khususnya kaum Muslimin, tatkala momen tertentu tiba, mereka mendadak shalih. Sebagian menyebutnya mendadak alim. Saat momen Maulid Nabi SAW atau hijrah beliau, anjuran meneladani kepribadian Nabi yang shalih didengung-dengungkan. Anjuran merefleksikan hijrah dalam kehidupan sehari-hari dibahas. Tetapi setelah itu seolah lenyap seiring bergantinya momen. Terlihat semua itu hanya bersifat insidental dan temporer saja.
Untuk kasus Ramadhan, bulan suci ini seolah merubah mainset kaum Muslimin. Mereka tidak mau menutup mata bahwa Ramadhan menuntut perubahan. Perubahan menjadi lebih shalih dari biasanya, walaupun sifatnya dadakan. Sebenarnya inilah contoh paradigma berpikir yang perlu diluruskan. Ramadhan seharusnya menjadi start perubahan menuju shalih yang konsisten pada bulan-bulan berikutnya. Ramadhan sesuai artinya, panas nan membakar, sepantasnya membakar semangat beramal shalih tiada henti.
Di dalam Islam, keistiqamahan sangat ditekankan. Rasul SAW pernah ditanya oleh Sufyan bin Abdullah Atssaqofy ra. tentang perkara yang agung di dalam Islam. Beliau menjawab, ”katakan, aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim). Keistiqamahan adalah kontra inkonsistensi atau sikap setengah-tengah. Istiqamah yang dimaksud adalah keimanan yang berbuah amal shalih berkesinambungan dan terus menerus.
Menurut Ibnu Rajab Al-Hanbali istiqamah adalah menempuh jalan yang lurus, agama yang benar, tanpa berpaling ke kanan dan ke kiri. Istiqamah mencakup semua ketaaatan, yang zhahir maupun batin. Istiqamah mencakup semua larangan, sehingga pesan ini (hadits di atas) mencakup semua kebaikan.       
Mendadak shalih itu terbagi dua, tercela dan terpuji. Islam sangat menolak mendadak shalih tercela sebab yang diharapkan adalah mendadak shalih terpuji yang berlanjut. Umumnya mendadak shalih pertama itu muncul secara spontan tanpa beberapa tahapan. Itulah sebabnya mengapa Rasul SAW mencegah beberapa perilaku beberapa sahabatnya yang berniat selalu berpuasa, tidak tidur, dan tidak menikah. Menurut asumsi mereka, demikianlah caranya mengikuti Rasul SAW. Mereka telah keliru sehingga ditegur oleh Rasul SAW. Sebab mendadak shalih yang memberatkan dikhawatirkan melahirkan sifat jemu beribadah.
Mengingat kita sudah berada di penghujung Ramadhan, ada beberapa kiat guna mempertahankan mendadak shalih. Pertama, perbaiki niat. ”Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niatnya, dan seseorang itu akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (Muttafaq Alaih). Bila sejak awal momen Ramadhan diniatkan untuk berubah menjadi shalih, insya Allah keshalihan itu akan langgeng. Sebaliknya bila niatnya cuma euforia sesaat, tentu tidak akan bertahan lama.
Kedua, perubahan bertahap atau tadarruj. Allah SWT tidak menuntut perubahan drastis dan ektrim dalam diri kita. Perubahan yang bertahaplah yang diharapkan. Itulah sebabnya mengapa Rasul SAW sebelum memasuki Ramadhan melakukan pemanasan terlebih dahulu. Beliau banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Tilawah Al-Qur’an sebelum Ramadhan diintensifkan agar nanti terbiasa. Bagi yang tidak biasa berjamaah di masjid, sebaiknya membiasakannya terlebih dahulu sebelum Ramadhan tiba. Begitulah siklus kehidupan di mana tidak ia tidak mengenal sistem langsung jadi melainkan berproses terlebih dahulu.
Ketiga, memperhatikan kontinuitas. Dalam kajian Fiqh Prioritas ada istilah awlawiyyat al-a’mal ad-da’im alal a’mal al-munqhati’ (prioritas amal yang kontinu atas amal yang terputus). Maksudnya amal yang dikerjakan secara berkelanjutan walaupun tidak banyak tetap lebih utama dibandingkan amalan banyak tapi sesaat. Ini sesuai dengan hadits, ”Amalan yang dicintai Allah adalah amalan yang sedikit (berproses) yang bertahan lama.” (Muttafaq Alaih). Mendadak shalih tidak harus memporsir energi, tetapi keshalihan itu harus dibangun semampunya tanpa memberatkan.
Keempat, bertanggung jawab. Kita perlu mempertanggungjawabkan keshalihan itu dengan mempertahankannya. Misalnya pada musim kampanye, para caleg dan parpol berebut simpati masyarakat dengan menampilkan wajah agamis. Pengajian digelar. Santunan dan bantuan dimaksimalkan. Jangan sampai keshalihan itu dipolitisir dengan motivasi kursi. Akhirnya saat bencana terjadi namun momen kampanye berlalu, mereka lantas sepi beramal. Inilah bentuk mendadak shalih yang tidak bertanggung jawab.
Kelima, muhasabah. Langkah ini sangat penting karena di sini mendadak shalih itu dinilai sejauh mana niat, proses, kontinuitas, dan tanggung jawabnya. Bila ternyata melenceng, maka perlu diluruskan. Bila sudah baik, perlu ditingkatkan. Wallohu A’lam    

Berikut adalah perenungan atas fenomena klasik yang kerap terjadi di
tengah-tengah kita. Semoga bermanfaat  bagi pembaca. Terimakasih

Habib Ziadi,
Salam ukhuwah buat Ikhwan alumnus Isy Karima Jateng Dan An-Nu'aimy Jakarta

[muslimdaily.net]