Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

19.2.10

Status Pegawai Negeri Pemerintahan Thaghut

Ikhwani fillah, materi kali ini adalah tentang status orang-orang atau dinas-dinas yang ada di pemerintahan thaghut ini. Apakah pekerjaan yang ada di semua dinas-dinas thaghut ini pekerjaan-pekerjaanya adalah kekafiran, ataukah ada rincian…?
Dalam masalah ini, ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya merupakan kekufuran, ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya dosa besar, dan ada pula pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya tidak masuk ke dalam dua kategori ini. Kita akan merincinya dan menyebutkan contoh-contohnya.
I. Pekerjaan Yang Bersifat Kekafiran
Di antara pekerjaan atau dinas yang merupakan kekufuran adalah dinas yang mengandung salah salah satu di antara hal-hal berikut ini:
1. Dinas yang mengandung pembuatan hukum.
Orang yang membuat hukum atau dia bagian dari lembaga yang membuat hukum, maka pekerjaannya dan orang-orang yang tergabung di dalamnya adalah orang-orang kafir. Seperti orang-orang yang ada di lembaga legislatif dari kalangan anggota-anggota parlemen, karena di antara tugas parlemen itu adalah membuat hukum, maka pekerjaan ini adalah merupakan pekerjaan kekufuran dan orangnya adalah orang kafir. Adapun dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.” (An Nisa: 60)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan bahwa orang yang membuat hukum yang dirujuk selain Allah disebut thaghut, orang yang merujuk kepada selain hukum Allah disebutkan dalam ayat itu bahwa imannya bohong dan hanya klaim, dan yang dirujuk tersebut, yaitu si pembuat hukum ini yang Allah katakan sebagai thaghut –maka seperti yang telah kita ketahui- adalah lebih kafir daripada orang kafir ‘biasa’.
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat yang lain:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (At Taubah: 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah menjadi musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka?. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Jadi bentuk peribadatan di sini adalah ketika alim ulama itu membuat hukum di samping hukum Allah, kemudian hukum tersebut diikuti dan ditaati oleh para pengikutnya, maka si alim ulama atau pendeta tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala cap mereka sebagai Arbab atau sebagai orang yang memposisikan dirinya sebagai tuhan selain Allah, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagi pembuat hukum atau sebagai tuhan selain Allah, maka dia itu adalah orang kafir. Maka berarti pekerjaan ini adalah pekerjaan kekafiran.
Dan dalil yang lain adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Apakan mereka memiliki sekutu-sekutu yang menetapkan bagi mereka dari dien (hukum/ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan”. (Asy Syuura: 21)
Dalam ayat ini Allah mencap para pembuat hukum selain Allah sebagai syuraka (sekutu-sekutu) yang diangkat oleh para pendukungnya sebagai sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah adalah orang kafir.
Ini adalah pekerjaan pertama yang merupakan kekafiran; yaitu orang yang pekerjaannya adalah membuat hukum atau menggulirkan atau menggodok undang-undang, seperti para anggota dewan perwakilan dan yang serupa dengannya atau apapun namanya.
2. Pekerjaan yang tugasnya bersifat pemutusan dengan selain hukum Allah.
Orang yang pekerjaannya adalah memvonis dan menuntut dengan selain hukum Allah, seperti para jaksa dan hakim. Mereka menuntut dan memutuskan di persidangan, si jaksa yang menuntut dan si hakim yang memutuskan, sedangkan kedua-duanya adalah memutuskan dengan selain hukum Allah.
Pekerjaan semacam ini, pemutusan dengan selain hukum Allah ini merupakan pekerjaan kekafiran dan orangnya telah Allah cap secara tegas dan jelas sebagai orang kafir, zhalim, dan fasiq dalam satu surat:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Al Maidah: 44)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (Al Maidah: 45)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (Al Maidah: 47)
Sedangkan kita mengetahui bahwa para hakim dan para jaksa ketika memutuskan atau ketika menuntut mereka memutuskan dan menuntutnya dengan selain hukum Allah, yaitu dengan hukum jahiliyyah (hukum thaghut), maka pekerjaannya adalah pekerjaan kekafiran.
3. Pekerjaan yang bersifat nushrah (pembelaan/perlindungan) bagi sistem thaghut
Ini adalah sebagaimana yang sudah dijabarkan dalan materi Anshar Thaghut, seperti; tentara, polisi, atau badan-badan intelejen. Maka dzat dari pekerjaan ini adalah kekafiran karena mereka memberikan nushrah terhadap thaghutnya dan terhadap sistemnya itu sendiri, maka berarti ini pekerjaan kekafiran dan orangnya adalah sebagai orang kafir, sebagaimana yang Allah katakan dalam firman-Nya:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu” (An Nisa: 76)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencap mereka sebagai orang kafir karena mereka berperang di jalan thaghut. Dan dalam surat yang lain Allah mengatakan:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan ukhuwah kufriyyah antara orang munafiq dengan orang-orang Yahudi, padahal kita tahu bahwa orang munafiq dihukumi secara dunia sebagai orang muslim, akan tetapi ketika dia menampakkan kekafiran dengan cara membantu orang-orang Yahudi, maka Dia memvonis kafir mereka.
Orang munafiq dalam ayat ini dihukumi kafir karena berjanji akan membantu orang Yahudi dalam memerangi Rasulullah, padahal janji mereka di hadapan orang Yahudi itu bohong, akan tetapi Allah memvonis mereka sebagai orang kafir karena menjanjikan akan melakukan kekafiran, yaitu membela orang Yahudi dalam memerangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga orang yang berjanji untuk melakukan kekafiran tapi janjinya bohong, maka tetap dia itu sebagai orang kafir.
Ini adalah dalil, bahwa membantu orang kafir di atas kekafiran adalah merupakan kekafiran dan orangnya adalah orang kafir. Oleh karena itu dinas yang bersifat pembelaan dan perlindungan bagi sistem thaghut merupakan dinas kekafiran dan pekerjaannya itu adalah pekerjaan yang membuat kafir pelakunya.
4. Setiap pekerjaan yang bersifat tawalliy kepada hukum thaghut.
Orang yang dzat pekerjaannya tawalliy (mencurahkan loyalitas) kepada sistem thaghut, yaitu melaksanakan hukum-hukum thaghut secara langsung, seperti aparat thaghut yang bekerja di departemen kehakiman, dinas mereka langsung tawalliy kepada hukum thaghut. Dinas seperti ini adalah dinas kekafiran.
Dan dinas yang seperti ini juga adalah kejaksaan. Atau orang bekerja di sekretariat gedung DPR/MPR, dimana dia yang mengatur program-program atau berbagai acara rapat atau sidang mejelis thaghut ini. Dia tawalliy penuh kepada sistem ini karena kegiatan-kegiatan angota DPR/MPR tidak akan terlaksana tanpa ada pengaturan dari mereka. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka”. (Muhammad: 25-26).
Orang yang mengatakan kepada orang kafir atau thaghut “kami akan mentaati kalian dalam sebagian urusan kekafiran” telah Allah vonis kafir, sedangkan orang-orang yang tawalliy tadi, ternyata mereka justeru mengikuti sepenuhnya kekafiran ini, mengikuti thaghut sepenuhnya dalam melaksanakan hukum-hukum kekafiran (hukum thaghut).
5. Orang yang bersumpah untuk loyal kepada thaghut (sistem/hukum/undang-undang)
Setiap orang yang bersumpah untuk loyal kepada undang-undang, apapun dinasnya, walaupun dia bekerja di dinas pendidikan umpamanya, atau dinas pertanian, atau dinas perhutanan, akan tetapi jika dia bersumpah untuk loyal kepada undang-undang atau kepada sistem thaghut, maka apapun bentuk pekerjaannya jika dia melakukan sumpah, maka dia kafir dengan sebab sumpahnya, bukan dengan sebab pekerjaannya.
Ini berbeda dengan dengan jenis pekerjaan yang sebelumnya, di mana yang menyebabkan kekafiran adalah dzat pekerjaannya, seperti anggota MPR/DPR, baik dia disumpah ataupun tidak maka dia tetap kafir, begitu juga hakim, jaksa, tentara, polisi, baik mereka bersumpah ataupun tidak, maka mereka tetap orang kafir.
Sedangkan di sini, orang menjadi kafir bukan dengan sebab dari sisi pekerjaannya, tapi dari sisi sumpahnya, apapun bentuk dinasnya selama ada sumpah untuk loyal kepada hukum thaghut maka dia kafir. Jika saja Allah memvonis murtad orang yang menyatakan akan taat, setia dan akan mengikuti hanya dalam sebagian kekafiran, maka apa gerangan dengan orang yang menyatakan dalam sumpahnya; kami akan setia dan taat sepenuhnya kepada Undang Undang Dasar atau Pancasila atau kepada Negara Kafir Republik Indonesia?? ini lebih kafir daripada orang yang Allah vonis murtad dalam surat Muhammad tadi. Jika saja mengikuti sebagiannya saja Allah vonis murtad, maka apa gerangan dengan orang yang mengatakan akan setia dan mengikuti sepenuhnya…?!!
Ini adalah di antara pekerjaan-pekerjaan atau dinas-dinas yang Allah vonis kafir pelakunya, dan pekerjaan ini merupakan pekerjaan kekafiran di dinas thaghut tadi.
II. Pekerjaan Yang Bersifat Keharaman
Jika pekerjaan selainnya yang tidak ada kelima unsur tadi; tidak ada pembuatan hukum, tidak ada pemutusan dengan selain hukum Allah, tidak ada pembelaan atau tidak ada tawalliy, tidak ada janji setia kepada hukum thaghut, maka dinas-dinas yang tidak ada kelima unsur tadi harus dilihat apakah dinas tersebut dinas kezhaliman yang merupakan keharaman ataukah bukan (dinas yang mubah).
Apabila dinas tersebut adalah dinas keharaman lalu tidak ada lima hal tadi, seperti di perpajakan atau bea cukai atau keimigrasian yang merupakan kezhaliman, atau di bank-bank riba, maka ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang haram. Ini bukan pekerjaan kekafiran kecuali kalau ada sumpah.
Orang yang bekerja sebagai PNS di bea cukai, dzat pekerjaannya adalah haram karena kezhaliman, dan jika ada sumpah maka dia kafir dari sisi sumpahnya, jika tidak ada sumpah, maka pekerjaannya itu adalah pekerjaannya saja yang haram.
III. Pekerjaan Yang Mubah
Seandainya tidak ada kelima hal tadi, terus pekerjaannya juga bukan pekerjaan yang haram, maka itu adalah pekerjaan yang mubah (yang boleh-boleh saja) seperti di dinas kesehatan, di pertanian, di kelautan, atau dinas-dinas yang bukan merupakan kekufuran dan bukan merupakan keharaman.
Para ulama mengatakan bahwa jika dinas tersebut milik thaghut maka minimal hukumnya makruh, tidak dikatakan mubah karena minimal dia dekat dengan thaghut. Hukumnya makruh tapi dengan syarat dia tetap menampakkan keyakinannya. Dalil dalam hal itu adalah hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Shahih-nya pada Kitab Al Ijarah bab “Apakah seseorang boleh mengupahkan dirinya bekerja pada orang musyrik di negeri harbiy”: Dari Khabab radliyallahu ‘anhu, berkata: “Saya adalah pandai besi, kemudian saya bekerja untuk Al ‘Ash Ibnu Wail, sehingga terkumpul hak upah saya di sisinya, kemudian saya mendatanginya untuk meminta upah itu darinya”, maka ia (Al ‘Ash ibnu Wail) berkata: “Tidak, demi Allah. Saya tidak akan membayar upahmu sampai kamu kafir kepada Muhammad!”, maka saya berkata: “Demi Allah, tidak akan saya lakukan sampai kamu mati kemudian dibangkitkan sekalipun”, ia berkata: “Apa saya akan mati kemudian dibangkitkan ?”, saya berkata: “Ya!”, dan ia berkata: “Ya, berarti di sana saya akan memiliki harta dan anak, kamudian saya akan membayar upahmu”.
Di sini Khabab menampakkan keyakinannya. Jadi dalam dinas-dinas seperti kesehatan dan yang lainnya yang sifatnya mubah-mubah saja dengan syarat tetap menampakkan keyakinan di tengah mereka, karena jika tidak menampakkan, maka ia berdosa karena dia meninggalkan hal yang wajib yaitu izhharuddin hanya karena mencari pekerjaan yang bersifat dunia ini. Akan tetapi jika seandainya dinas-dinas yang mubah ini di dalamnya ada sumpahnya, maka dia kafir karena sebab sumpahnya bukan karena dzat pekerjaannya.
Dan yang harus dikertahui juga adalah jika dia bekerja di dinas-dinas yang mubah tadi lalu dia sebelumnya bersumpah, maka dia kafir karena sumpahnya, karena secara hukum thaghut ketika diangkat menjadi PNS, maka dia diambil sumpahnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku di dinas kepegawaian yaitu bahwa semua PNS di Indonesia ini harus bersumpah ikrar setia[1].
Berdasarkan hukum thaghut, PNS harus disumpah, akan tetapi antara disumpah atau tidak dalam praktiknya, maka itu urusan dia dengan dengan Allah, jika kita tidak tahu apakah dia itu mengikrarkan sumpah atau tidak, maka dia tidak bisa dikafirkan, karena dzat pekerjaannya bukan pekerjaan kekufuran, kecuali bila kita mendengar saksi dari dua orang laki-laki muslim yang adil atau pengakuan dari dia langsung, maka kita nasihati agar dia berlepas diri dari sumpahnya. Ini berbeda dengan tentara atau polisi atau aparat lainnya dimana kita bisa langsung mengkafirkan mereka, juga seperti anggota MPR/DPR karena dzat pekerjaannya merupakan kekafiran, kita tidak bisa menghukuminya sebagai orang muslim sampai dia keluar dari pekerjannya dan melepaskan segala atribut pekerjaannya.
Jika orang bekerja di dinas-dinas keharaman atau yang mubah tadi, lalu dia pernah bersumpah dan setelah kita nasihati, lalu dia menyatakan keberlepasan diri dari sumpahnya, dia bertaubat dari sumpah kekufurannya, dia ikrarkan dua kalimah syahadat, maka dia dihukumi sebagai orang muslim, walaupun dia tidak keluar daripada kedinasannya, karena kekafirannya disebabkan oleh sumpahnya, bukan karena dinasnya.
Jadi, di sini dibedakan antara kekafiran yang disebabkan oleh dzat pekerjaannya dengan kekafiran yang diakibatkan oleh sumpah untuk setia dan loyal kepada thaghut.
Dalam realita masyarakat banyak terdapat PNS, tetapi kita tidak mengetahui secara individu dari mereka apakah si fulan ini sumpah ataukah tidak, maka kita tidak bisa mengkafirkannya meskipun pada hakikat sebenarnya dia itu telah bersumpah, karena yang mengetahui dia mengaikrarkan sumpah atau tidak hanyalah Allah, sedangkan kita tidak tahu. Bila kita melihat dzat pekerjaannya bukan kekufuran, maka dia tidak boleh dikafirkan, karena kita menghukumi secara zhahir sedangkan urusan bathin maka itu urusan Allah.
Kemudian, bagi orang yang telah bekerja di dinas kekafiran akan tetapi dia sudah pensiun atau sudah berhenti dari pekerjaannya, baik berhentinya karena dipecat atau karena mengundurkan diri atau karena selesai masa jabatannya, maka bagi orang-orang semacam ini; maka selama dia menampakkan keislaman, lalu tidak muncul dari sikap atau dari ucapan dia hal-hal yang menunjukan bahwa dia itu masih menginginkan perbuatannya itu atau masih membanggakannya atau membolehkannya atau menganjurkan agar orang masuk ke dalamnya, maka orang seperti itu kita hukumi secara dunia dia itu muslim, sedangkan masalah bathinnya itu urusan dia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Demikianlah bagaimana menyikapi orang-orang semacam itu, karena ketika kita mengkafirkan orang-orang yang bekerja di dinas-dinas kekafiran adalah karena pekerjaannya, jika dia sudah berhenti dan meninggalkan pekerjaannya apapun faktor yang membuat dia berhenti, maka apabila tidak muncul dari ucapannya atau perbuatannya hal-hal yang menunjukan bahwa dia masih menginginkannya atau membanggakannya dan dia menampakkan keislaman, maka dia dihukumi muslim kembali secara hukum dunia, adapun masalah bathinnya maka perhitungannya itu di sisi Allah. Ini sebagaimana dalam hadits dari Imam Muslim yang diriwayatkan dari Abu Malik Al Asyja’iy: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah Ta’ala”, karena kadar minimal adalah meninggalkannya.
Ini adalah materi tentang status pekerjaan-pekerjaan yang ada di dinas-dinas pemerintahan thaghut ini. Yang mana di antaranya ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya merupakan kekufuran, dan ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya dosa besar, dan ada pekerjaan yang sifatnya tidak masuk ke dalam dua kategori ini atau pekerjaan ini bersifat mubah.
Dan terakhir, ketika para shahabat memperlakukan keluarga atau anak isteri anshar tahghut, seperti kelompok Musailamah Al Kadzdzab adalah sebagai orang kafir. Mungkin ada pertanyaan kenapa kita sekarang tidak memperlakukan anak isteri anshar thaghut ini sebagai orang kafir…?. Ini karena bahwa anak isteri anshar thaghut bisa dikatakan kafir bila dalam konteks muwajahah (konfrontasi) antara kelompok Islam dengan kelompok kafir, itu juga dengan dua syarat: Pertama, kaum muslimin memiliki kekuatan dan mendominasi penuh terhadap orang kafir tersebut. Ke dua: ada kemungkinan untuk bergabung kepada kelompok Islam tersebut.
Dikarenakan pada waktu itu kekuatan kaum muslimin sangat mendominasi, maka seandainya mereka (keluarga anshar thaghut) mau membelot, mereka bisa bergabung dengan kaum muslimin, dan ketika mereka tidak melakukannya di mana waktu itu dalam konteks sedang muwajahah, maka mereka dihukumi kafir murtad. Sebagaimana Rasulullah sebelumnya saat Futuh Mekkah, maka orang yang ada di kota Mekkah semuanya diperlakukan sebagai orang kafir. Saat itu kekuatan kaum muslimin berada di atas kekuatan orang kafir, dan orang yang mengaku muslim yang ada di tengah mereka bisa bergabung dengan kaum muslimin jika mau. Dan ketika tidak bergabung maka dihukumi kafir oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Berbeda halnya jika dua syarat ini atau salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi seperti saat sekarang ini di mana kaum muslimin tidak memiliki kekuatan dan tidak memiliki dominasi, maka dari itu kita tidak mengkafirkan anak isteri anshar tahghut, dan ini seperti isteri Fir’aun, dimana Allah mengatakan tentangnya dalam surat At Tahrim bahwa isteri Fir’aun adalah seorang mu’minah. Kenapa mu’minah? Kenapa tidak dihukumi seperti isteri Musailamah umpamanya ? Karena kaum muslimin pada saat itu (yang dipimpin Nabi Musa) tidak memiliki dar (wilayah) dan tidak mendominasi kekuatannya sehingga ia tidak bisa membelot atau bergabung dengan kaum Nabi Musa.
Jadi jika dua syarat ini tidak terpenuhi, maka kita memperlakukan orang yang menampakkan keislaman di tengah orang-orang kafir sebagai orang muslim. Orang muslim dimana saja adalah orang muslim, baik itu di darul harbiy ataupun di darul Islam.
Alhamdulillaahirrabbil’aalamiin…

[1] Seperti yang ada pada Sumpah Pegawai Negeri Sipil RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1975 pasal 6 yang berbunyi:
Demi Allah, Saya Bersumpah:
Bahwa saya untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;
Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
Bahwa saya akan senantiasa menjungjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu menurut sifatnya atau menurut perintah saya haruus merahasiakan;
Bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara

Rate This
Quantcast

Filed under: AQIDAH, FATWA, FIRQAH, MANHAJ, MURJI'AH, SALAFY, SYUBHAT, TAUHID , , , , , , ,

12 Responses

  1. Anonymous says:
    af1, ana menangkap adanya kekurangtegasan atas lembaga-lembaga/departemen-departemen/dinas-dinas di bawah pemerintahan thaghut, khususnya dengan masih dibedakannya -misalnya- pekerjaan di bidang pemerintahan thaghut di bidang kesehatan, pertanian, kelautan: bukankah mereka juga dibentuk dan bekerja berdasarkan hukum atau undang-undang yang dibuat oleh rezim thaghut itu? tidakkah itu berarti ta’awun ‘ala-l-itsmi wa-l-udwan? bagaimana pula kalau rezim thaghut itu membayar pegawai-pegawainya dengan uang negara yang bercampur antara halal (bila ada), haram, atau syubhat (misal didapat oleh negara dari mengenakan cukai atas khamr, & itu bercampur dengan pendapatan negara ybs dari sumber-sumber yang lainnya, dan dalam hal penggajian, bukankah pendapatan-pendapatan itu bercampur). mohon penegasan atas hal ini. jazak4JJI khairan katsira.
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  2. Abu Musa says:
    Tulisan diatas dimaksudkan untuk merinci STATUS PEGAWAI PEMERINTAH THAGHUT (baca PNS) yang disimpulkan oleh penulis kedalam 3 status yaitu:
    1. Bersifat Kekafiran
    2. Bersifat Keharaman
    3. Bersifat Mubah
    Adapun permasalahan yang antum sampaikan, sepertinya semuanya bersifat bukan kekufuran.
    Memang semua dinas dan departemen itu dibuat dan dibentuk berdasarkan hukum dan undang-undang taghut, namun kita harus membedakan antara pembuat/pembentuk/pembangun yang kafir dengan perbuatannya itu dengan pegawai yang bekerja di dalamnya yang statusnya sebagaimana rincian di atas.
    Begitupula dengan sumber uang yang digunakkan oleh thaghut untuk menggaji para PNS tidak akan berpengaruh dengan status PNS, konsekuensi dosa dan kekufuran ada pada pemberi gaji jika dana yang diperoleh untuk menggaji berasal dari yang haram atau bahkan kekufuran, pegawai hanya dilihat dari bentuk pekerjaan dan apa yang dikerjakan.
    Contohnya jika seorang muslim bekerja kepada orang kafir sebagai penjaga toko atau pekerjaan lainnya yang halal dan dia mendapat upah dari majikannya atas pekerjaannya, tentunya status orang muslim tersebut tidak bisa dikaitkan dengan sumber dana yang dipakai majikannya untuk membayar upahnya, karena bisa jadi si majikan menggunakkan dana yang haram untuk membayar upah pegawainnya.
    Penulis berniat dengan tulisannya untuk memberikan gambaran status PNS dan menghati-hatikan kaum muslimin agar tidak terjerumus ke dalam kekafiran.
    Untuk selanjutnya mohon antum gunakan identitas jelas untuk kirim komentar, afwan kalo masih anonymous komentar akan dihapus.
    Wallahu A’lam
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  3. Muksi Shubhana says:
    Assalamualaikum…
    Afwan ana mau tanya…
    Apakah antum setuju dengan apa yang dilakukan oleh Imam Samudra dkk atas kasus Bom Bali-nya?
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  4. abu raghdah says:
    Assalamu’alaikum wr wb
    Saat ini banyak kelompok2 yang mengaku salafy menyatakan bahwa pemerintah yang tidak bersyariat islam tetap di anggap sebagai pemerintahan islam yang tidak boleh di lawan atau memberontak selama pemimpinnya masih sholat dan bolehnya azan serta hukum2 lain yang tidak berkaitan dengan hukum syariah hudud.
    Saya usul agar di buat tentang makalah Ilyasiq serta bangsa tartar yang notabene mereka adalah muslim, sholat dll, namum tetap di kafirkan oleh ulama salaf Ibnu taimiyah.
    Bisa gak ditulis tentang sejarah / latar belakang kenapa ilyasiq di buat, serta pelaku2 sejarah baik dari kalangan ulamanya, umaro, serta siapa thogut2 tartarnya.
    Jazaakumullah atas perhatiannya…
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  5. Abu Musa says:
    @ Muksi Shubhana
    Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,Insya Allah apa yang mereka perbuat adalah bagian dari jihad dan termasuk amal shaleh…Tapi secara pribadi ana tidak setuju dengan cara seperti itu…Untuk lebih jelasnya silakan antum buka postingan ana Antara Qital Nikayah Dan Qital Tamkin
    Wallahu A’lam
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  6. Abdul Aziz says:
    ada kontadiktif dari pendapat antum ttg cara imam samudra, antara setuju dan tidak setuju,,,, gak tegas, bukankah amal itu dikatakan sebagai amal sholeh, jika memenuhi 3 hal
    1. benar niat
    2. benar cara
    3. benar tujuan
    jika salah satu tidak dipenuhi maka akankah diterima amal?…
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  7. Abu Musa says:
    Yang ana maksud dengan “tidak setuju dengan CARA seperti itu…” adalah penentuan target dan lokasi amaliah tersebut (target acak) tidak fokus terhadap musuh yang lebih layak untuk diserang (diantaranya para anshar thaghut dan markas-markas mereka)
    Selain itu amaliah seperti itu termasuk amaliah jihad nikayah (balasan) yang mengharuskan melakukan banyak pertimbangan terutam maslahat dan mafsadat bagi ummat dan dakwah
    Silakan antum buka tulisan di link berikut Antara Qital Nikayah & Qital Tamkin di link yang sudah ana sebutkan di atas.
    Insya Allah amaliah mereka termasuk amaliah JIHAD yang sudah tentu merupakan amal shaleh yang akan diterima oleh Allah swt jika memenuhi 3 syarat yaitu:
    1. Beriman (Tauhid)
    2. Ikhlas
    3. Mutaba’ah
    Wallahu A’lam
    Barakallahu Fik
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  8. alias1700 says:
    Jika itu aturannya, maka dinas kesehatan dan semua dokter di Indonesia ini adalah kafir [menurut kaidah yang antum buat]. Kenapa? Karena setiap dokter itu disumpah untuk [di antaranya] taat kepada Pancasila dan UUD ‘45. Bahkan pada HAM.
    Juga kafir para pegawai yang pernah lulus sarjana. Karena Ijazah itu adalah ijazah dari Thagut dan sebagai legalitas bahwa Si Pemilik Ijazah adalah Seorang yang Taat Terhadap Pancasila dan UUD ‘45. [Orang yg menolaknya tidak akan mungkin bisa lulus, coba saja!]
    Jadi semuanya kafir [kalau menuruti kaidah anda]. Dan hati-hatilah berobat ke dokter/RS. Bisa-bisa itu haram…
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  9. abu syamil says:
    Menarik! kang admin, gmn tanggapannya???kok diam aja….sampaikanlah kebenaran itu……
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  10. ovan says:
    ndak tau akh! abis belum paham sih!
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  11. hamood says:
    @alias1700 : bukankah sudah dijelaskan bhwa pkrjaan yg mubah itu pelakunya tdk boleh di ta’yin kalo kita tidak melihat dia mengucapkan sumpah atau dia mengaku bersumpah atau ada 2 sksi yg melihat atau masyhur. dan tidak ada larangan kok muamalah dgn dokter kfir selama dlm proses muamalahnya tidak ada hal2 yg brtntangan dgn syariat.
    0
    0
    Rate This
    Quantcast
  12. Sikuk says:
    Uang negara yg didapat dari pajak,cukai dll untuk bangun PLN, subsidi listrik, pembangunan jalan, belum lagi subsidi BBM, subsidi Pendidikan, subsidi pertanian dll, jadi selama Anda Hidup di Indonesia, Anda secara gak langsung menikmati Uang negara dan jasa2 pegawai pemerintah yg thagut. Intinya kalo Anda masih tinggal di indonesia berarti nonsense. Bisa jadi koneksi internet yg anda gunakan jg jasa pemerintah. Bukan saya tidak setuju Apa yg anda tulis, saya cuma tidak suka dengan mudah mengkafirkan orang lain secara eksplisit, Secara pribadi saya setuju jika negara ini menggunakan syariat islam, tetapi tidak secepat dan semudah membalik telapak tangan, justru DPR dan lembaga pemerintah harus diisi orang2 yg paham islam, dirubah sedikit demi sedikit sampai akhirnya produk UU tdk bertentangan dgn syariat, bahkan UUD pun bisa diamandemen,Intinya harus ada yg terjun ke pemerintahan,so be realistic, klo hanya bisa bilang ini kafir, itu haram, sampai 1000 tahun gak akan ada perubahan.
    = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
    Admin:
    Uang negara dan jasa-jasa pegawai thaghut yang dapat dinikmati kaum muslimin adalah rezeki dari Allah yang boleh kita nikmati bahakan wajib kita syukuri…
    Alhamdulillah anda setuju dengan tulisan saya, berarti masih ada kehanifan di hati anda… mudah-mudahan Allah memberi kemudahan kepada anda untuk bisa menerima dengan keikhlasan dan menjalankan sesuai kemampuan apa yang ada di blog ini…
    Saya setuju bahwa merubah apa yang ada sekarang dengan apa yang Allah inginkan tidak semudah membalikan telapak tangan…, tapi saya SANGAT TIDAK setuju dengan cara masuk PARLEMEN karena itu adalah KEMUSYRIKAN…, tidakkah anda merasa TERHINA sebagai orang yang mengaku Muslim jika untuk menerapkan SATU saja UU yang sesuai dengan syariat harus terlebih dahulu DITAWARKAN, DEPERDEBATKAN baru DISETUJUI kepada dan oleh MANUSIA…!!! lalu di mana MAHA BESAR, MAHA TINGGI, MAHA SEGALANYA ALLAH…???!!! lalu bagaimana jika DITOLAK….???!!! SUNGGUH itu adalah bentuk PENGHINAAN yang sangat BURUK terhadap ALLAH dan musibah serta kecelakaann yang besar bagi manusia yang terlibat di dalamnya…!!! Na’udzubillah… Aku berlindung kepada Allah agar dijauhkan sejauh-jauhnya dari hal itu semua…
    Kita memang harus realistik dengan keadaan yang ada, tapi harus dingat bahwa sikap realistik itu tidak harus dan tidak boleh menggadaikan keimanan… Allah sudah memberikan jalan keluar dari permasalahan yang ada sekarang yaitu dengan cara DAKWAH TAUHID menyeru ummat kembali kepada pemahaman tauhid yang benar… dan JIHAD FI SABILILLAH sebagai pelindung dakwah dan pendobrak kemusyrikan dan kebatilan… semua itu dilakukan dengan keikhlasan dan kesabaran mengikuti tahapan-tahapannya yang di sana Allah pasti akan turunkan ujian…
    Justru dengan sikap anda seperti ini menjadi salah satu faktor penghambat dan pelambat cepatnya proses perubahan itu…
    Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wdhr