Wasiat Terbaru Ustadz Abu Bakar Ba'asyir untuk Para Mujahid

6.12.09

lanjutannya subhat....

"…apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat."7
Demikianlah keadaan sebahagian umat Islam yang menolak eksistensi jihad didalam
Islam. Mereka menyelewengkan pemahaman ayat-ayat jihad sedemikian rupa, yang
membawa akibat sebahagian umat Islam murtad dari agamanya. Mereka keluar daripada
aqidah yang sebenarnya, keluar dari syari’at yang benar dan jauh daripada akhlaq yang
mulia yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Orang-orang yang diizinkan untuk tidak Berjihad,

"Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan 'uzur, Yaitu orangorang
Arab Baswi agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak berjihad), sedang orang-orang
yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. kelak orang-orang yang
kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih. Tiada dosa (lantaran tidak pergi
berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka Berlaku ikhlas kepada
Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang
berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan tiada (pula) berdosa
atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka
kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu
mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran
mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS. At Taubah 9:90-92)

"Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang
yang sakit (apabila tidak ikut berperang). dan Barangsiapa yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang
pedih." (QS. Al Fatah 48:17)
Syubhat – 2
7. QS al Baqarah, 2: 85.
S Y U B H A T - S Y U B H A T S E P U T A R J I H A D
15
Orang yang berjihad menegakkan syari'ah dinegara yang dipimpin oleh Muslimin
dianggap pemberontak dan khawarij, karena memberontak kepada amirul
mukminin. Mereka menyamakan pemerintahan Islam Khilafah 'Alaa Minhajin
Nubuwwah dengan Negara tgoghut yang tegak sekarang.Inilah anggapan sebagian
kaum Muslimin yang anggap dirinya ahli sunnah wal jamaah yang paling salafiy.
Benarkah ?
Untuk menjawab syubhat ini perlu kiranya memahami sistem pemrintahan dalam
Islam terlebih dahulu.
1. Penguasa atau Pemerintahan Muslim yang Adil
Yaitu penguasa yang sah menurut syariat Islam ditinjau dari segala seginya baik dari
segi persyaratan maupun sistem pembuatannya (pelantikannya), dan dalam menjalankan
roda pemerintahannya, menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
ketentuan syariat serta menerapkan hukum Allah pada negeri dan rakyatnya diseluruh
wilayah pemerintahannya.
Rakyat wajib memberikan wala' (loyalitas)nya secara utuh pada penguasa bentuk ini,
termasuk mendengar dan taat (kecuali dalam hal maksiat) dan dilarang memberontaknya.
Allah Ta'ala berfirman,

  
 
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya." (QS. An Nisa 4: 59)
Penjelasan  dalam ayat ini maksudnya v wu
(di antara orang-orang
beriman). Jadi, ulil amri yang diperintahkan Allah Ta'ala untuk di taati adalah ulil amri
yang beriman bukan yang kafir. (Majmu' al Fatawa 28/97 atau 28/170)
Diriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah  dia berkata: kami masuk pada
tempat Ubaidah bin Ash Shamit ketika beliau sedang sakit lalu kami katakana
"Sampaikanlah hadits kepada kami –ashlahakallah- satu hadits yang Allah akan
memberikan manfaat dengannya yang engkau dengar dari Rasulullah  maka ia pun
berkata:

"Rasulullah  memanggil kami, lalu membai'at kami. Maka di antara bai'atnya adalah
agar kami berbai'at untuk mendengar dan taat di saat kami suka ataupun tidak suka, di saat
dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, dan disaat kami diperlakukan secara tidak
adil. Dan agar kami tidak mencabut urusan (kepemimpinan dari orang yang berhak). Beliau
S Y U B H A T - S Y U B H A T S E P U T A R J I H A D
16
berkata: kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil
padanya dari Allah." (HR. Imam Muslim dalam shahihnya 42-1709)
Penjelasan: Sabda beliau
maknanya jelas menunjukkan atas kekufuran,
artinya perbuatan yang di lakukan penguasa itu merupakan dosa yang mengkafirkan
pelakunya. Dan sabdanya, maknanya ada dalil yang syar'i yang jelas bahwa perbuatan
yang dilakukan penguasa itu adalah mukaffir (dosa yang mengkafirkan). (lihat Al-Jami'
fie tholabil ilmisy syarif 8/31).
Dan Al Imam Syaukani berkata: "Sabda Rasulullah ,  *S
4 # &  
  JE   maknanya
ada nash dari al-Qur'an atau pun hadits yang jelas tidak mengandug takwil dan
tuntutannya bahwasanya tidak boleh keluar memberontak mereka (penguasa) selama
perbuatannya mengandung takwil. (lihat Nailul Authar 7/361)
Dalil selebihnya lihat Shahih Al-Bukhari no. 7137, 7144 dan sebagainya, serta shahih
muslim no. 31-1834, 32-1835, 33-1835, 35-1836, 36-1837, 37-1838, 41-1709 dan lain
sebagainya.
2. Penguasa dan Pememrintah Muslim yang Zalim dan Fasiq
Yaitu penguasa yang tidak adil, banyak melakukan dosa dan penyelewengan serta
kezaliman, tetapi kesalahan yang dilakukan bukan kekufuran yang nyata atau dosa yang
mengkafirkan. Tetap menegakkan ad-dien di atas landasannya, maknanya berhukum
dengan syariat Allah dan mengatur rakyat dan negerinya dengan syariat-Nya meskipun
banyak terjadi penyelewengan.
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Mereka mengurusi lima urusan kita: (shalat)
jum’at, (shalat) jama’ah, I’ed (hari raya), perbatasan (negeri Islam dan negeri kafir-pen),
hukum had (hukum pidana dan syari’at Islam-pen). Demi Allah, agama ini tidak akan
tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka itu zalim dan curang. Demi Allah, sungguh
apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak.
(Mu’amalatul Hukkam hal 7-8). Dikutip dari majalah Asy-Syariah Vol. No. 05/Pebruari
2004/ Dzulhijjah 1424 H hal 21 dengan sedikit tambahan dalam kurung, perbatasan
dan hukum had.
Dalam menghadapi penguasa bentuk ini,pada mulanya ada perselisihan di kalangan
Ahlus Sunnah tentang boleh dan tidaknya untuk memberontak kepadanya.
a. Sebagian mengatakan boleh, berdasarkan keumuman dalil amar ma’ruf dan nahi
mungkar, pemberontakan jenis inilah yang banyak terjadi pada masa sahabat yang
dilakukan oleh Ahlus Sunnah seperti pemberontakan yang dilakukan Mu’awiyyah bin Abu
Sufyan dan para pengikutnya terhadap kepemimpinan Khalifah Rasyid bin Abi Thalib,
demikian juga yang dilakukan Umul Mu’minin Aisyah, Thalhah dan Zubair terhadapnya.
Pemberontakan Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib terhadap Khalifah Yazid bin Mu’awiyah
(61 H), demikian pula yang dilakukan Abdullah bin Handhalah terhadapnya (63 H) dan
lain sebagainya masih banyak lagi pemberontakan seperti ini yang dilakukan mereka ~

b. Dan sebagian yang lain berpendapat tidak boleh memberontak penguasa bentuk
ini berdasarkan dalil yang khusus yang menyuruh bersabar seperti sabda Rasulullah :
S Y U B H A T - S Y U B H A T S E P U T A R J I H A D
17
M64
d M% 
/+ !' U1 M` G
8 ; r &@ U_6 &4#c F 8,  ; >= -    =     -      = ,     ,     S    ,   -   ,  ,  ,      
= , 1  B  
,  K 
, 

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari penguasanya maka
bersabarlah, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, maka
dia akan mati dalam keadaan jahiliyyah.” (Hadits Ibnu Abbas  dikeluarkan oleh Al-
Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya)
Dan setelah terjadi perselisihan yang lama mengenai boleh dan tidaknya
memberontak penguasa yang zalim dan fasiq akhinya Ahlus Sunnah wal Jama’ah
bersepakat tidak boleh memberontak. (Syarah An-Nawawi Li Shahih Muslim 12/229 dan
Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyyah 2/241)
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Attin telah menukil dari Ad-Dawudi ia berkata: Bahwa
pegangan para ulama dalam masalah para penguasa yang zalim jika mampu mencopotnya
tanpa fitnah dan kezaliman wajib dilakukan, jika tidak mampu maka wajib bersabar. Dan
sebagian ulama berpendapat tidak boleh memilih atau memberikan kepemimpinan
kepada orang fasiq (sejak semula). Maka jika terjadi kezaliman sesudah dia adil, mereka
berselisih pendapat dalam masalah boleh dan tidaknya memberontak-nya. Yang benar
adalah dilarang memberontak kecuali kalau dia kufur maka wajib memberontaknya.”
(Fathul Bari juz 13/7-8)
3. Penguasa atau Pemerintah Muslim yang Mengajak pada Bid’ah
Bentuk penguasa ini termasuk kategori zalim dan fasik selagi bid’ah yang
dilakukannya dan diserukannya tidak sampai mengantarkan dirinya pada kekufuran yang
jelas. Sengaja diletakkan pada nomor tersendiri agar mendapat perhatian.
Kasus penguasa muslim yang menyeru kepada bid’ah ini terjadi pada masa khalifah
Abbasiyah era pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Mereka menyeru
kepada I’tiqad bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, sedang yang benar menurut As-Sunnah
dan menjadi pegangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan
makhluk.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal bahwa orang yang mengatakan Al-Qur’an
makhluk dia telah kufur. Tetapi beliau tidak mengkafirkan tiga khalifah tersebut dan tidak
keluar dari kepemimpinan mereka dan tidak mengajak rakyat untuk memberontak
padahal beliau menghadapi bermacam-macam siksaan. Dan pada saat itu tiada seorang
pun ulama yang mewajibkan untuk memberontak kepada para khalifah tersebut. Tentu
disebalik itu ada rahasia dan hikmahnya. Antara lain:
• Pengkafiran Imam Ahmad terhadap orang yang mengatakan Al-Qur’an makhluk
adalah pengkafiran secara mutlaq artinya yang dikafirkan adalah ucapan tersebut bukan
pengkafiran secara ta’yin artinya bukan mengkafirkan setiap orang yang mengatakannya.
• Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah tersebut meskipun mereka
mengatakan kata-kata kufur bahkan beri’tiqad kufur karena pada diri mereka terdapat
penghalang pengkafiran yaitu salah takwil. Menganggap bahwa I’tiqad Al-Qur’an sebagai
makhluk adalah kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya yang wajib dipegangi
dan dipertahankan dan I’tiqad (keyakinan) selainnya harus diperangi dan dienyahkan.
Maka sewaktu mereka menyiksa Imam Ahmad ucapan yang sering keluar dari lisan
mereka antara lain: Hai musuh Allah! Bertobatlah. Sebab mereka menyakini bahwa
mereka berada di pihak yang benar yang menolong Allah dan agama-Nya. Nah, salah ta’wil
seperti inilah yang bisa menghalangi pelaku suatu kekufuran dari pengkafirannya.
S Y U B H A T - S Y U B H A T S E P U T A R J I H A D
18
Sebagian ahlul ilmi menyebut dengan sebutan ta’wil saaigh (ta’wil yang boleh), jadi bukan
sembarang ta’wil dan tidak setiap ta’wil dapat menghalangi pengkafiran terhadap pelaku
pengkufuran.
• Kenapa para ulama’ saat itu tidak memberontak dan tidak keluar dari
kepemimpinan mereka? Sebabnya antara lain karena para khalifah tersebut tetap
menegakkan ad-dien di atas dasar-dasarnya dan keadaan mereka persis dengan ucapan
Imam Hasan Al-Bashri di atas, bahkan mereka terjun langsung ke medan jihad dan
memimpin pertempuran melawan pasukan kuffar salibis dan sebagainya.
Namu sayang, pada hari ini ada sebagian manusia yang mengaku diri paling
berilmu dan palig ahli sunnah waljamaah menyamakan kedudukan penguasapenguasa
sekuler yang (mengaku) beragama Islam pada masa kini dengan para
khalifah tersebut, katanya mereka sama-sama melakukan kekufuran, maka tidak
boleh mengkafirkan mereka sebagaimana Imam Ahmad tidak mengkafirkan Al-
Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq.
Subhanallah (Maha Suci Allah) Dzat Yang Membagi Kecerdasan otak manusia,
mengapa masih ada manusia yang tidak cerdas kemudian menyamakan pemerintahan
yang berada dalam sistem khalifah dengan Pemerintahan thagut-Sekuler yang menolak
hukum Allah dan menggantikannya dengan hukum jahiliyah ? Bagaimana bisa disamakan
antara mujrimin dan muslimin [QS. Al-Qalam (68): 35-36].
Penguasa yang kini melakukan aneka kekufuran karena menentang Allah dan
menyepelekan syari’at dan agama-Nya, sedangkan para khalifah dulu itu melakukan satu
kekufuran tanpa niat melakukan kekufuran dan tidak mengetahui bahwa yang dilakukan
adalah kekufuran, dan melakukannya bukan karena menentang Allah dan memusuhi
agama-Nya meskipun keliru dan salah. -Allahu a’lam-
(Mengenai penguasa yang menyeru kepada bid’ah bisa dilihat sebagian
keterangannya dalam Fathul Bari “Kitabul Ahkam” 13/166 Cet. Daaru Mishr Liththiba’ah
dan Shahih Muslim bisyarhi Nawawi “Kitabul Imarah” 12/2316-2317 Cet. Darul
Aqidah).
4. Penguasa atau Pemerintah Kafir
Yaitu penguasa beragama selain Islam (non muslim) seperti Yahudi, Nasrani, Hindu,
Budha dan sebagainya, atau penguasa murtad yang tadinya muslim lalu melakukan
kekafiran yang jelas sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Ubadah bin Ash-
Shamit di atas.
Dalam menghadapi penguasa bentuk ini wajib atas kaum muslimin -berdasarkan
nash dan ijma’- untuk keluar memberontak demi melengserkannya dan menggantinya
dengan penguasa muslim yang adil, yang mengatur Negara dan rakyatnya dengan Islam
dan syari’atnya.
Ibnu Hajar berkata: Ringkasnya menurut ijma’ bahwasanya penguasa dimakzulkan
(dilengserkan) karena melakukan kekafiran, maka wajib atas setiap muslim ikut andil
dalam hal itu, maka barangsiapa yang kuat melakukannya meraih pahala dan barangsiapa
yang bermudahanah (cari muka dan menjilat) mendapat dosa, dan barangsiapa yang
lemah wajib berhijrah dari negeri itu. [Fathu Bari 13/176 dan selebihnya bisa dibaca pada
13/8-13 Cet. Daaru Mishr Liththiba’ah]
Imam An-Nawawi berkata: Qadhi ‘Iyadh berkata: para ulama’ telah berijma’
(sepakat) bahwa imamah tidak dilantikkan kepada orang kafir, dan bila imam terbukti
melakukan kekafiran harus dilengserkan. Qadhi ‘Iyadh juga berkata, “Begitu pula bila
S Y U B H A T - S Y U B H A T S E P U T A R J I H A D
19
imam tidak menegakkan shalat dan tidak menyeru untuk shalat.” (Shahih Muslim bi
Syarhi Nawawi “Kitabul Imarah” 12/2316 Cet. Darul Aqidah).
Perkataan Qadhi ‘Iyadh, “Begitu pula bila imam tidak menegakkan shalat dan tidak
menyeru untuk shalat.” Merupakan isyarat sabda Nabi  dalam Shahih Muslim 62-1854:
“Nanti akan muncul pemimpin, kalian mengenalinya dan mengingkarinya. Maka
barangsiapa menjumpainya (dan tidak mengikutinya) sungguh ia telah terlepas (dari
dosanya), dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia selamat. Namun dosa dan
kecelakaan bagi yang meridhainya dan mengikutinya. Para sahabat bertanya: Apakah kita
tidak memeranginya? Rasulullah  menjawab: “Tidak, selama mereka masih shalat.”
Dalam riwayat Muslim yang lain 65-1855 dan 66-1855: “Tidak, selama mereka masih
menegakkan shalat pada kalian.”
Kesimpulan dari hadits ini, penguasa atau pemimpin yang kedapatan meninggalkan
shalat dan tidak menyeru rakyatnya untuk shalat maka dia telah kafir, karena
meninggalkan shalat termasuk kekafiran, maka rakyat wajib keluar memberontaknya
untuk melengserkannya. Dan kalaupun penguasa tetap menegakkan shalat tetapi melakukan
kekafiran yang lain (seperti) menolak berlakunya syari'at Allah, maka rakyatpun wajib
melengserkannya karena telah kafir dari segi lain bahkan dari segi meninggalkan shalat,
berdasarkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit tersebut di atas.
Qadhi ‘Iyadh juga berkata: seandainya (penguasa atau pemimpin) terbukti
melakukan dan merubah syari’at atau membuat bid’ah, dia keluar dari wilayah
kepemimpinannya, dan gugur ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum muslimin
memberontaknya dan melengserkannya serta mengangkat imam yang adil jika
memungkinkan, maka jika hal itu tidak terjadi melainkan bagi suatu kelompok maka wajib
atas kelompok itu memberontak untuk mencopot penguasa kafir itu. Dan tidak wajib
terhadap penguasa mubtadi’ (yang membuat bid’ah) kecuali jika mereka yakin mampu
melakukannya, maka jika terbukti lemah tidak wajib melakukannya, dan seorang muslim
hendaklah berhijrah dari negerinya ke negeri lainnya, dan lari untuk menyelamatkan
agamanya. (idem 12/2316-2317). -Selesai ucapan Qadhi Iyad-.
Menurut Asy-Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah dalam bukunya Fashul
Kalam fi Mas’alatil Khuruj ‘Alal Hukkam, bahwa pada kondisi seperti ini kaum muslimin
harus melakukan tiga tindakan:
 Pertama: Mempersiapkan kekuatan, materi maupun mental, sampai memiliki
kemampuan untuk keluar memberontaknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala (QS.
Al-Anfal (8):60). Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an 3/1543 berkata,
“Maka melakukan persiapan dengan maksimal kemampuan adalah kewajiban yang
menyertai kewajiban jihad, dan nash memerintahkan I’dadul Quwwah (mempersiapkan
kekuatan) dengan berbagai macamnya, jenis-jenisnya, dan sebab-sebabnya.” Kondisi
lemah untuk keluar dari pemimpin kafir tidak kemudian diperbolehkan duduk santai
meninggalkan persiapan mengumpulkan kekuatan.
Namun harus tetap berusaha sesuai kemampuan. Masalah ini dikembalikan pada
firman Allah Ta’ala (QS. Ath-Taghabun (64): 16) “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupan.” Ibnu Taimiyyah berkata dalam fatwanya 28/259: “Dan
sebagaimana wajibnya mempersiapkan kekuatan untuk berjihad dengan persiapan
kekuatan dan menambat kuda di kala kondisi kalah karena lemah, maka sesungguhnya
sesuatu yang tidak bisa sempurna kecuali dengannya maka sesuatu itu menjadi wajib."
 Kedua: Meninggalkannya dan tidak bekerja bersamanya atau dengannya, yaitu
meninggalkan seluruh aktifitas yang dapat memperkuat pemerintahannya. Rasulullah 
bersabda: “Dengarlah apakah kalian telah mendengar nanti setelahku akan muncul
pemimpin yang siapa saja bekerja sama dengannya, membenarkan kedustaan mereka,
S Y U B H A T - S Y U B H A T S E P U T A R J I H A D
20
membantu kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan termasuk
golongannya. Dan tidak akan mendapati telaga haudh. Dan siapa saja yang tidak
menyertainya, tidak membantu atas kezalimannya dan tidak membenarkan kedustaannya
maka dia berada pada golonganku dan aku bersamanya. Dia akan mendapati telaga haudh.”
Serta hadits-hadits lain yang memerintah untuk menghindari dan menjauhi bekerja sama
dengan para penguasa thoghut.
 Ketiga: Tidak menghormati dan menaruh simpati pada mereka. Rasulullah 
bersabda: “Jangan mengatakan pada munafik, tuan kami, karena jika dia menjadi tuan
kalian maka Rabb telah murka pada kalian.” Dalam riwayat lain, “Jika seseorang berkata
pada munafik, wahai tuan kami artinya Rabb dia Yang Maha Suci telah murka.”
Hal itu terhadap munafik yang menampakkan keislaman, lalu bagaimana dengan
kaum muslimin yang meninggalkan jihad sehingga memberikan kesempatan bagi orang
kafir untuk memerintah dan menjadi tuan bagi mereka…? Tak diragukan lagi, sungguh
mereka lebih berhak untuk dimurkai Allah Ta’ala. Bila perkataan seseorang kepada
munafik: wahai tuanku, dapat menimbulkan kemurkaan Allah yang Maha Suci lalu apa
jadinya bila perkataan itu ditujukan kepada para thaghut dan orang kafir yang sering
terjadi pada mayoritas manusia dengan berbagai ungkapan pengagungan, peninggian,
pujian dan loyalitas..? Allahua’lam- (Majalah media Islam An-Najah edisi 06/Th. 1
Muharram 1427 H/Februari 2006 dalam rubrik Tsaqafah dengan judul “Negara dalam
Tinjauan Syar’I, Prespektif Seorang Muslim dalam bernegara hal: 19)
Setelah kita mengenal bentuk pemerintahan dari persepektif Syari'ah Islam,
maka ada satu pertanyaan penting bagi kita: Termasuk bentuk manakah system
pemerintahan Indonesia yang sekarang ini? Silakan masing-masing menjawsab
sendiri.
Syubhat – 3
Benarkah sebesar-besar jihad adalah jihad melawan hawa Nafsu ?
Memang banyak disinyalir bahwa jihad memerangi musuh agama adalah termasuk
jihad kecil (jihad asghar). Sedang yang dikatakan sebagai jihad besar (jihad akbar), adalah
memerangi hawa nafsu.
Bagaimana Kedudukan Hadits tersebut sebenarnya? Dan benarkah Hadits tersebut
perkataan dari seorang tabi’in yang bernama Ibrahim bin Ablah?
Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah riwayat:

"Kita semua baru kembali dari jihad asghar menuju jihad akbar." Para sahabat
bertanya: "Apakah jihad akbar itu wahai Rasulullah?" Baginda menjawab: "Jihad melawan
hawa nafsu."
Redaksi Hadits tersebut tertulis dalam kitab ihya’ ulumuddin, karangan Imam
Ghazali. Dan beliau tidak menyebutkan dari mana Hadits tersebut berasal.
Sedangkan Hadits yang sebenarnya mempunyai lafadz,

S Y U B H A T - S Y U B H A T S E P U T A R J I H A D
21
"Dari Jabir, telah datang kepada Nabi sekelompok pasukan perang, lalu Nabi
bersabda: “Kamu sekalian telah kembali kepada sebaik-baik tempat kembali dari jihad
asghar (jihad yang lebih kecil) menuju kepada jihad akbar (jihad yang lebih besar). Para
sahabat bertanya: “Apa jihad akbar itu wahai Rasulullah?” Baginda menjawab: “Jihadnya
seseorang melawan nafsunya.” (HR. Al Baihaqi dalam kitab beliau Kitabul Zuhud)
Imam Hasan Al Banna berkata:
"Sebagian umat Islam berupaya mengalihkan pandangan umat Islam terhadap
pentingnya jihad, mempersiapkan diri, berniat melaksanakan dan mengamalkannya.
Tetapi pada kenyataannya, dalil yang digunakan tersebut bukanlah sebuah hadits,
demikian kata Ibnu Hajar al-'Asqolany di dalam Tasdiidul Qaus. Tetapi yang benar adalah
perkataan Ibrahim bin 'Ablah. Memang ungkapan tersebut sangat populer di kalangan
umat Islam, sehingga tampak sebagai hadits. (Risalah Jihad: Hasan Al).8
Al-‘Iraqy di dalam Takhriju Ahaaditsil Ihyaa’ mengatakan:
“Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan sanad yang dha’if dari Jabir
. (Risalah Jihad: Hasan Al). 9
Al-Hakim: “Haditsnya ini dha’if” karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama
Khalaf bin Muhammad bin Ismail al Khiyam. Dan kata Abu Ya’la al-Khalili: Ia banyak
mencampuradukkan dan ia sangat lemah, meriwayatkan hadits yang tidak dikenal”. (Lihat
Masyaari’ul Asywaaq ila Mashori’il ‘Usy-syaaq li Ibni an Nuhaas, 1/31) 10
Al-Hakim dan Ibnu Abi Zur’ah mengatakan:
"Kami banyak menulis keterangan dari Khalaf bin Muhammad bin Ismail hanyalah
untuk i’tibar, dan kami berlepas diri dari mempertanggung jawabkannya."11
Al Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa Nabi  bersabda
setelah perang Tabuk: “Kita kembali dari jihad asghar menuju kepada jihad akbar, adalah
hadits yang tidak ada asalnya, tidak ada seorang pun dari kalangan pakar ilmu hadits yang
meriwayatkannya. Dan jihad menghadapi kaum kuffar adalah amal yang paling agung,
bahkan ia adalah perbuatan paling utama yang dilakukan manusia.” (AI-Furqon baina
Auliyaa-ir Rahman wa Auliyaa-isy Syaitan, hal 44-45)
Menurut Imam Munawi dalam kitab Faidhul Qadir disebutkan hadits tersebut
diriwayatkan oleh Atha’ dari sahabat Jabir. Siapakah Atha’ ini ? Kata Imam Munawi yang
8. Risalah Jihad, Hasan al-Banna.
9. Risalah Jihad, Hasan al-Banna.
10. Tarikh al-Baghdadi, 13/493.
11. Lihat Miizaanul I’tidaal, 1/662.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

wdhr