Faidah I: KAIDAH PENTING
Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Mengingkari kemungkaran memiliki empat tingkatan:- Pertama: Apabila kemungkaran tersebut hilang dan berganti sebaliknya
- Kedua: Apabila mengecil sekalipun tidak hilang seluruhnya,.
- Ketiga: Apabila berganti dengan kemungkaran semisalnya.
- Keempat: Apabila berganti kepada yang lebih parah darinya.
Tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan
Tingkatan ketiga perlu pertimbangan
Tingkatan keempat hukumnya haram.Lanjut beliau: “Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah menerangi kuburnya- berkata:
Pada zaman pasukan Tatar, aku bersama para kawanku pernah melewati orang-orang lagi asyik minum khamr, seorang kawan mengingkari mereka namun aku menegurnya seraya kukatakan padanya: “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr karena menghalangi manusia dari mengingat Allah dan mengingat shalat, dan mereka apabila minum khamr maka mereka tidak membunuh, menawan anak-anak dan merampok harta, jadi biarkan saja mereka”.[1]
Faidah II | |
INDAHNYA COBAAN |
Faidah III: JANGAN TERGESA-GESA
Hendaknya bagi setiap juru dakwah untuk saling menyayangi dan saling memaafkan antara sesama. Bila ada suatu kabar miring tentang saudaranya, maka janganlah dia tergesa-gesa meresponnya, hendaknya dia mengecek kebenarannya terlebih dahulu karena betapa banyak kabar yang ternyata hanya sekedar gosip semata, yang justru kerapkali meretakkan hubungan antara para juru dakwah!!!. Rasulullah bersabda:كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ“Cukuplah seorang dianggap berdusta apabila dia menceritakan setiap yang dia dengar”.[2]
Dahulu dikatakan:
Dan apabila berita tersebut memang benar, maka kedepankanlah husnu zhan (baik sangka) kepada saudaramu dalam memahami ucapan atau perbuatannya.وَمَا آفَةُ الأَخْبَارِ إِلاَّ رُوَاتُهَاTidaklah kecacatan sebuah kabar kecuali dari penukilnya[3].
- Amirul mukminin Umar bin Khaththab berkata:
“Janganlah engkau menyangka jelek suatu kalimat yang keluar dari saudaramu muslim sedangkan engkau masih bisa mendapatkan ruang kebaikan dalam memahaminya”.[4]
Faidah IV | |
PUJIAN DAN CELAAN |
- Seorang yang mencermati secara seksama -sekalipun ini pahit rasanya- niscaya akan mengetahui bahwa celaan manusia kepadanya justru lebih baik daripada pujian mereka, sebab pujian kalau memang benar maka bisa menyeretnya lupa daratan dan menimbulkan penyakit ‘ujub (bangga diri) yang akan merusak keutamaannya, namun apabila pujian itu tidak benar dan dia bergembira dengannya, maka berarti dia gembira dengan kedustaan. Sungguh ini kekurangan yang sangat.
- Adapun celaan manusia, kalau memang benar maka hal itu dapat mengeremnya dari perbutan yang tercela, dan ini sangat bagus sekali, semuanya pasti menginginkannya kecuali orang yang kurang akalnya. Namun apabila celaannya tidak benar dan dia sabar, berarti dia mendapatkan keutamaan sabar, dan akan mengambil pahala kebajikan orang yang mencelanya sehingga dia akan menuai pahala kelak di hari kiamat hanya dengan perbuatan yang tidak memberatkan. Sungguh ini adalah kesempatan berharga, semuanya pasti menginginkannya kecuali orang yang gila ”.[5]
FAIDAH V | |
JANGAN BERSEDIH |
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ, وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ, وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
Dinampakkan kepadaku semua umat, lalu saya melihat ada seorang Nabi bersama tiga hingga sembilan pengikutnya, ada seorang nabi bersama satu atau dua pengikut, dan ada seorang nabi yang tidak memiliki pengikut satupun[6].- Mahmud bin Syukri al-Alusi berkata: “Seorang alim tidaklah berkurang kedudukannya hanya dikarenakan sedikitnya murid sebagaimana Nabi tidaklah berkurang kedudukannya dikarenakan sedikitnya pengikut”.[7]
- Imam Malik berkata: “Aku mendatangi Nafi’ ketika usiaku masih kecil bersama seorang temanku, beliaupun turun untuk mengajariku. Beliau duduk setelah shubuh di masjid, namun tidak ada seorangpun yang datang kepadanya”. [8]
- Imam Atha’ bin Robah, dia adalah seorang yang paling dicintai manusia, namun yang hadir di majlisnya hanyalah delapan atau sembilan orang saja”.[9]
FAIDAH VI: ADAB BERDIALOG
Pernah dikatakan kepada Hatim al-Asham[10]: “Engkau adalah orang ‘ajami (bukan Arab), kamu juga tidak fashih, namun kamu selalu menang dalam berdebat, apa rahasianya?! Dia menjawab: Saya memiliki tiga kunci dalam berdebat, aku bergembira apabila lawanku benar, aku sedih bila dia salah, dan aku menjaga diriku untuk tidak menyakitinya”. Tatkala ucapan ini sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkomentar: “Subhanallah! Alangkah cerdasnya orang ini!!”. [11]
FAIDAH VII | |
CITA-CITA KITA |
مُنَايَ مِنَ الدُّنْيَا عُلُوْمٌ أَبُثُّهَا وَأَنْشُرُهَا فِيْ كُلِّ بَادٍ وَحَاضِرِ
دُعَاءٌ إِلَى الْقُرْآنِ وَ السُّنَنِ الَّتِيْ تَنَاسَى رِجَالٌ ذِكْرَهَا فِي الْمَحَاضِرِ
وَقَدْ أَبْدَلُوْهَا بِالْجَرَائِدِ تَارَةْ وَتِلْفَازُهُمْ رَأْسُ الشُّرُوْرِ وَالْمَنَاكِرِ
وَبِالرَّادِيُوْ فَلاَ تَنْسَ شَرَّهُ فَكَمْ ضَاعَ الْوَقْتُ بِهَا مِنْ خَسَائِرِ
Cita-citaku di dunia adalah menyebarkan ilmu
Ke pelosok desa dan kota
Mengajak menusia kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Yang kini banyak dilalaikan manusia.[12]
Mereka menggantinya dengan koran
Dan Televisi mereka sumber kerusakan dan kemunkaran
Dan juga Radio, jangan kamu lupakan kejelekannya
Betapa banyak waktu hilang sia-sia karenanya[13].
.
CATATAN KAKI:
[1] I’lam Muwaqqi’in, 4/339-340. [2] HR. Muslim: 5.
[3] Ghoyah Nihayah 1/263, sebagaimana dalam An-Nadhair Bakr Abu Zaid hal. 301
[4] Dikeluarkan al-Mahamili dalam Al-Amali: 460.
[5] Mudawah Nufus hal. 80-81.
[6] Syaikh al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa banyak dan sedikitnya pengikut bukanlah timbangan benar atau salahnya seorang dai”. Lanjutnya: “Dalam hadits ini juga terdapat pelajaran bagi para dai dan mad’u (yang didakwahi), seorang dai hendaknya terus maju dalam kancah dakwah tanpa menghiraukan sedikitnya orang yang menerima dakwahnya, karena kewajibannya hanyalah menyampaikan. Demikian pula bagi orang yang didakwahi hendaknya tidak sedih karena sedikitnya orang yang menerima dakwah, atau meragukan dakwah yang benar, apalagi menolaknya hanya dengan alasan sedikitnya pengikut, seandainya dakwah yang benar tentu akan diikuti banyak orang!!”. (Lihat Silsilah ash-Shahihah 1/2/755-756).
[7] al-Misku wal Idzhir hal. 198.
[8] Siyar A’lam Nubala’ 8/107.
[9] Siyar A’lam Nubala’ 5/84, lihat Ma’alim fi Thalabil Ilmi, Abdul Aziz as-Sadhan hal. 310.
[10] Al-Asham adalah gelar yang artinya tuli. Konon ceritanya, ada seorang wanita bertanya kepadanya tentang suatu permasalahan, namun dengan tidak sengaja dia keluar kentut bersuara, sehingga wanita tadi merasa malu. Untuk menjaga perasaannya, Hatim berpura-pura tidak mendengar seraya berkata: “Keraskanlah suaramu”. Wanita itupun merasa senang karena dia menduga Hatim tidak mendengar suara kentutnya. Setelah itu Hatim terus menjadi tuli. (al-Muntadham 11/253)
[11] al-Muntadham fi Tarikhi Muluk wal Umam, Ibnul Jauzi 11/254.
[12] Siyar A’lam Nubala 18/206. Adz-Dzahabi berkomentar: “Syairnya Ibnu Hazm ini sangat indah sekali sebagaimana engkau lihat sendiri”.
[13] dari Madarik Nadhar Abdul Malik al-Jazair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
wdhr